Selasa, 30 Juli 2013

Lima Tahapan untuk Berhenti Merokok (dan Menyetop Kebiasaan Buruk Lainnya)


Kesalahan terbesar dari orang yang ingin berhenti merokok –atau yang ingin anggota keluarganya berhenti merokok— adalah mengira bahwa langkah pertama untuk menghentikan kebiasaan ini adalah dengan menyetop pembelian rokok. Langkah pertama untuk berhenti merokok justru harus diambil jauh hari sebelum si perokok benar-benar menghentikan konsumsi rokok (Zimmerman, Olsen & Bosworth, 2000; Mallin, 2002). Jika tidak, kemungkinan relapse (kembali merokok) menjadi cukup besar.

Melalui pengalaman menghadapi ribuan orang yang sedang dalam proses berhenti merokok, para peneliti menemukan lima (5) tahapan yang harus dijalani perokok yang ingin menjadi mantan perokok, dan titik untuk menyetop konsumsi tembakau berada di langkah ke-empat (Zimmerman dkk., 2000; Mallin, 2002). 

Untuk kamu yang termasuk dalam kelompok orang yang penulis sebut di awal artikel, ada baiknya kamu mengetahui langkah-langkah dalam memerangi bahaya merokok ini. Hal ini agar tenaga dan harapan yang dikeluarkan akhirnya tidak terbuang dengan sia-sia. Menurut penulis, langkah-langkah ini juga berlaku untuk kebiasaan buruk lainnya.

Sssst… Untuk kamu yang mencari informasi ini untuk diterapkan kepada anggota keluarga yang merokok, langkah-langkah ini juga berlaku bagi mereka yang masih belum berniat berhenti, lho:

Tahap 1, Pre-Kontemplasi
Ini adalah masa di mana perokok beranjak dari tidak mengetahui bahaya merokok (atau tidak peduli) ke kondisi mulai memikirkan efek negatif dari merokok atau efek positif dari berhenti merokok. 
Pada tahap ini, perokok masih merasa bahwa efek negatif rokok hanya akan berefek pada orang lain dan bukan pada dirinya, sehingga merasa aman untuk merokok. Belum ada yang tahu tingkat kesiapan perokok untuk berhenti, bahkan mungkin termasuk si perokok itu sendiri (Zimmerman dkk., 2000; Mallin, 2002).

Apa yang bisa dilakukan: Berikan terus informasi mengenai bahaya merokok atau nilai plus dari berhenti merokok. Dengan banyaknya informasi, diharapkan ada pengetahuan yang  dapat menyentuh si perokok secara emosi sehingga dia tergerak untuk menyusun rencana berhenti merokok. Ada baiknya juga untuk mulai memonitor dan memupuk kesiapan perokok untuk berhenti (Zimmerman dkk., 2000; Mallin, 2002).

Tahap 2, Kontemplasi
Pada tahap ini, perokok sudah menyadari bahaya merokok dan mulai berniat untuk berhenti. Tantangan yang dihadapi oleh perokok adalah emosi negatif yang timbul karena pilihan untuk meninggalkan kegiatan yang ia senangi (Zimmerman dkk., 2000; Mallin, 2002).

Apa yang bisa dilakukan: Keluarga atau terapis harus bisa mengajak perokok untuk fokus ke efek positif yang didapatkan dari berhenti merokok. Ajak juga perokok untuk mengenali hal-hal yang bisa menghalanginya berhenti merokok, seperti, kurangnya motivasi, teman-teman kantor yang merokok, dan lain-lain (Zimmerman dkk., 2000; Mallin, 2002).

Tahap 3, Persiapan
Pada tahap ini, persiapan spesifik sudah mulai dibuat. Misalnya, tanggal berapa perokok akan mulai menyetop sama sekali konsumsi rokok, obat atau pengganti nikotin apa yang akan dipakai untuk mengurangi perasaan “nagih”, mulai menyingkirkan asbak atau barang-barang lain yang mengingatkan pada rokok, dan lain-lain.
Perokok juga sudah mulai bisa untuk mengurangi konsumsi rokok atau mengganti rokoknya dengan merk yang lebih ringan. Melakukan perubahan bertahap akan lebih mudah daripada secara drastis berhenti membeli dan menghisap rokok (Zimmerman dkk., 2000; Mallin, 2002).

Apa yang bisa dilakukan: Keluarga bisa mendukung perokok dengan menghafal program-program yang dibuat dan mendukungnya dengan konkrit, memastikan tingkat konsumsi rokoknya sudah mulai menurun, menyebarkan kabar bahwa si perokok sedang mencoba berhenti sehingga tidak ada yang mengajaknya merokok, mendiskusikan cara untuk menghindari atau menghadapi hal-hal yang mengingatkan pada rokok, ikut menentukan tanggal berhenti (misalnya, pada hari ulang tahun si perokok) dan lain-lain (Zimmerman dkk., 2000; Mallin, 2002).

Tahap 4, Aksi
Pada tahap ini, perokok sudah berhenti mengonsumsi rokok. Kecanduannya bisa “dijinakkan” dengan koyo nikotin atau obat seperti bupropion yang dosisnya juga makin lama makin diturunkan. Pada tahap ini, perokok sangat membutuhkan dukungan. Minimal, satu minggu sekali harus ada sesi yang membicarakan keberlangsungan proses berhenti merokoknya. Perokok harus fokus kepada efek positif yang didapatkan sejak berhenti merokok (Zimmerman dkk., 2000; Mallin, 2002).

Yang bisa dilakukan: Mencarikan grup orang-orang yang sedang berhenti merokok untuk memberi dukungan, ikut datang dalam pertemuan grup tersebut, mencarikan bantuan profesional (psikolog atau terapis) jika tidak ada support group, mengajak perokok untuk melakukan aktifitas yang dapat membuat lupa tentang rokok, dan banyak lagi (Zimmerman dkk., 2000; Mallin, 2002).

Tahap 5, Bertahan atau Kembali Merokok
Tahap ini adalah masa pengujian di mana perokok sudah mulai menjalani “kehidupan baru”-nya sebagai mantan perokok dengan mandiri. Mantan perokok sudah harus bisa mengalahkan godaan tanpa bantuan orang lain. Penggantian zat kimia pengganti rokok sudah dihentikan. Yang dimiliki mantan perokok hanyalah dukungan dari psikolog, keluarga atau support group dan motivasi untuk hidup lebih sehat. Kini, si mantan perokok akan melihat apakah ia sanggup bertahan dari rokok atau kembali ke jeratan rokok (Zimmerman dkk., 2000; Mallin, 2002).

Yang bisa dilakukan: Ikut memberi semangat kepada mantan perokok, memberikan pujian atau hadiah tiap mantan perokok dapat bertahan selama waktu tertentu (misalnya, tiap bulan) dan tidak terlalu menekan andaikata mantan perokok sesekali menyalakan rokok.
Jika merokok kembali menjadi rutinitas (relapse), keluarga dan teman bisa membantu dengan mengecek apa yang salah dari tahapan-tahapan sebelumnya, mengecek kembali tingkat kesiapan berhenti merokok si pasien dan mengajak perokok untuk memulai kembali tahapan-tahapan berhenti merokok. Keluarga perokok juga harus menyadari bahwa kadang memerlukan beberapa kali pengulangan proses berhenti merokok ini sampai akhirnya perokok bisa stop secara permanen (Zimmerman dkk., 2000; Mallin, 2002).
Jadi, sudah siap untuk memulai perjalanan berhenti merokok atau menghentikan kebiasaan buruk lainnya? Atau, sudah siap menjadi teman dari seseorang yang ingin berhenti merokok? Memang jalannya tak akan mudah, tapi dengan motivasi dan dukungan yang cukup, tidak ada yang tidak mungkin.

Tentang Penulis:
Ramadion S.Psi percaya bahwa dengan motivasi yang benar, semua kebiasaan buruk dapat dihentikan serta kita semua bisa memulai kebiasaan baik seberapa berat pun kebiasaan baik tersebut. 

Sumber:
http://www.aafp.org/afp/2000/0301/p1409.html?iframe=true&width=100%25&height=100%25
http://www.aafp.org/afp/2002/0315/p1107.pdf

Selasa, 02 Juli 2013

cause I'm The Princess

Hey, you.
Yes you. Stop being unhappy with yourself. You are beautiful!
Stop wishing you looked like someone else. You are loved!
You are cared about!
Stop trying to get attention from people who don’t matter.
Stop hating your body. Stop hating your face. Stop hating your personality.
Love your quirks. Embrace them. They are what make you, you.
Why would you want to be anyone else? Your potential is limitless. Be confident. Smile. It’ll draw people in.

Repeat after me: My happiness will not depend on others anymore. I chose to be happy. I am happy because I love who I am. I love my flaws. I love my imperfections. They make me, me, and ‘me’ is pretty amazing.

perlukah anak bermain

Tuntutan anak untuk terus berprestasi dan menguasai berbagai keterampilan sudah merupakan trend di kota – kota besar di Indonesia. Di luar jam sekolah, anak dipadati dengan berbagai macam kursus, seperti : Kursus pelajaran (matematika, fisika, ekonomi), Kursus olah raga (renang, tenis, voli), Kursus alat musik dan seni (piano, biola, gitar, menggambar), Kursus bahasa asing (Inggris, Mandarin, Jepang).

Anak Bermain

Memang persaingan di sekolah semakin lama semakin meningkat. Jadi, dapat dipahami dari sudut pandang orang tua bahwa mereka ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Namun, adakah waktu luang anak untuk bermain?

Manfaat Bermain
bermain merupakan salah satu kebutuhan anak. Tidak seperti tanggapan sebagian orang bahwa bermain itu hanya buang-buang waktu, sebenarnya banyak keuntungan yang didapat seorang anak dengan bermain. Manfaat itu antara lain:
  • Berkembangnya kemampuan kinestesik dan motorik anak.
  • Berkembangnya otak kanan anak yang berpengaruh terhadap kecerdasan emosional, kreativitas, dan spasial.
  • Berkembangnya kemampuan anak untuk bersosialisasi
  • Berkembangnya pengetahuan anak tentang norma dan nilai- nilai .
  • Berkembangnya kemampuan anak dalam memecahkan masalah,
  • Berkembangnya rasa percayaan diri anak.
Dengan berbagai hal positif yang dapat diambil dari bermain, alangkah baiknya bila disela-sela kesibukan belajar dan kursus, anak masih memiliki waktu untuk bermain dan mengeksplorasi dunia sekitarnya. Jadi, permainan apakah yang menunjang perkembangan anak?

Berbagai permainan anak yang berdampak positif
Dengan kemajuan teknologi, banyak sekali jenis permainan dan online games yang dirancang untuk mengembangkan kecerdasan anak. Namun, kekurangan dari jenis permainan ini adalah anak tidak berinteraksi dengan anak sebayanya atau lingkungan sekitarnya. Ada baiknya bila kita menengok kembali permainan – permainan tradisional yang dulu dimainkan oleh orang tua bahkan kakek nenek kita.

Beberapa jenis permainan tradisional untuk anak
Engklek, congklak, lompat tali, bekel, dan tebak – tebakan. Permainan ini selain membantu mengembangkan logika anak seperti berhitung, juga membantu mengembangkan kemampuan anak untuk bersosialisasi.
Permainan petak umpet, petak jongkok, gobak sodor, dan benteng. Selain melatih anak bersosialisasi, permainan – permainan ini juga melatih kecerdasan spasial anak. Terlebih lagi, permainan ini juga bisa dijadikan salah satu bentuk olah raga.
Ajang-ajangan/dagangan, mobil-mobilan dari kulit jeruk, egrang, bola sodok, sepak takraw dan calung. Jenis permainan ini akan membantu berkembangnya kecerdasan natural anak karena anak diajak untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Mereka diajak untuk membuat mainannya sendiri dari bahan-bahan natural seperti: tumbuhan, tanah, tanah liat, pasir, genting, batu, dan buah-buahan.
Terkadang, jauh lebih mudah bagi orang tua untuk membelikan sofware permainan, komputer, atau televisi untuk menghibur anak-anaknya. Pandangan masyarakat dengan bermain di luar biasanya dikaitkan dengan penyakit dan image kotor. Namun, justru permainan tradisional atau “outdoor games”-lah yang akan membantu pertumbuhan anak menjadi lebih seimbang. Jadi, biarkanlah anak bermain dan berinteraksi dengan dunia sekitarnya.

Artikel ditulis oleh : Nathia Pratista