Senin, 24 November 2014

hanya untuk-MU

Biar ku bediri dari tebing tertinggi, dan menukik sampai lembah terdalam. Karena aku tak ingin hidup yang sekedarnya, apa lagi apa adanya. Tapi, aku ingin hidup yang menyeluruh, merengkuh, utuh dan penuh. Sebab cinta ini telah mengakar ke dasar hati, tempat pergiliran rasa kini dan nanti..
Jika suatu saat nanti, aku jatuh dan terluka. Maka di saat ini, aku sudah siap untuk menjadi lebih kuat. Karena cinta ini tidak biasanya, dan aku tahu, akan selalu ada energi isi ulang, setiap aku jatuh bergulingan dari tempat tertinggi ku putuskan pijakan di awal mula.
Jika suatu saat nanti, tak bisa ku bendung air mata,, maka di saat ini, akan ku tebarkan lebih banyak senyuman! Namun,, keyakinan itu terlalu kuat. bahwa aku akan menjadi lebih bahagia dari sebelumnya. Karena cinta ini akan membawa pada setiap keberkahan hidup, yang pastinya akan menyentuh pucuk-pucuk ketentraman. 
Maka sungguh, meski suatu saat nanti ada linangan air mata baluri hariku, akan ku pastikan sedari saat ini, tetap akan ada bahagia walau air mata menderas di pipi.

Duhai Allah, ijinkan aku tetap setia, hingga di ujung usia.. Cinta ini, seluruhnya adalah untukMu.. Hati ini, sepenuhnya adalah milikMu.. Kini. dan nanti. keputusan hidup ini tetap sama, untuk turut serta menapak di jalan juang para pencintaMu.

Maka teguhkanlah ya Allah, di jalan cinta para pejuang, yang para penapaknya, telah mewakafkan diri dan hidupnya untuk dakwah dan peradaban.

Rabu, 24 September 2014

Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum Perdata

I.         PENDAHULUAN


1.1.    Latar Belakang
Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah menunjukan kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, meliputi bidang sosial, budaya dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.

Banyak kemajuan yang telah dicapai, tetapi disamping itu masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan.  Tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, diantaranya adalah masalah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagai efek samping dari berjalannya proses perundangan.  Pencemaran dan kerusakan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan ini diprediksi  akan terus berlanjut.  Seperti yang dikatakan oleh Otto Soemrawoto “Masyarakat Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa lingkungan hidup berlawanan dengan pembangunan. Mengingat kita masih melarat, pembangunan harus didahulukan dari lingkungan hidup, dalam pemerintahan pun lingkungan hanya menempati tempat yang marjinal”.

Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai efek samping dari proses pembangunan adalah kerusakan sumber daya hutan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya tuntutan lahan dan sumber daya hutan yang yang tidak pada tempatnya, serta meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin.  Pencemaran air, udara dan tanah juga merupakan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai akibat pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang mempertahankan aspek kelestarian fungsi lingkungan hidup. 



Persoalan pencemaran lingkungan dapat dilihat dari berbagai aspek lingkungan yang merupakan sarana untuk penyelesaiannya. Pencemaran kerusakan lingkungan dapat diselesaikan melalui aspek medik, planalogis, teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum. Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan  adalah hukum lingkungan. 

Persoalan lingkungan hidup pada dasarnya adalah persoalan semua orang, dan sudah seyogyanya gerakan-gerakan kesadaran yang coba dibangun untuk memulihkan kondisi lingkungan ke arah yang lebih baik adalah satu keharusan, dengan mengambil peran apapun yang bisa dilakukan oleh semua pihak untuk melakukan perbaikan terhadap kerusakan lingkungan hidup disekitarnya.

UUD 1945 yang pada pasal 1 secara jelas menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat. Jadi merupakan wewenang rakyat untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup di Indonesia. Pasal 28H ayat (1) yang menentukan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkugnan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. 

Hukum lingkungan adalah instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan.  Prespektif hukum lingkungan, penuntasan kasus-kasus pencemaran lingkungan mencakup 3 (tiga) bidang sekaligus, yaitu hukum lingkungan administratif, hukum lingkunga keperdataan, hukum lingkungan kepidanaan sebagai konsekuensi logis kedudukan hukum lingkungan sebagai hukum fungsional.

1.2.    Rumusan Masalah
Keberadaan limbah yang dihasilkan oleh pembangunan dinilai dapat menimbulkan dampak buruk kelingkungan sekitar.  Oleh karena itu, limbah yang dihasilkan didesak untuk menerapkan standardisasi pengolahan limbah yang ramah lingkungan.



1.3.    Tujuan
1.      Memberikan informasi mengenai hukum lingkungan perdata.
2.      Memberikan informasi sanksi mengenai pencemaran yang ditimbulkan dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang ditinjau melalui aspek hukum lingkungan perdata.

1.4.    Metode Penulisan
Pada pembuatan laporan Tugas Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum Perdata ini metode yang digunakan penulis adalah dengan studi literatur.



II.      TINJAUAN PUSTAKA


2.1.    Hukum Lingkungan
Hukum lingkungan menurut Lal Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson adalah   “Seperangkat aturan hukum yang memuat tentang pengendalian dampak manusia terhadap bumi dan kesehatan publik”.  Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk   persoalan-persoalan lingkungan dan secara umum hukum yang secara langsung menunjuk pada dampak atas persoalan-persoalan lingkungan.

UNEP mendefinisikan            hukum lingkungan adalah “Seperangkat aturan hukum yang berisi unsur-unsur untuk mengendalikan dampak manusia terhadap lingkungan.  A.B. Blomberg, A.A..J. de Gier dan J. Robbe memberikan definisi hukum lingkungan sebagai berikut hukum lingkungan  secara  umum  dipahami  sebagai hukum yang melindungi kualitas lingkungan dan hukum konservasi alam. 

Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa dari substansi hukum yang merupakan materi hukum lingkungan, maka mata kuliah hukum lingkungan digolongkan kedalam mata kuliah hukum fungsional (Functionele Rechtsvakken), yaitu mengandung  terobosan antara berbagai disiplin hukum klasik.

Substansi hukum lingkungan menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan  administratif,  hukum  lingkungan keperdataan,  hukum  lingkungan  kepidanaan.  Hukum  lingkungan  internasional  yang  sudah berkembang   menjadi   disiplin ilmu hukum tersendiri dan hukum tata ruang.  Dengan  demikian, hukum  lingkungan tidak merupakan bagian hukum publik ataupun bagian dari hukum  privat, namun mencakup hukum publik dan hukum prifat sekaligus. 

Hukum  lingkungan adalah hukum fungsional yang mengandung aspek hukum publik dan aspek hukum privat.  Dalam kepustakaan hukum lingkungan dan ilmu lingkungan dapat ditemukan berbagai pandangan para pakar hukum lingkungan dan ilmu lingkungan mengenai pengertian pencemaran lingkungan, namun dalam penelitian ini pengertian pencemaran lingkungan mengacu kepada Pasal 1 ayat 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).  Pasal 1 ayat 14 UU PPLH mendefinisikan pencemaran lingkungan sebagai berikut “Pencemaran lingkungan hidup adalah  masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui  baku  mutu  lingkungan hidup  yang  telah  ditetapkan”. 

Pencemaran lingkungan menurut UU PPLH hanya meliputi pencemaran  lingkungan yang disebabkan karena kegiatan manusia, tidak termasuk didalamnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh alam, misalnya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darus Salam, meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta dan  hujan debu dari Gunung Semeru di Jawa Timur.  Pengertian kasus pencemaran lingkungan  dalam tulisan ini adalah terbatas pada kasus pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dan tidak mencakup di dalamnya mengenai pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam.

2.2.    Sejarah Perkembangan Lingkungan
Masalah lingkungan dapat ditinjau dari aspek medik, planologis teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum.  Sebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari Rangkut “Perkembangan hukum lingkungan tidak dipisahkan dengan gerakan sedunia yang memberikan perhatian besarnya tentang lingkungan hidup”. 

Konfrensi PBB tentang lingkungan hidup, telah diadakan di Stockholm pada Tahun 1972, Konferensi Stockholm membahas masalah lingkungan dan jalan keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (Eco-Development), dan kapasitas lingkungan yang ada.  Pada tahun 1983 PBB membentuk komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commission on Environment and Development (WCED).

PBB pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi mengenai masalah lingkungan dan pembangunan The United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil pada tanggal 3-14 Juni Tahun 1992.  Indonesia pertama kali lingkungan hidup masuk dalam GBHN tahun 1993 BAB III huruf B ayat (10) dengan Tap MPR RI No.IV/MPR/1993 dan dijabarkan dalam REPELITA II (1994-1997) dalam Buku III bab 27, tentang Pembinaan Hukum Nasional. 

Semakin maju perkembangan ilmu dan teknologi serta peningkatan ekonomi dan modal, terutama penanaman modal dalam negeri dan modal asing, melalui sektor kehutanan dan pertambangan lahirnya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal dan UU No.6 Tahun 1967 tentang Penanamn Modal Dalam Negeri.  Ini sudah memuat pemikiran tentang pengaturan lingkungan.  Kemudian terjadi peristiwa pencemaran lingkungan berupa minyak akibat kandasnya kapal ”Showa Maru” di Selat Malaka. 

Dari hal tersebut diselenggarakan lokakarya tentang segi-segi hukum dari pengelolaan lingkungan hidup oleh depertemen dan perguruan tinggi.  Indonesia meratifikasi Konvensi IMCO tentang Pencemaran Laut oleh Minyak Bumi dari kapal, yang diimplemantasikan dengan Keppres No.18 Tahun 1978 tentang Civil Liability Convention dan Keppres No. 19 Tahun 1978 tentang Internasional Fund Convention 1971.  Pada tahun 1978 dibentuk kantor menteri negara PPLH, salah tugas membuat RUU lingkungan Hidup.  Kemudian lahirnya UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pengeloan Lingkungan Hidup, diganti UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diganti lagi UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2.3.    Hukum Lingkungan Keperdataan
Pengertian Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli adalah "Rangkaian peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara subyek hukum yang satu dengan subyek yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya."
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum  bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum untuk memperoleh ganti  kerugian.  Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum di bidang hukum lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran lingkungan.

Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan menurut UU PPLH diatur dalam Pasal 84 yang menetapkan:
1.    Penyelesaian  sengketa  lingkungan  hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
2.    Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
3.    Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa

Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) UU PPLH, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.  Dengan ketentuan demikian para pihak diberi kebebasan untuk memilih mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan baik melalui pengadilan atau melalui luar pengadilan.

Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum tertuang dalam Pasal 87 yang selangkapnya menyatakan sebagai berikut:
1.      Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan   perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan   lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan  hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu
2.      Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk  usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum  tidak melepaskan tanggungjawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3.      Pengadilan            dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari   keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4.      Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.

Berdasarkan  ketentuan  Pasal  87  ayat (1)  UU  PPLH,  agar  dapat  diajukan  gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur :
1.      Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan
2.      Melakukan perbuatan melanggar hukum
3.      Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
4.      Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;
5.      Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar  ganti  rugi  dan/atau  melakukan  tindakan tertentu;

Dasar pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.

Class Action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuntction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan kelas (Class Repesentatif) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan sebagai class members.
Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan.  Hal ini berarti bahwa kegunaan class action secara mendasar antara lain adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam perkara yang sama.

Setiap warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan berhak untuk membela hak-nya apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan perdata ada dua macam yaitu :
1.      Gugatan yang dilakukan di luar pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi
2.      Gugatan yang dilakukan melalui peradilan disebut litigasi.

Gugatan perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara :
1.      Oleh orang yang bersangkutan atau ahli warisnya.
2.      Sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama (Class Action).

2.4.    Kendala Pelaksanaan Hukum Lingkungan
Persoalan lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan buah simalakama.  Satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.

Upaya memupuk disiplin lingkungan dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak.  Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran serta perusakan lingkungan hidup.
Karena itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum, sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun pidana.  Hingga kini problem lingkungan terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi.

Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap lingkungan, khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat, maka penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan.
Selain itu upaya menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah kendala seperti:
1.      Masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada.
2.      Biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas.
3.      Membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.

Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan. Kedepan, perlu exit strategy sebagai solusi penting yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan hidup.
1.       Mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2.      Asanya sanksi yang memadai (enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan usaha/industri yang nakal.
3.      Adanya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup patut ditingkatkan.

Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat.  Untuk itu, sudah saatnya penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan baik.

Hakekat hukum lingkungan  secara sederhana adalah seperangkat aturan yang mengatur tatanan lingkungan dalam hal ini lingkungan hidup dimana lingkungan dapat diartikan sebagai semua benda dan kondisi yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam perkembangannya hukum lingkungan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu hukum lingkungan modern dan juga hukum lingkungan klasik.

Bentuk penegakan hukum lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama penegakan melalui istrumen administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan permasalahan dan juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan lingkungan hidup adalah penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang mana kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan sendiri sendiri.

Hukum lingkungan diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka menjaga supaya lingkungan dan sumber daya alam dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi kemampuan lingkungan itu sendiri. 

Kendala di dalam penegakan dan juga pengimplementasian hukum lingkungan antara lain antara adalah perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah, dan yang terakhir adalah kurangnya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
III.   PEMBAHASAN


3.1.    Contoh Kasus
Pada kesempatan kali ini penulis mengangkat kasus tentang limbah cair industri tekstil kali citarum yang penulis ambil dari harian Kompas Jumat, 26 April 2013 13:14 WIB dengan judul berita “DAS Citarum di Ambang Malapetaka Lingkungan” berikut berita tersebut :

Malapetaka lingkungan tengah berlangsung di Daerah Aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Ratusan ribu warga yang tinggal di kawasan ini menderita karena menjadi langganan banjir di musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.

Bertahun-tahun hampir semua pabrik tekstil di Majalaya membuang langsung limbah beracunnya ke Citarum. Padahal, sungai ini masih dipakai untuk keperluan air minum bagi warga di hilir, termasuk 80 persen warga DKI Jakarta.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.

Sampai kini Sungai Citarum masih tercemar. ”Kondisi ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitarnya,” ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Dadan Ramdan.


Susut 62.000 hektar
Komunitas Elingan, yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan, mencatat dalam sembilan tahun ini lahan hutan di DAS Citarum menyusut 86 persen, dari 72.000 hektar tahun 2000 menjadi 9.900 hektar tahun 2009. Pada periode yang sama, luas kawasan permukiman di sekitar DAS Citarum meningkat 115 persen dari 81.7000 hektar jadi 176.000 hektar.

Tahun 2012, lahan kritis mencapai 20 persen dari luas DAS Citarum sekitar 718.000 hektar. Seluas 144.000 hektar di antaranya adalah lahan rusak. Hingga saat ini setiap tahun ada 95 ton tanah per hektar terbawa erosi ke DAS Citarum. Padahal, dalam kaidah lingkungan, tingkat erosi yang ditoleransi hanya sekitar 15 ton per hektar per tahun.

Ketua Umum Badan Musyawarah Masyarakat Sunda Syarif Bastaman menambahkan, beberapa ikan endemik telah punah dari Sungai Citarum. (dmu)
Sumber : Kompas Cetak
Editor : yunan

3.2.    Analisa Kasus
Aspek Hukum Perlindungan kawasan industri di Jawa Barat dari “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum” (Pasal 1 ayat 2 UU 32 Tahun 2009). 

Secara umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (Sustainability) dalam pemanfaatan.  Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.

Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU 32 Tahun 2009 seperti terlihat dalam Pasal 20 ayat 3 UUPLH disebutkan :
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:
1.      Memenuhi baku mutu lingkungan hidup;
2.      Mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Kasus pencemaran oleh kawasan industri di Jawa Barat ini memang belum ada upaya hukum yang dilakukan.  Hal ini dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal pengawasan serta belum adanya keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini, walupun mereka merasakan dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.  Masyarakat ataupun LSM sebenarnya dapat mengajukan upaya hukum dalam menyelesaikan kasus ini yaitu penegakkan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan hukum perdata.

3.3.    Sanksi Perdata
Ketentuan hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam pasal 87 ayat 1 “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”

1.      Kesalahan Industri Tekstil di Sekitar Kali citarum
Kesalahan yang dilakukan oleh industri tekstil yang ada disekitaran kali Citarum adalah tidak memberlakukannya dan/atau menjalankan IPAL dengan baik dan benar. Air limbah yang dihasilkan dibuang langsung kebadan sungai tanpa melalui proses terlebih dahulu.  Sampah padat yang dihasilkan juga tidak dibuang ketempat pembuangan akhir, melainkan langsung kedalam Waduk Saguling.



2.      Kerugian Warga di Sekitar Kali Citarum
Limbah-limbah yang keluar dari industri-industri yang ada tidak diolah terlebih dahulu, sehingga air limbah yang terkategorikan sebagai zat-zat berbahaya dan beracun (B3) mengalir bebas dialiran sungai yang biasa dipakai oleh warga untuk keperluan sehari-sehari. Limbah padat yang dihasilkan pun menyebabkan kerugian untuk masyarakat sekitar terutama jika terjadi hujan lebat.  Jika hujan lebat terjadi dalam waktu yang lama maka sampah yang menumpuk di Waduk Saguling akan menyebabkan banjir.

Rakyat, dalam hal ini lebih banyak sebagai korban terutama yang bersentuhan langsung dengan kawasan dimana terjadi pencemaran yang dilakukan oleh pihak pengusaha.  Hal inilah yang dialami warga seputaran kali Citarum.  Kondisi seperti ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitar tanpa adanya tindak lanjut dari pemerintah.

3.      Kaitannya dengan Hukum Perdata
Dalam kasus kali ini masyarakat sekitar kali Citarum dapat melakukan gugatan diluar pengadilan atau gugatan Class Action yaitu mengajukan sejumlah orang sebagai perwakilan kelas (Class Repesentatif) untuk meminta ganti rugi kepada industri-industri yang melakukan pencemaran.  Bentuk ganti rugi yang bisa diminta adalah :
A.    Memberikan sejumlah biaya atau pengobatan untuk korban-korban yang menderita penyakit tertentu yang diakibatkan oleh air limbah yang mengalir diseputaran kali Citarum.
B.     Memberikan fasilitas air bersih untuk keperluan domestik.
C.     Memperbaiki dan menggunakan Instalasai Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan tepat dan semestinya.
D.    Membuang limbah padat langsung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)



IV.             PENUTUP


4.1.    Simpulan
1.      Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan  adalah hukum lingkungan.
2.      Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk   persoalan-persoalan lingkungan.
3.      Hukum lingkungan perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
4.      Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
5.      Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien.

4.2.    Saran
1.      Industri tekstil yang ada disekitar kali Citarum haruslah menjalankan industrinya dengan tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.
2.      Perlu diadakannya sebuah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada setiap industri agar dapat meminimalisasi buangan yang diduga berpotensi mencemari lingkungan.
3.      Penanganan limbah dengan end of pipe treatment pada industri tekstil dirasa kurang tepat, hal ini disebabkan karena penanganan dengan cara tersebut hanya mengubah bentuk limbah dari suatu bentuk kebentuk lainnya.

4.      Industri tekstil haruslah benar-benar sadar akan limbah yang dihasilkan dari pengolahannya sehingga instalasi pengolahan limbahnya dapat dijalankan dengan semestinya.I.         PENDAHULUAN


1.1.    Latar Belakang
Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah menunjukan kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, meliputi bidang sosial, budaya dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.

Banyak kemajuan yang telah dicapai, tetapi disamping itu masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan.  Tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, diantaranya adalah masalah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagai efek samping dari berjalannya proses perundangan.  Pencemaran dan kerusakan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan ini diprediksi  akan terus berlanjut.  Seperti yang dikatakan oleh Otto Soemrawoto “Masyarakat Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa lingkungan hidup berlawanan dengan pembangunan. Mengingat kita masih melarat, pembangunan harus didahulukan dari lingkungan hidup, dalam pemerintahan pun lingkungan hanya menempati tempat yang marjinal”.

Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai efek samping dari proses pembangunan adalah kerusakan sumber daya hutan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya tuntutan lahan dan sumber daya hutan yang yang tidak pada tempatnya, serta meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin.  Pencemaran air, udara dan tanah juga merupakan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai akibat pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang mempertahankan aspek kelestarian fungsi lingkungan hidup. 


Persoalan pencemaran lingkungan dapat dilihat dari berbagai aspek lingkungan yang merupakan sarana untuk penyelesaiannya. Pencemaran kerusakan lingkungan dapat diselesaikan melalui aspek medik, planalogis, teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum. Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan  adalah hukum lingkungan. 

Persoalan lingkungan hidup pada dasarnya adalah persoalan semua orang, dan sudah seyogyanya gerakan-gerakan kesadaran yang coba dibangun untuk memulihkan kondisi lingkungan ke arah yang lebih baik adalah satu keharusan, dengan mengambil peran apapun yang bisa dilakukan oleh semua pihak untuk melakukan perbaikan terhadap kerusakan lingkungan hidup disekitarnya.

UUD 1945 yang pada pasal 1 secara jelas menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat. Jadi merupakan wewenang rakyat untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup di Indonesia. Pasal 28H ayat (1) yang menentukan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkugnan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. 

Hukum lingkungan adalah instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan.  Prespektif hukum lingkungan, penuntasan kasus-kasus pencemaran lingkungan mencakup 3 (tiga) bidang sekaligus, yaitu hukum lingkungan administratif, hukum lingkunga keperdataan, hukum lingkungan kepidanaan sebagai konsekuensi logis kedudukan hukum lingkungan sebagai hukum fungsional.

1.2.    Rumusan Masalah
Keberadaan limbah yang dihasilkan oleh pembangunan dinilai dapat menimbulkan dampak buruk kelingkungan sekitar.  Oleh karena itu, limbah yang dihasilkan didesak untuk menerapkan standardisasi pengolahan limbah yang ramah lingkungan.


1.3.    Tujuan
1.      Memberikan informasi mengenai hukum lingkungan perdata.
2.      Memberikan informasi sanksi mengenai pencemaran yang ditimbulkan dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang ditinjau melalui aspek hukum lingkungan perdata.

1.4.    Metode Penulisan
Pada pembuatan laporan Tugas Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum Perdata ini metode yang digunakan penulis adalah dengan studi literatur.


II.      TINJAUAN PUSTAKA


2.1.    Hukum Lingkungan
Hukum lingkungan menurut Lal Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson adalah   “Seperangkat aturan hukum yang memuat tentang pengendalian dampak manusia terhadap bumi dan kesehatan publik”.  Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk   persoalan-persoalan lingkungan dan secara umum hukum yang secara langsung menunjuk pada dampak atas persoalan-persoalan lingkungan.

UNEP mendefinisikan            hukum lingkungan adalah “Seperangkat aturan hukum yang berisi unsur-unsur untuk mengendalikan dampak manusia terhadap lingkungan.  A.B. Blomberg, A.A..J. de Gier dan J. Robbe memberikan definisi hukum lingkungan sebagai berikut hukum lingkungan  secara  umum  dipahami  sebagai hukum yang melindungi kualitas lingkungan dan hukum konservasi alam. 

Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa dari substansi hukum yang merupakan materi hukum lingkungan, maka mata kuliah hukum lingkungan digolongkan kedalam mata kuliah hukum fungsional (Functionele Rechtsvakken), yaitu mengandung  terobosan antara berbagai disiplin hukum klasik.

Substansi hukum lingkungan menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan  administratif,  hukum  lingkungan keperdataan,  hukum  lingkungan  kepidanaan.  Hukum  lingkungan  internasional  yang  sudah berkembang   menjadi   disiplin ilmu hukum tersendiri dan hukum tata ruang.  Dengan  demikian, hukum  lingkungan tidak merupakan bagian hukum publik ataupun bagian dari hukum  privat, namun mencakup hukum publik dan hukum prifat sekaligus. 

Hukum  lingkungan adalah hukum fungsional yang mengandung aspek hukum publik dan aspek hukum privat.  Dalam kepustakaan hukum lingkungan dan ilmu lingkungan dapat ditemukan berbagai pandangan para pakar hukum lingkungan dan ilmu lingkungan mengenai pengertian pencemaran lingkungan, namun dalam penelitian ini pengertian pencemaran lingkungan mengacu kepada Pasal 1 ayat 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).  Pasal 1 ayat 14 UU PPLH mendefinisikan pencemaran lingkungan sebagai berikut “Pencemaran lingkungan hidup adalah  masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui  baku  mutu  lingkungan hidup  yang  telah  ditetapkan”. 

Pencemaran lingkungan menurut UU PPLH hanya meliputi pencemaran  lingkungan yang disebabkan karena kegiatan manusia, tidak termasuk didalamnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh alam, misalnya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darus Salam, meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta dan  hujan debu dari Gunung Semeru di Jawa Timur.  Pengertian kasus pencemaran lingkungan  dalam tulisan ini adalah terbatas pada kasus pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dan tidak mencakup di dalamnya mengenai pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam.

2.2.    Sejarah Perkembangan Lingkungan
Masalah lingkungan dapat ditinjau dari aspek medik, planologis teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum.  Sebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari Rangkut “Perkembangan hukum lingkungan tidak dipisahkan dengan gerakan sedunia yang memberikan perhatian besarnya tentang lingkungan hidup”. 

Konfrensi PBB tentang lingkungan hidup, telah diadakan di Stockholm pada Tahun 1972, Konferensi Stockholm membahas masalah lingkungan dan jalan keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (Eco-Development), dan kapasitas lingkungan yang ada.  Pada tahun 1983 PBB membentuk komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commission on Environment and Development (WCED).

PBB pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi mengenai masalah lingkungan dan pembangunan The United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil pada tanggal 3-14 Juni Tahun 1992.  Indonesia pertama kali lingkungan hidup masuk dalam GBHN tahun 1993 BAB III huruf B ayat (10) dengan Tap MPR RI No.IV/MPR/1993 dan dijabarkan dalam REPELITA II (1994-1997) dalam Buku III bab 27, tentang Pembinaan Hukum Nasional. 

Semakin maju perkembangan ilmu dan teknologi serta peningkatan ekonomi dan modal, terutama penanaman modal dalam negeri dan modal asing, melalui sektor kehutanan dan pertambangan lahirnya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal dan UU No.6 Tahun 1967 tentang Penanamn Modal Dalam Negeri.  Ini sudah memuat pemikiran tentang pengaturan lingkungan.  Kemudian terjadi peristiwa pencemaran lingkungan berupa minyak akibat kandasnya kapal ”Showa Maru” di Selat Malaka. 

Dari hal tersebut diselenggarakan lokakarya tentang segi-segi hukum dari pengelolaan lingkungan hidup oleh depertemen dan perguruan tinggi.  Indonesia meratifikasi Konvensi IMCO tentang Pencemaran Laut oleh Minyak Bumi dari kapal, yang diimplemantasikan dengan Keppres No.18 Tahun 1978 tentang Civil Liability Convention dan Keppres No. 19 Tahun 1978 tentang Internasional Fund Convention 1971.  Pada tahun 1978 dibentuk kantor menteri negara PPLH, salah tugas membuat RUU lingkungan Hidup.  Kemudian lahirnya UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pengeloan Lingkungan Hidup, diganti UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diganti lagi UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2.3.    Hukum Lingkungan Keperdataan
Pengertian Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli adalah "Rangkaian peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara subyek hukum yang satu dengan subyek yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya."
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum  bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum untuk memperoleh ganti  kerugian.  Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum di bidang hukum lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran lingkungan.

Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan menurut UU PPLH diatur dalam Pasal 84 yang menetapkan:
1.    Penyelesaian  sengketa  lingkungan  hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
2.    Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
3.    Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa

Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) UU PPLH, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.  Dengan ketentuan demikian para pihak diberi kebebasan untuk memilih mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan baik melalui pengadilan atau melalui luar pengadilan.

Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum tertuang dalam Pasal 87 yang selangkapnya menyatakan sebagai berikut:
1.      Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan   perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan   lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan  hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu
2.      Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk  usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum  tidak melepaskan tanggungjawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3.      Pengadilan            dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari   keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4.      Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.

Berdasarkan  ketentuan  Pasal  87  ayat (1)  UU  PPLH,  agar  dapat  diajukan  gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur :
1.      Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan
2.      Melakukan perbuatan melanggar hukum
3.      Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
4.      Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;
5.      Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar  ganti  rugi  dan/atau  melakukan  tindakan tertentu;

Dasar pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.

Class Action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuntction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan kelas (Class Repesentatif) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan sebagai class members.
Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan.  Hal ini berarti bahwa kegunaan class action secara mendasar antara lain adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam perkara yang sama.

Setiap warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan berhak untuk membela hak-nya apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan perdata ada dua macam yaitu :
1.      Gugatan yang dilakukan di luar pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi
2.      Gugatan yang dilakukan melalui peradilan disebut litigasi.

Gugatan perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara :
1.      Oleh orang yang bersangkutan atau ahli warisnya.
2.      Sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama (Class Action).

2.4.    Kendala Pelaksanaan Hukum Lingkungan
Persoalan lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan buah simalakama.  Satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.

Upaya memupuk disiplin lingkungan dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak.  Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran serta perusakan lingkungan hidup.
Karena itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum, sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun pidana.  Hingga kini problem lingkungan terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi.

Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap lingkungan, khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat, maka penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan.
Selain itu upaya menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah kendala seperti:
1.      Masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada.
2.      Biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas.
3.      Membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.

Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan. Kedepan, perlu exit strategy sebagai solusi penting yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan hidup.
1.       Mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2.      Asanya sanksi yang memadai (enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan usaha/industri yang nakal.
3.      Adanya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup patut ditingkatkan.

Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat.  Untuk itu, sudah saatnya penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan baik.

Hakekat hukum lingkungan  secara sederhana adalah seperangkat aturan yang mengatur tatanan lingkungan dalam hal ini lingkungan hidup dimana lingkungan dapat diartikan sebagai semua benda dan kondisi yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam perkembangannya hukum lingkungan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu hukum lingkungan modern dan juga hukum lingkungan klasik.

Bentuk penegakan hukum lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama penegakan melalui istrumen administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan permasalahan dan juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan lingkungan hidup adalah penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang mana kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan sendiri sendiri.

Hukum lingkungan diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka menjaga supaya lingkungan dan sumber daya alam dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi kemampuan lingkungan itu sendiri. 

Kendala di dalam penegakan dan juga pengimplementasian hukum lingkungan antara lain antara adalah perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah, dan yang terakhir adalah kurangnya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
III.   PEMBAHASAN


3.1.    Contoh Kasus
Pada kesempatan kali ini penulis mengangkat kasus tentang limbah cair industri tekstil kali citarum yang penulis ambil dari harian Kompas Jumat, 26 April 2013 13:14 WIB dengan judul berita “DAS Citarum di Ambang Malapetaka Lingkungan” berikut berita tersebut :

Malapetaka lingkungan tengah berlangsung di Daerah Aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Ratusan ribu warga yang tinggal di kawasan ini menderita karena menjadi langganan banjir di musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.

Bertahun-tahun hampir semua pabrik tekstil di Majalaya membuang langsung limbah beracunnya ke Citarum. Padahal, sungai ini masih dipakai untuk keperluan air minum bagi warga di hilir, termasuk 80 persen warga DKI Jakarta.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.

Sampai kini Sungai Citarum masih tercemar. ”Kondisi ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitarnya,” ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Dadan Ramdan.


Susut 62.000 hektar
Komunitas Elingan, yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan, mencatat dalam sembilan tahun ini lahan hutan di DAS Citarum menyusut 86 persen, dari 72.000 hektar tahun 2000 menjadi 9.900 hektar tahun 2009. Pada periode yang sama, luas kawasan permukiman di sekitar DAS Citarum meningkat 115 persen dari 81.7000 hektar jadi 176.000 hektar.

Tahun 2012, lahan kritis mencapai 20 persen dari luas DAS Citarum sekitar 718.000 hektar. Seluas 144.000 hektar di antaranya adalah lahan rusak. Hingga saat ini setiap tahun ada 95 ton tanah per hektar terbawa erosi ke DAS Citarum. Padahal, dalam kaidah lingkungan, tingkat erosi yang ditoleransi hanya sekitar 15 ton per hektar per tahun.

Ketua Umum Badan Musyawarah Masyarakat Sunda Syarif Bastaman menambahkan, beberapa ikan endemik telah punah dari Sungai Citarum. (dmu)
Sumber : Kompas Cetak
Editor : yunan

3.2.    Analisa Kasus
Aspek Hukum Perlindungan kawasan industri di Jawa Barat dari “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum” (Pasal 1 ayat 2 UU 32 Tahun 2009). 

Secara umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (Sustainability) dalam pemanfaatan.  Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.

Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU 32 Tahun 2009 seperti terlihat dalam Pasal 20 ayat 3 UUPLH disebutkan :
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:
1.      Memenuhi baku mutu lingkungan hidup;
2.      Mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Kasus pencemaran oleh kawasan industri di Jawa Barat ini memang belum ada upaya hukum yang dilakukan.  Hal ini dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal pengawasan serta belum adanya keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini, walupun mereka merasakan dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.  Masyarakat ataupun LSM sebenarnya dapat mengajukan upaya hukum dalam menyelesaikan kasus ini yaitu penegakkan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan hukum perdata.

3.3.    Sanksi Perdata
Ketentuan hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam pasal 87 ayat 1 “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”

1.      Kesalahan Industri Tekstil di Sekitar Kali citarum
Kesalahan yang dilakukan oleh industri tekstil yang ada disekitaran kali Citarum adalah tidak memberlakukannya dan/atau menjalankan IPAL dengan baik dan benar. Air limbah yang dihasilkan dibuang langsung kebadan sungai tanpa melalui proses terlebih dahulu.  Sampah padat yang dihasilkan juga tidak dibuang ketempat pembuangan akhir, melainkan langsung kedalam Waduk Saguling.


2.      Kerugian Warga di Sekitar Kali Citarum
Limbah-limbah yang keluar dari industri-industri yang ada tidak diolah terlebih dahulu, sehingga air limbah yang terkategorikan sebagai zat-zat berbahaya dan beracun (B3) mengalir bebas dialiran sungai yang biasa dipakai oleh warga untuk keperluan sehari-sehari. Limbah padat yang dihasilkan pun menyebabkan kerugian untuk masyarakat sekitar terutama jika terjadi hujan lebat.  Jika hujan lebat terjadi dalam waktu yang lama maka sampah yang menumpuk di Waduk Saguling akan menyebabkan banjir.

Rakyat, dalam hal ini lebih banyak sebagai korban terutama yang bersentuhan langsung dengan kawasan dimana terjadi pencemaran yang dilakukan oleh pihak pengusaha.  Hal inilah yang dialami warga seputaran kali Citarum.  Kondisi seperti ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitar tanpa adanya tindak lanjut dari pemerintah.

3.      Kaitannya dengan Hukum Perdata
Dalam kasus kali ini masyarakat sekitar kali Citarum dapat melakukan gugatan diluar pengadilan atau gugatan Class Action yaitu mengajukan sejumlah orang sebagai perwakilan kelas (Class Repesentatif) untuk meminta ganti rugi kepada industri-industri yang melakukan pencemaran.  Bentuk ganti rugi yang bisa diminta adalah :
A.    Memberikan sejumlah biaya atau pengobatan untuk korban-korban yang menderita penyakit tertentu yang diakibatkan oleh air limbah yang mengalir diseputaran kali Citarum.
B.     Memberikan fasilitas air bersih untuk keperluan domestik.
C.     Memperbaiki dan menggunakan Instalasai Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan tepat dan semestinya.
D.    Membuang limbah padat langsung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)


IV.             PENUTUP


4.1.    Simpulan
1.      Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan  adalah hukum lingkungan.
2.      Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk   persoalan-persoalan lingkungan.
3.      Hukum lingkungan perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
4.      Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
5.      Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien.

4.2.    Saran
1.      Industri tekstil yang ada disekitar kali Citarum haruslah menjalankan industrinya dengan tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.
2.      Perlu diadakannya sebuah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada setiap industri agar dapat meminimalisasi buangan yang diduga berpotensi mencemari lingkungan.
3.      Penanganan limbah dengan end of pipe treatment pada industri tekstil dirasa kurang tepat, hal ini disebabkan karena penanganan dengan cara tersebut hanya mengubah bentuk limbah dari suatu bentuk kebentuk lainnya.
4.      Industri tekstil haruslah benar-benar sadar akan limbah yang dihasilkan dari pengolahannya sehingga instalasi pengolahan limbahnya dapat dijalankan dengan semestinya.I.         PENDAHULUAN


1.1.    Latar Belakang
Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah menunjukan kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, meliputi bidang sosial, budaya dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.

Banyak kemajuan yang telah dicapai, tetapi disamping itu masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan.  Tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, diantaranya adalah masalah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagai efek samping dari berjalannya proses perundangan.  Pencemaran dan kerusakan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan ini diprediksi  akan terus berlanjut.  Seperti yang dikatakan oleh Otto Soemrawoto “Masyarakat Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa lingkungan hidup berlawanan dengan pembangunan. Mengingat kita masih melarat, pembangunan harus didahulukan dari lingkungan hidup, dalam pemerintahan pun lingkungan hanya menempati tempat yang marjinal”.

Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai efek samping dari proses pembangunan adalah kerusakan sumber daya hutan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya tuntutan lahan dan sumber daya hutan yang yang tidak pada tempatnya, serta meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin.  Pencemaran air, udara dan tanah juga merupakan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai akibat pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang mempertahankan aspek kelestarian fungsi lingkungan hidup. 


Persoalan pencemaran lingkungan dapat dilihat dari berbagai aspek lingkungan yang merupakan sarana untuk penyelesaiannya. Pencemaran kerusakan lingkungan dapat diselesaikan melalui aspek medik, planalogis, teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum. Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan  adalah hukum lingkungan. 

Persoalan lingkungan hidup pada dasarnya adalah persoalan semua orang, dan sudah seyogyanya gerakan-gerakan kesadaran yang coba dibangun untuk memulihkan kondisi lingkungan ke arah yang lebih baik adalah satu keharusan, dengan mengambil peran apapun yang bisa dilakukan oleh semua pihak untuk melakukan perbaikan terhadap kerusakan lingkungan hidup disekitarnya.

UUD 1945 yang pada pasal 1 secara jelas menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat. Jadi merupakan wewenang rakyat untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup di Indonesia. Pasal 28H ayat (1) yang menentukan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkugnan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. 

Hukum lingkungan adalah instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan.  Prespektif hukum lingkungan, penuntasan kasus-kasus pencemaran lingkungan mencakup 3 (tiga) bidang sekaligus, yaitu hukum lingkungan administratif, hukum lingkunga keperdataan, hukum lingkungan kepidanaan sebagai konsekuensi logis kedudukan hukum lingkungan sebagai hukum fungsional.

1.2.    Rumusan Masalah
Keberadaan limbah yang dihasilkan oleh pembangunan dinilai dapat menimbulkan dampak buruk kelingkungan sekitar.  Oleh karena itu, limbah yang dihasilkan didesak untuk menerapkan standardisasi pengolahan limbah yang ramah lingkungan.


1.3.    Tujuan
1.      Memberikan informasi mengenai hukum lingkungan perdata.
2.      Memberikan informasi sanksi mengenai pencemaran yang ditimbulkan dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang ditinjau melalui aspek hukum lingkungan perdata.

1.4.    Metode Penulisan
Pada pembuatan laporan Tugas Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum Perdata ini metode yang digunakan penulis adalah dengan studi literatur.


II.      TINJAUAN PUSTAKA


2.1.    Hukum Lingkungan
Hukum lingkungan menurut Lal Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson adalah   “Seperangkat aturan hukum yang memuat tentang pengendalian dampak manusia terhadap bumi dan kesehatan publik”.  Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk   persoalan-persoalan lingkungan dan secara umum hukum yang secara langsung menunjuk pada dampak atas persoalan-persoalan lingkungan.

UNEP mendefinisikan            hukum lingkungan adalah “Seperangkat aturan hukum yang berisi unsur-unsur untuk mengendalikan dampak manusia terhadap lingkungan.  A.B. Blomberg, A.A..J. de Gier dan J. Robbe memberikan definisi hukum lingkungan sebagai berikut hukum lingkungan  secara  umum  dipahami  sebagai hukum yang melindungi kualitas lingkungan dan hukum konservasi alam. 

Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa dari substansi hukum yang merupakan materi hukum lingkungan, maka mata kuliah hukum lingkungan digolongkan kedalam mata kuliah hukum fungsional (Functionele Rechtsvakken), yaitu mengandung  terobosan antara berbagai disiplin hukum klasik.

Substansi hukum lingkungan menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan  administratif,  hukum  lingkungan keperdataan,  hukum  lingkungan  kepidanaan.  Hukum  lingkungan  internasional  yang  sudah berkembang   menjadi   disiplin ilmu hukum tersendiri dan hukum tata ruang.  Dengan  demikian, hukum  lingkungan tidak merupakan bagian hukum publik ataupun bagian dari hukum  privat, namun mencakup hukum publik dan hukum prifat sekaligus. 

Hukum  lingkungan adalah hukum fungsional yang mengandung aspek hukum publik dan aspek hukum privat.  Dalam kepustakaan hukum lingkungan dan ilmu lingkungan dapat ditemukan berbagai pandangan para pakar hukum lingkungan dan ilmu lingkungan mengenai pengertian pencemaran lingkungan, namun dalam penelitian ini pengertian pencemaran lingkungan mengacu kepada Pasal 1 ayat 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).  Pasal 1 ayat 14 UU PPLH mendefinisikan pencemaran lingkungan sebagai berikut “Pencemaran lingkungan hidup adalah  masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui  baku  mutu  lingkungan hidup  yang  telah  ditetapkan”. 

Pencemaran lingkungan menurut UU PPLH hanya meliputi pencemaran  lingkungan yang disebabkan karena kegiatan manusia, tidak termasuk didalamnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh alam, misalnya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darus Salam, meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta dan  hujan debu dari Gunung Semeru di Jawa Timur.  Pengertian kasus pencemaran lingkungan  dalam tulisan ini adalah terbatas pada kasus pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dan tidak mencakup di dalamnya mengenai pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam.

2.2.    Sejarah Perkembangan Lingkungan
Masalah lingkungan dapat ditinjau dari aspek medik, planologis teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum.  Sebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari Rangkut “Perkembangan hukum lingkungan tidak dipisahkan dengan gerakan sedunia yang memberikan perhatian besarnya tentang lingkungan hidup”. 

Konfrensi PBB tentang lingkungan hidup, telah diadakan di Stockholm pada Tahun 1972, Konferensi Stockholm membahas masalah lingkungan dan jalan keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (Eco-Development), dan kapasitas lingkungan yang ada.  Pada tahun 1983 PBB membentuk komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commission on Environment and Development (WCED).

PBB pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi mengenai masalah lingkungan dan pembangunan The United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil pada tanggal 3-14 Juni Tahun 1992.  Indonesia pertama kali lingkungan hidup masuk dalam GBHN tahun 1993 BAB III huruf B ayat (10) dengan Tap MPR RI No.IV/MPR/1993 dan dijabarkan dalam REPELITA II (1994-1997) dalam Buku III bab 27, tentang Pembinaan Hukum Nasional. 

Semakin maju perkembangan ilmu dan teknologi serta peningkatan ekonomi dan modal, terutama penanaman modal dalam negeri dan modal asing, melalui sektor kehutanan dan pertambangan lahirnya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal dan UU No.6 Tahun 1967 tentang Penanamn Modal Dalam Negeri.  Ini sudah memuat pemikiran tentang pengaturan lingkungan.  Kemudian terjadi peristiwa pencemaran lingkungan berupa minyak akibat kandasnya kapal ”Showa Maru” di Selat Malaka. 

Dari hal tersebut diselenggarakan lokakarya tentang segi-segi hukum dari pengelolaan lingkungan hidup oleh depertemen dan perguruan tinggi.  Indonesia meratifikasi Konvensi IMCO tentang Pencemaran Laut oleh Minyak Bumi dari kapal, yang diimplemantasikan dengan Keppres No.18 Tahun 1978 tentang Civil Liability Convention dan Keppres No. 19 Tahun 1978 tentang Internasional Fund Convention 1971.  Pada tahun 1978 dibentuk kantor menteri negara PPLH, salah tugas membuat RUU lingkungan Hidup.  Kemudian lahirnya UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pengeloan Lingkungan Hidup, diganti UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diganti lagi UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2.3.    Hukum Lingkungan Keperdataan
Pengertian Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli adalah "Rangkaian peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara subyek hukum yang satu dengan subyek yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya."
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum  bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum untuk memperoleh ganti  kerugian.  Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum di bidang hukum lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran lingkungan.

Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan menurut UU PPLH diatur dalam Pasal 84 yang menetapkan:
1.    Penyelesaian  sengketa  lingkungan  hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
2.    Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
3.    Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa

Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) UU PPLH, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.  Dengan ketentuan demikian para pihak diberi kebebasan untuk memilih mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan baik melalui pengadilan atau melalui luar pengadilan.

Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum tertuang dalam Pasal 87 yang selangkapnya menyatakan sebagai berikut:
1.      Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan   perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan   lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan  hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu
2.      Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk  usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum  tidak melepaskan tanggungjawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3.      Pengadilan            dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari   keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4.      Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.

Berdasarkan  ketentuan  Pasal  87  ayat (1)  UU  PPLH,  agar  dapat  diajukan  gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur :
1.      Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan
2.      Melakukan perbuatan melanggar hukum
3.      Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
4.      Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;
5.      Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar  ganti  rugi  dan/atau  melakukan  tindakan tertentu;

Dasar pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.

Class Action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuntction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan kelas (Class Repesentatif) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan sebagai class members.
Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan.  Hal ini berarti bahwa kegunaan class action secara mendasar antara lain adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam perkara yang sama.

Setiap warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan berhak untuk membela hak-nya apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan perdata ada dua macam yaitu :
1.      Gugatan yang dilakukan di luar pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi
2.      Gugatan yang dilakukan melalui peradilan disebut litigasi.

Gugatan perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara :
1.      Oleh orang yang bersangkutan atau ahli warisnya.
2.      Sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama (Class Action).

2.4.    Kendala Pelaksanaan Hukum Lingkungan
Persoalan lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan buah simalakama.  Satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.

Upaya memupuk disiplin lingkungan dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak.  Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran serta perusakan lingkungan hidup.
Karena itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum, sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun pidana.  Hingga kini problem lingkungan terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi.

Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap lingkungan, khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat, maka penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan.
Selain itu upaya menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah kendala seperti:
1.      Masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada.
2.      Biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas.
3.      Membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.

Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan. Kedepan, perlu exit strategy sebagai solusi penting yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan hidup.
1.       Mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2.      Asanya sanksi yang memadai (enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan usaha/industri yang nakal.
3.      Adanya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup patut ditingkatkan.

Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat.  Untuk itu, sudah saatnya penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan baik.

Hakekat hukum lingkungan  secara sederhana adalah seperangkat aturan yang mengatur tatanan lingkungan dalam hal ini lingkungan hidup dimana lingkungan dapat diartikan sebagai semua benda dan kondisi yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam perkembangannya hukum lingkungan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu hukum lingkungan modern dan juga hukum lingkungan klasik.

Bentuk penegakan hukum lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama penegakan melalui istrumen administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan permasalahan dan juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan lingkungan hidup adalah penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang mana kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan sendiri sendiri.

Hukum lingkungan diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka menjaga supaya lingkungan dan sumber daya alam dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi kemampuan lingkungan itu sendiri. 

Kendala di dalam penegakan dan juga pengimplementasian hukum lingkungan antara lain antara adalah perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah, dan yang terakhir adalah kurangnya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
III.   PEMBAHASAN


3.1.    Contoh Kasus
Pada kesempatan kali ini penulis mengangkat kasus tentang limbah cair industri tekstil kali citarum yang penulis ambil dari harian Kompas Jumat, 26 April 2013 13:14 WIB dengan judul berita “DAS Citarum di Ambang Malapetaka Lingkungan” berikut berita tersebut :

Malapetaka lingkungan tengah berlangsung di Daerah Aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Ratusan ribu warga yang tinggal di kawasan ini menderita karena menjadi langganan banjir di musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.

Bertahun-tahun hampir semua pabrik tekstil di Majalaya membuang langsung limbah beracunnya ke Citarum. Padahal, sungai ini masih dipakai untuk keperluan air minum bagi warga di hilir, termasuk 80 persen warga DKI Jakarta.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.

Sampai kini Sungai Citarum masih tercemar. ”Kondisi ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitarnya,” ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Dadan Ramdan.


Susut 62.000 hektar
Komunitas Elingan, yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan, mencatat dalam sembilan tahun ini lahan hutan di DAS Citarum menyusut 86 persen, dari 72.000 hektar tahun 2000 menjadi 9.900 hektar tahun 2009. Pada periode yang sama, luas kawasan permukiman di sekitar DAS Citarum meningkat 115 persen dari 81.7000 hektar jadi 176.000 hektar.

Tahun 2012, lahan kritis mencapai 20 persen dari luas DAS Citarum sekitar 718.000 hektar. Seluas 144.000 hektar di antaranya adalah lahan rusak. Hingga saat ini setiap tahun ada 95 ton tanah per hektar terbawa erosi ke DAS Citarum. Padahal, dalam kaidah lingkungan, tingkat erosi yang ditoleransi hanya sekitar 15 ton per hektar per tahun.

Ketua Umum Badan Musyawarah Masyarakat Sunda Syarif Bastaman menambahkan, beberapa ikan endemik telah punah dari Sungai Citarum. (dmu)
Sumber : Kompas Cetak
Editor : yunan

3.2.    Analisa Kasus
Aspek Hukum Perlindungan kawasan industri di Jawa Barat dari “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum” (Pasal 1 ayat 2 UU 32 Tahun 2009). 

Secara umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (Sustainability) dalam pemanfaatan.  Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.

Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU 32 Tahun 2009 seperti terlihat dalam Pasal 20 ayat 3 UUPLH disebutkan :
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:
1.      Memenuhi baku mutu lingkungan hidup;
2.      Mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Kasus pencemaran oleh kawasan industri di Jawa Barat ini memang belum ada upaya hukum yang dilakukan.  Hal ini dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal pengawasan serta belum adanya keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini, walupun mereka merasakan dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.  Masyarakat ataupun LSM sebenarnya dapat mengajukan upaya hukum dalam menyelesaikan kasus ini yaitu penegakkan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan hukum perdata.

3.3.    Sanksi Perdata
Ketentuan hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam pasal 87 ayat 1 “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”

1.      Kesalahan Industri Tekstil di Sekitar Kali citarum
Kesalahan yang dilakukan oleh industri tekstil yang ada disekitaran kali Citarum adalah tidak memberlakukannya dan/atau menjalankan IPAL dengan baik dan benar. Air limbah yang dihasilkan dibuang langsung kebadan sungai tanpa melalui proses terlebih dahulu.  Sampah padat yang dihasilkan juga tidak dibuang ketempat pembuangan akhir, melainkan langsung kedalam Waduk Saguling.


2.      Kerugian Warga di Sekitar Kali Citarum
Limbah-limbah yang keluar dari industri-industri yang ada tidak diolah terlebih dahulu, sehingga air limbah yang terkategorikan sebagai zat-zat berbahaya dan beracun (B3) mengalir bebas dialiran sungai yang biasa dipakai oleh warga untuk keperluan sehari-sehari. Limbah padat yang dihasilkan pun menyebabkan kerugian untuk masyarakat sekitar terutama jika terjadi hujan lebat.  Jika hujan lebat terjadi dalam waktu yang lama maka sampah yang menumpuk di Waduk Saguling akan menyebabkan banjir.

Rakyat, dalam hal ini lebih banyak sebagai korban terutama yang bersentuhan langsung dengan kawasan dimana terjadi pencemaran yang dilakukan oleh pihak pengusaha.  Hal inilah yang dialami warga seputaran kali Citarum.  Kondisi seperti ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitar tanpa adanya tindak lanjut dari pemerintah.

3.      Kaitannya dengan Hukum Perdata
Dalam kasus kali ini masyarakat sekitar kali Citarum dapat melakukan gugatan diluar pengadilan atau gugatan Class Action yaitu mengajukan sejumlah orang sebagai perwakilan kelas (Class Repesentatif) untuk meminta ganti rugi kepada industri-industri yang melakukan pencemaran.  Bentuk ganti rugi yang bisa diminta adalah :
A.    Memberikan sejumlah biaya atau pengobatan untuk korban-korban yang menderita penyakit tertentu yang diakibatkan oleh air limbah yang mengalir diseputaran kali Citarum.
B.     Memberikan fasilitas air bersih untuk keperluan domestik.
C.     Memperbaiki dan menggunakan Instalasai Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan tepat dan semestinya.
D.    Membuang limbah padat langsung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)


IV.             PENUTUP


4.1.    Simpulan
1.      Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan  adalah hukum lingkungan.
2.      Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk   persoalan-persoalan lingkungan.
3.      Hukum lingkungan perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
4.      Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
5.      Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien.

4.2.    Saran
1.      Industri tekstil yang ada disekitar kali Citarum haruslah menjalankan industrinya dengan tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.
2.      Perlu diadakannya sebuah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada setiap industri agar dapat meminimalisasi buangan yang diduga berpotensi mencemari lingkungan.
3.      Penanganan limbah dengan end of pipe treatment pada industri tekstil dirasa kurang tepat, hal ini disebabkan karena penanganan dengan cara tersebut hanya mengubah bentuk limbah dari suatu bentuk kebentuk lainnya.
4.      Industri tekstil haruslah benar-benar sadar akan limbah yang dihasilkan dari pengolahannya sehingga instalasi pengolahan limbahnya dapat dijalankan dengan semestinya.I.         PENDAHULUAN


1.1.    Latar Belakang
Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah menunjukan kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, meliputi bidang sosial, budaya dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.

Banyak kemajuan yang telah dicapai, tetapi disamping itu masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan.  Tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, diantaranya adalah masalah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagai efek samping dari berjalannya proses perundangan.  Pencemaran dan kerusakan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan ini diprediksi  akan terus berlanjut.  Seperti yang dikatakan oleh Otto Soemrawoto “Masyarakat Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa lingkungan hidup berlawanan dengan pembangunan. Mengingat kita masih melarat, pembangunan harus didahulukan dari lingkungan hidup, dalam pemerintahan pun lingkungan hanya menempati tempat yang marjinal”.

Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai efek samping dari proses pembangunan adalah kerusakan sumber daya hutan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya tuntutan lahan dan sumber daya hutan yang yang tidak pada tempatnya, serta meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin.  Pencemaran air, udara dan tanah juga merupakan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai akibat pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang mempertahankan aspek kelestarian fungsi lingkungan hidup. 


Persoalan pencemaran lingkungan dapat dilihat dari berbagai aspek lingkungan yang merupakan sarana untuk penyelesaiannya. Pencemaran kerusakan lingkungan dapat diselesaikan melalui aspek medik, planalogis, teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum. Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan  adalah hukum lingkungan. 

Persoalan lingkungan hidup pada dasarnya adalah persoalan semua orang, dan sudah seyogyanya gerakan-gerakan kesadaran yang coba dibangun untuk memulihkan kondisi lingkungan ke arah yang lebih baik adalah satu keharusan, dengan mengambil peran apapun yang bisa dilakukan oleh semua pihak untuk melakukan perbaikan terhadap kerusakan lingkungan hidup disekitarnya.

UUD 1945 yang pada pasal 1 secara jelas menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat. Jadi merupakan wewenang rakyat untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup di Indonesia. Pasal 28H ayat (1) yang menentukan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkugnan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. 

Hukum lingkungan adalah instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan.  Prespektif hukum lingkungan, penuntasan kasus-kasus pencemaran lingkungan mencakup 3 (tiga) bidang sekaligus, yaitu hukum lingkungan administratif, hukum lingkunga keperdataan, hukum lingkungan kepidanaan sebagai konsekuensi logis kedudukan hukum lingkungan sebagai hukum fungsional.

1.2.    Rumusan Masalah
Keberadaan limbah yang dihasilkan oleh pembangunan dinilai dapat menimbulkan dampak buruk kelingkungan sekitar.  Oleh karena itu, limbah yang dihasilkan didesak untuk menerapkan standardisasi pengolahan limbah yang ramah lingkungan.


1.3.    Tujuan
1.      Memberikan informasi mengenai hukum lingkungan perdata.
2.      Memberikan informasi sanksi mengenai pencemaran yang ditimbulkan dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang ditinjau melalui aspek hukum lingkungan perdata.

1.4.    Metode Penulisan
Pada pembuatan laporan Tugas Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum Perdata ini metode yang digunakan penulis adalah dengan studi literatur.


II.      TINJAUAN PUSTAKA


2.1.    Hukum Lingkungan
Hukum lingkungan menurut Lal Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson adalah   “Seperangkat aturan hukum yang memuat tentang pengendalian dampak manusia terhadap bumi dan kesehatan publik”.  Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk   persoalan-persoalan lingkungan dan secara umum hukum yang secara langsung menunjuk pada dampak atas persoalan-persoalan lingkungan.

UNEP mendefinisikan            hukum lingkungan adalah “Seperangkat aturan hukum yang berisi unsur-unsur untuk mengendalikan dampak manusia terhadap lingkungan.  A.B. Blomberg, A.A..J. de Gier dan J. Robbe memberikan definisi hukum lingkungan sebagai berikut hukum lingkungan  secara  umum  dipahami  sebagai hukum yang melindungi kualitas lingkungan dan hukum konservasi alam. 

Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa dari substansi hukum yang merupakan materi hukum lingkungan, maka mata kuliah hukum lingkungan digolongkan kedalam mata kuliah hukum fungsional (Functionele Rechtsvakken), yaitu mengandung  terobosan antara berbagai disiplin hukum klasik.

Substansi hukum lingkungan menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan  administratif,  hukum  lingkungan keperdataan,  hukum  lingkungan  kepidanaan.  Hukum  lingkungan  internasional  yang  sudah berkembang   menjadi   disiplin ilmu hukum tersendiri dan hukum tata ruang.  Dengan  demikian, hukum  lingkungan tidak merupakan bagian hukum publik ataupun bagian dari hukum  privat, namun mencakup hukum publik dan hukum prifat sekaligus. 

Hukum  lingkungan adalah hukum fungsional yang mengandung aspek hukum publik dan aspek hukum privat.  Dalam kepustakaan hukum lingkungan dan ilmu lingkungan dapat ditemukan berbagai pandangan para pakar hukum lingkungan dan ilmu lingkungan mengenai pengertian pencemaran lingkungan, namun dalam penelitian ini pengertian pencemaran lingkungan mengacu kepada Pasal 1 ayat 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).  Pasal 1 ayat 14 UU PPLH mendefinisikan pencemaran lingkungan sebagai berikut “Pencemaran lingkungan hidup adalah  masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui  baku  mutu  lingkungan hidup  yang  telah  ditetapkan”. 

Pencemaran lingkungan menurut UU PPLH hanya meliputi pencemaran  lingkungan yang disebabkan karena kegiatan manusia, tidak termasuk didalamnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh alam, misalnya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darus Salam, meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta dan  hujan debu dari Gunung Semeru di Jawa Timur.  Pengertian kasus pencemaran lingkungan  dalam tulisan ini adalah terbatas pada kasus pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dan tidak mencakup di dalamnya mengenai pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam.

2.2.    Sejarah Perkembangan Lingkungan
Masalah lingkungan dapat ditinjau dari aspek medik, planologis teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum.  Sebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari Rangkut “Perkembangan hukum lingkungan tidak dipisahkan dengan gerakan sedunia yang memberikan perhatian besarnya tentang lingkungan hidup”. 

Konfrensi PBB tentang lingkungan hidup, telah diadakan di Stockholm pada Tahun 1972, Konferensi Stockholm membahas masalah lingkungan dan jalan keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (Eco-Development), dan kapasitas lingkungan yang ada.  Pada tahun 1983 PBB membentuk komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commission on Environment and Development (WCED).

PBB pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi mengenai masalah lingkungan dan pembangunan The United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil pada tanggal 3-14 Juni Tahun 1992.  Indonesia pertama kali lingkungan hidup masuk dalam GBHN tahun 1993 BAB III huruf B ayat (10) dengan Tap MPR RI No.IV/MPR/1993 dan dijabarkan dalam REPELITA II (1994-1997) dalam Buku III bab 27, tentang Pembinaan Hukum Nasional. 

Semakin maju perkembangan ilmu dan teknologi serta peningkatan ekonomi dan modal, terutama penanaman modal dalam negeri dan modal asing, melalui sektor kehutanan dan pertambangan lahirnya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal dan UU No.6 Tahun 1967 tentang Penanamn Modal Dalam Negeri.  Ini sudah memuat pemikiran tentang pengaturan lingkungan.  Kemudian terjadi peristiwa pencemaran lingkungan berupa minyak akibat kandasnya kapal ”Showa Maru” di Selat Malaka. 

Dari hal tersebut diselenggarakan lokakarya tentang segi-segi hukum dari pengelolaan lingkungan hidup oleh depertemen dan perguruan tinggi.  Indonesia meratifikasi Konvensi IMCO tentang Pencemaran Laut oleh Minyak Bumi dari kapal, yang diimplemantasikan dengan Keppres No.18 Tahun 1978 tentang Civil Liability Convention dan Keppres No. 19 Tahun 1978 tentang Internasional Fund Convention 1971.  Pada tahun 1978 dibentuk kantor menteri negara PPLH, salah tugas membuat RUU lingkungan Hidup.  Kemudian lahirnya UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pengeloan Lingkungan Hidup, diganti UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diganti lagi UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2.3.    Hukum Lingkungan Keperdataan
Pengertian Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli adalah "Rangkaian peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara subyek hukum yang satu dengan subyek yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya."
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum  bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum untuk memperoleh ganti  kerugian.  Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum di bidang hukum lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran lingkungan.

Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan menurut UU PPLH diatur dalam Pasal 84 yang menetapkan:
1.    Penyelesaian  sengketa  lingkungan  hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
2.    Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
3.    Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa

Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) UU PPLH, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.  Dengan ketentuan demikian para pihak diberi kebebasan untuk memilih mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan baik melalui pengadilan atau melalui luar pengadilan.

Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum tertuang dalam Pasal 87 yang selangkapnya menyatakan sebagai berikut:
1.      Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan   perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan   lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan  hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu
2.      Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk  usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum  tidak melepaskan tanggungjawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3.      Pengadilan            dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari   keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4.      Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.

Berdasarkan  ketentuan  Pasal  87  ayat (1)  UU  PPLH,  agar  dapat  diajukan  gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur :
1.      Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan
2.      Melakukan perbuatan melanggar hukum
3.      Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
4.      Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;
5.      Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar  ganti  rugi  dan/atau  melakukan  tindakan tertentu;

Dasar pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.

Class Action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuntction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan kelas (Class Repesentatif) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan sebagai class members.
Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan.  Hal ini berarti bahwa kegunaan class action secara mendasar antara lain adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam perkara yang sama.

Setiap warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan berhak untuk membela hak-nya apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan perdata ada dua macam yaitu :
1.      Gugatan yang dilakukan di luar pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi
2.      Gugatan yang dilakukan melalui peradilan disebut litigasi.

Gugatan perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara :
1.      Oleh orang yang bersangkutan atau ahli warisnya.
2.      Sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama (Class Action).

2.4.    Kendala Pelaksanaan Hukum Lingkungan
Persoalan lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan buah simalakama.  Satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.

Upaya memupuk disiplin lingkungan dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak.  Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran serta perusakan lingkungan hidup.
Karena itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum, sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun pidana.  Hingga kini problem lingkungan terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi.

Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap lingkungan, khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat, maka penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan.
Selain itu upaya menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah kendala seperti:
1.      Masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada.
2.      Biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas.
3.      Membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.

Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan. Kedepan, perlu exit strategy sebagai solusi penting yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan hidup.
1.       Mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2.      Asanya sanksi yang memadai (enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan usaha/industri yang nakal.
3.      Adanya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup patut ditingkatkan.

Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat.  Untuk itu, sudah saatnya penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan baik.

Hakekat hukum lingkungan  secara sederhana adalah seperangkat aturan yang mengatur tatanan lingkungan dalam hal ini lingkungan hidup dimana lingkungan dapat diartikan sebagai semua benda dan kondisi yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam perkembangannya hukum lingkungan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu hukum lingkungan modern dan juga hukum lingkungan klasik.

Bentuk penegakan hukum lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama penegakan melalui istrumen administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan permasalahan dan juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan lingkungan hidup adalah penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang mana kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan sendiri sendiri.

Hukum lingkungan diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka menjaga supaya lingkungan dan sumber daya alam dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi kemampuan lingkungan itu sendiri. 

Kendala di dalam penegakan dan juga pengimplementasian hukum lingkungan antara lain antara adalah perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah, dan yang terakhir adalah kurangnya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
III.   PEMBAHASAN


3.1.    Contoh Kasus
Pada kesempatan kali ini penulis mengangkat kasus tentang limbah cair industri tekstil kali citarum yang penulis ambil dari harian Kompas Jumat, 26 April 2013 13:14 WIB dengan judul berita “DAS Citarum di Ambang Malapetaka Lingkungan” berikut berita tersebut :

Malapetaka lingkungan tengah berlangsung di Daerah Aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Ratusan ribu warga yang tinggal di kawasan ini menderita karena menjadi langganan banjir di musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.

Bertahun-tahun hampir semua pabrik tekstil di Majalaya membuang langsung limbah beracunnya ke Citarum. Padahal, sungai ini masih dipakai untuk keperluan air minum bagi warga di hilir, termasuk 80 persen warga DKI Jakarta.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.

Sampai kini Sungai Citarum masih tercemar. ”Kondisi ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitarnya,” ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Dadan Ramdan.


Susut 62.000 hektar
Komunitas Elingan, yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan, mencatat dalam sembilan tahun ini lahan hutan di DAS Citarum menyusut 86 persen, dari 72.000 hektar tahun 2000 menjadi 9.900 hektar tahun 2009. Pada periode yang sama, luas kawasan permukiman di sekitar DAS Citarum meningkat 115 persen dari 81.7000 hektar jadi 176.000 hektar.

Tahun 2012, lahan kritis mencapai 20 persen dari luas DAS Citarum sekitar 718.000 hektar. Seluas 144.000 hektar di antaranya adalah lahan rusak. Hingga saat ini setiap tahun ada 95 ton tanah per hektar terbawa erosi ke DAS Citarum. Padahal, dalam kaidah lingkungan, tingkat erosi yang ditoleransi hanya sekitar 15 ton per hektar per tahun.

Ketua Umum Badan Musyawarah Masyarakat Sunda Syarif Bastaman menambahkan, beberapa ikan endemik telah punah dari Sungai Citarum. (dmu)
Sumber : Kompas Cetak
Editor : yunan

3.2.    Analisa Kasus
Aspek Hukum Perlindungan kawasan industri di Jawa Barat dari “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum” (Pasal 1 ayat 2 UU 32 Tahun 2009). 

Secara umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (Sustainability) dalam pemanfaatan.  Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.

Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU 32 Tahun 2009 seperti terlihat dalam Pasal 20 ayat 3 UUPLH disebutkan :
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:
1.      Memenuhi baku mutu lingkungan hidup;
2.      Mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Kasus pencemaran oleh kawasan industri di Jawa Barat ini memang belum ada upaya hukum yang dilakukan.  Hal ini dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal pengawasan serta belum adanya keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini, walupun mereka merasakan dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.  Masyarakat ataupun LSM sebenarnya dapat mengajukan upaya hukum dalam menyelesaikan kasus ini yaitu penegakkan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan hukum perdata.

3.3.    Sanksi Perdata
Ketentuan hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam pasal 87 ayat 1 “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”

1.      Kesalahan Industri Tekstil di Sekitar Kali citarum
Kesalahan yang dilakukan oleh industri tekstil yang ada disekitaran kali Citarum adalah tidak memberlakukannya dan/atau menjalankan IPAL dengan baik dan benar. Air limbah yang dihasilkan dibuang langsung kebadan sungai tanpa melalui proses terlebih dahulu.  Sampah padat yang dihasilkan juga tidak dibuang ketempat pembuangan akhir, melainkan langsung kedalam Waduk Saguling.


2.      Kerugian Warga di Sekitar Kali Citarum
Limbah-limbah yang keluar dari industri-industri yang ada tidak diolah terlebih dahulu, sehingga air limbah yang terkategorikan sebagai zat-zat berbahaya dan beracun (B3) mengalir bebas dialiran sungai yang biasa dipakai oleh warga untuk keperluan sehari-sehari. Limbah padat yang dihasilkan pun menyebabkan kerugian untuk masyarakat sekitar terutama jika terjadi hujan lebat.  Jika hujan lebat terjadi dalam waktu yang lama maka sampah yang menumpuk di Waduk Saguling akan menyebabkan banjir.

Rakyat, dalam hal ini lebih banyak sebagai korban terutama yang bersentuhan langsung dengan kawasan dimana terjadi pencemaran yang dilakukan oleh pihak pengusaha.  Hal inilah yang dialami warga seputaran kali Citarum.  Kondisi seperti ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitar tanpa adanya tindak lanjut dari pemerintah.

3.      Kaitannya dengan Hukum Perdata
Dalam kasus kali ini masyarakat sekitar kali Citarum dapat melakukan gugatan diluar pengadilan atau gugatan Class Action yaitu mengajukan sejumlah orang sebagai perwakilan kelas (Class Repesentatif) untuk meminta ganti rugi kepada industri-industri yang melakukan pencemaran.  Bentuk ganti rugi yang bisa diminta adalah :
A.    Memberikan sejumlah biaya atau pengobatan untuk korban-korban yang menderita penyakit tertentu yang diakibatkan oleh air limbah yang mengalir diseputaran kali Citarum.
B.     Memberikan fasilitas air bersih untuk keperluan domestik.
C.     Memperbaiki dan menggunakan Instalasai Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan tepat dan semestinya.
D.    Membuang limbah padat langsung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)


IV.             PENUTUP


4.1.    Simpulan
1.      Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan  adalah hukum lingkungan.
2.      Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk   persoalan-persoalan lingkungan.
3.      Hukum lingkungan perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
4.      Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
5.      Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien.

4.2.    Saran
1.      Industri tekstil yang ada disekitar kali Citarum haruslah menjalankan industrinya dengan tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.
2.      Perlu diadakannya sebuah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada setiap industri agar dapat meminimalisasi buangan yang diduga berpotensi mencemari lingkungan.
3.      Penanganan limbah dengan end of pipe treatment pada industri tekstil dirasa kurang tepat, hal ini disebabkan karena penanganan dengan cara tersebut hanya mengubah bentuk limbah dari suatu bentuk kebentuk lainnya.
4.      Industri tekstil haruslah benar-benar sadar akan limbah yang dihasilkan dari pengolahannya sehingga instalasi pengolahan limbahnya dapat dijalankan dengan semestinya.I.         PENDAHULUAN


1.1.    Latar Belakang
Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah menunjukan kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, meliputi bidang sosial, budaya dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.

Banyak kemajuan yang telah dicapai, tetapi disamping itu masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan.  Tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, diantaranya adalah masalah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagai efek samping dari berjalannya proses perundangan.  Pencemaran dan kerusakan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan ini diprediksi  akan terus berlanjut.  Seperti yang dikatakan oleh Otto Soemrawoto “Masyarakat Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa lingkungan hidup berlawanan dengan pembangunan. Mengingat kita masih melarat, pembangunan harus didahulukan dari lingkungan hidup, dalam pemerintahan pun lingkungan hanya menempati tempat yang marjinal”.

Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai efek samping dari proses pembangunan adalah kerusakan sumber daya hutan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya tuntutan lahan dan sumber daya hutan yang yang tidak pada tempatnya, serta meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin.  Pencemaran air, udara dan tanah juga merupakan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai akibat pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang mempertahankan aspek kelestarian fungsi lingkungan hidup. 


Persoalan pencemaran lingkungan dapat dilihat dari berbagai aspek lingkungan yang merupakan sarana untuk penyelesaiannya. Pencemaran kerusakan lingkungan dapat diselesaikan melalui aspek medik, planalogis, teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum. Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan  adalah hukum lingkungan. 

Persoalan lingkungan hidup pada dasarnya adalah persoalan semua orang, dan sudah seyogyanya gerakan-gerakan kesadaran yang coba dibangun untuk memulihkan kondisi lingkungan ke arah yang lebih baik adalah satu keharusan, dengan mengambil peran apapun yang bisa dilakukan oleh semua pihak untuk melakukan perbaikan terhadap kerusakan lingkungan hidup disekitarnya.

UUD 1945 yang pada pasal 1 secara jelas menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat. Jadi merupakan wewenang rakyat untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup di Indonesia. Pasal 28H ayat (1) yang menentukan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkugnan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. 

Hukum lingkungan adalah instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan.  Prespektif hukum lingkungan, penuntasan kasus-kasus pencemaran lingkungan mencakup 3 (tiga) bidang sekaligus, yaitu hukum lingkungan administratif, hukum lingkunga keperdataan, hukum lingkungan kepidanaan sebagai konsekuensi logis kedudukan hukum lingkungan sebagai hukum fungsional.

1.2.    Rumusan Masalah
Keberadaan limbah yang dihasilkan oleh pembangunan dinilai dapat menimbulkan dampak buruk kelingkungan sekitar.  Oleh karena itu, limbah yang dihasilkan didesak untuk menerapkan standardisasi pengolahan limbah yang ramah lingkungan.


1.3.    Tujuan
1.      Memberikan informasi mengenai hukum lingkungan perdata.
2.      Memberikan informasi sanksi mengenai pencemaran yang ditimbulkan dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang ditinjau melalui aspek hukum lingkungan perdata.

1.4.    Metode Penulisan
Pada pembuatan laporan Tugas Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum Perdata ini metode yang digunakan penulis adalah dengan studi literatur.


II.      TINJAUAN PUSTAKA


2.1.    Hukum Lingkungan
Hukum lingkungan menurut Lal Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson adalah   “Seperangkat aturan hukum yang memuat tentang pengendalian dampak manusia terhadap bumi dan kesehatan publik”.  Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk   persoalan-persoalan lingkungan dan secara umum hukum yang secara langsung menunjuk pada dampak atas persoalan-persoalan lingkungan.

UNEP mendefinisikan            hukum lingkungan adalah “Seperangkat aturan hukum yang berisi unsur-unsur untuk mengendalikan dampak manusia terhadap lingkungan.  A.B. Blomberg, A.A..J. de Gier dan J. Robbe memberikan definisi hukum lingkungan sebagai berikut hukum lingkungan  secara  umum  dipahami  sebagai hukum yang melindungi kualitas lingkungan dan hukum konservasi alam. 

Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa dari substansi hukum yang merupakan materi hukum lingkungan, maka mata kuliah hukum lingkungan digolongkan kedalam mata kuliah hukum fungsional (Functionele Rechtsvakken), yaitu mengandung  terobosan antara berbagai disiplin hukum klasik.

Substansi hukum lingkungan menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan  administratif,  hukum  lingkungan keperdataan,  hukum  lingkungan  kepidanaan.  Hukum  lingkungan  internasional  yang  sudah berkembang   menjadi   disiplin ilmu hukum tersendiri dan hukum tata ruang.  Dengan  demikian, hukum  lingkungan tidak merupakan bagian hukum publik ataupun bagian dari hukum  privat, namun mencakup hukum publik dan hukum prifat sekaligus. 

Hukum  lingkungan adalah hukum fungsional yang mengandung aspek hukum publik dan aspek hukum privat.  Dalam kepustakaan hukum lingkungan dan ilmu lingkungan dapat ditemukan berbagai pandangan para pakar hukum lingkungan dan ilmu lingkungan mengenai pengertian pencemaran lingkungan, namun dalam penelitian ini pengertian pencemaran lingkungan mengacu kepada Pasal 1 ayat 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).  Pasal 1 ayat 14 UU PPLH mendefinisikan pencemaran lingkungan sebagai berikut “Pencemaran lingkungan hidup adalah  masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui  baku  mutu  lingkungan hidup  yang  telah  ditetapkan”. 

Pencemaran lingkungan menurut UU PPLH hanya meliputi pencemaran  lingkungan yang disebabkan karena kegiatan manusia, tidak termasuk didalamnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh alam, misalnya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darus Salam, meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta dan  hujan debu dari Gunung Semeru di Jawa Timur.  Pengertian kasus pencemaran lingkungan  dalam tulisan ini adalah terbatas pada kasus pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dan tidak mencakup di dalamnya mengenai pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam.

2.2.    Sejarah Perkembangan Lingkungan
Masalah lingkungan dapat ditinjau dari aspek medik, planologis teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum.  Sebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari Rangkut “Perkembangan hukum lingkungan tidak dipisahkan dengan gerakan sedunia yang memberikan perhatian besarnya tentang lingkungan hidup”. 

Konfrensi PBB tentang lingkungan hidup, telah diadakan di Stockholm pada Tahun 1972, Konferensi Stockholm membahas masalah lingkungan dan jalan keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (Eco-Development), dan kapasitas lingkungan yang ada.  Pada tahun 1983 PBB membentuk komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commission on Environment and Development (WCED).

PBB pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi mengenai masalah lingkungan dan pembangunan The United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil pada tanggal 3-14 Juni Tahun 1992.  Indonesia pertama kali lingkungan hidup masuk dalam GBHN tahun 1993 BAB III huruf B ayat (10) dengan Tap MPR RI No.IV/MPR/1993 dan dijabarkan dalam REPELITA II (1994-1997) dalam Buku III bab 27, tentang Pembinaan Hukum Nasional. 

Semakin maju perkembangan ilmu dan teknologi serta peningkatan ekonomi dan modal, terutama penanaman modal dalam negeri dan modal asing, melalui sektor kehutanan dan pertambangan lahirnya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal dan UU No.6 Tahun 1967 tentang Penanamn Modal Dalam Negeri.  Ini sudah memuat pemikiran tentang pengaturan lingkungan.  Kemudian terjadi peristiwa pencemaran lingkungan berupa minyak akibat kandasnya kapal ”Showa Maru” di Selat Malaka. 

Dari hal tersebut diselenggarakan lokakarya tentang segi-segi hukum dari pengelolaan lingkungan hidup oleh depertemen dan perguruan tinggi.  Indonesia meratifikasi Konvensi IMCO tentang Pencemaran Laut oleh Minyak Bumi dari kapal, yang diimplemantasikan dengan Keppres No.18 Tahun 1978 tentang Civil Liability Convention dan Keppres No. 19 Tahun 1978 tentang Internasional Fund Convention 1971.  Pada tahun 1978 dibentuk kantor menteri negara PPLH, salah tugas membuat RUU lingkungan Hidup.  Kemudian lahirnya UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pengeloan Lingkungan Hidup, diganti UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diganti lagi UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2.3.    Hukum Lingkungan Keperdataan
Pengertian Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli adalah "Rangkaian peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara subyek hukum yang satu dengan subyek yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya."
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum  bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum untuk memperoleh ganti  kerugian.  Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum di bidang hukum lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran lingkungan.

Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan menurut UU PPLH diatur dalam Pasal 84 yang menetapkan:
1.    Penyelesaian  sengketa  lingkungan  hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
2.    Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
3.    Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa

Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) UU PPLH, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.  Dengan ketentuan demikian para pihak diberi kebebasan untuk memilih mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan baik melalui pengadilan atau melalui luar pengadilan.

Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum tertuang dalam Pasal 87 yang selangkapnya menyatakan sebagai berikut:
1.      Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan   perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan   lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan  hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu
2.      Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk  usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum  tidak melepaskan tanggungjawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3.      Pengadilan            dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari   keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4.      Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.

Berdasarkan  ketentuan  Pasal  87  ayat (1)  UU  PPLH,  agar  dapat  diajukan  gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur :
1.      Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan
2.      Melakukan perbuatan melanggar hukum
3.      Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
4.      Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;
5.      Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar  ganti  rugi  dan/atau  melakukan  tindakan tertentu;

Dasar pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.

Class Action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuntction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan kelas (Class Repesentatif) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan sebagai class members.
Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan.  Hal ini berarti bahwa kegunaan class action secara mendasar antara lain adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam perkara yang sama.

Setiap warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan berhak untuk membela hak-nya apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan perdata ada dua macam yaitu :
1.      Gugatan yang dilakukan di luar pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi
2.      Gugatan yang dilakukan melalui peradilan disebut litigasi.

Gugatan perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara :
1.      Oleh orang yang bersangkutan atau ahli warisnya.
2.      Sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama (Class Action).

2.4.    Kendala Pelaksanaan Hukum Lingkungan
Persoalan lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan buah simalakama.  Satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.

Upaya memupuk disiplin lingkungan dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak.  Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran serta perusakan lingkungan hidup.
Karena itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum, sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun pidana.  Hingga kini problem lingkungan terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi.

Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap lingkungan, khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat, maka penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan.
Selain itu upaya menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah kendala seperti:
1.      Masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada.
2.      Biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas.
3.      Membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.

Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan. Kedepan, perlu exit strategy sebagai solusi penting yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan hidup.
1.       Mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2.      Asanya sanksi yang memadai (enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan usaha/industri yang nakal.
3.      Adanya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup patut ditingkatkan.

Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat.  Untuk itu, sudah saatnya penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan baik.

Hakekat hukum lingkungan  secara sederhana adalah seperangkat aturan yang mengatur tatanan lingkungan dalam hal ini lingkungan hidup dimana lingkungan dapat diartikan sebagai semua benda dan kondisi yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam perkembangannya hukum lingkungan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu hukum lingkungan modern dan juga hukum lingkungan klasik.

Bentuk penegakan hukum lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama penegakan melalui istrumen administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan permasalahan dan juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan lingkungan hidup adalah penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang mana kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan sendiri sendiri.

Hukum lingkungan diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka menjaga supaya lingkungan dan sumber daya alam dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi kemampuan lingkungan itu sendiri. 

Kendala di dalam penegakan dan juga pengimplementasian hukum lingkungan antara lain antara adalah perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah, dan yang terakhir adalah kurangnya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
III.   PEMBAHASAN


3.1.    Contoh Kasus
Pada kesempatan kali ini penulis mengangkat kasus tentang limbah cair industri tekstil kali citarum yang penulis ambil dari harian Kompas Jumat, 26 April 2013 13:14 WIB dengan judul berita “DAS Citarum di Ambang Malapetaka Lingkungan” berikut berita tersebut :

Malapetaka lingkungan tengah berlangsung di Daerah Aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Ratusan ribu warga yang tinggal di kawasan ini menderita karena menjadi langganan banjir di musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.

Bertahun-tahun hampir semua pabrik tekstil di Majalaya membuang langsung limbah beracunnya ke Citarum. Padahal, sungai ini masih dipakai untuk keperluan air minum bagi warga di hilir, termasuk 80 persen warga DKI Jakarta.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.

Sampai kini Sungai Citarum masih tercemar. ”Kondisi ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitarnya,” ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Dadan Ramdan.


Susut 62.000 hektar
Komunitas Elingan, yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan, mencatat dalam sembilan tahun ini lahan hutan di DAS Citarum menyusut 86 persen, dari 72.000 hektar tahun 2000 menjadi 9.900 hektar tahun 2009. Pada periode yang sama, luas kawasan permukiman di sekitar DAS Citarum meningkat 115 persen dari 81.7000 hektar jadi 176.000 hektar.

Tahun 2012, lahan kritis mencapai 20 persen dari luas DAS Citarum sekitar 718.000 hektar. Seluas 144.000 hektar di antaranya adalah lahan rusak. Hingga saat ini setiap tahun ada 95 ton tanah per hektar terbawa erosi ke DAS Citarum. Padahal, dalam kaidah lingkungan, tingkat erosi yang ditoleransi hanya sekitar 15 ton per hektar per tahun.

Ketua Umum Badan Musyawarah Masyarakat Sunda Syarif Bastaman menambahkan, beberapa ikan endemik telah punah dari Sungai Citarum. (dmu)
Sumber : Kompas Cetak
Editor : yunan

3.2.    Analisa Kasus
Aspek Hukum Perlindungan kawasan industri di Jawa Barat dari “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum” (Pasal 1 ayat 2 UU 32 Tahun 2009). 

Secara umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (Sustainability) dalam pemanfaatan.  Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.

Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU 32 Tahun 2009 seperti terlihat dalam Pasal 20 ayat 3 UUPLH disebutkan :
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:
1.      Memenuhi baku mutu lingkungan hidup;
2.      Mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Kasus pencemaran oleh kawasan industri di Jawa Barat ini memang belum ada upaya hukum yang dilakukan.  Hal ini dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal pengawasan serta belum adanya keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini, walupun mereka merasakan dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.  Masyarakat ataupun LSM sebenarnya dapat mengajukan upaya hukum dalam menyelesaikan kasus ini yaitu penegakkan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan hukum perdata.

3.3.    Sanksi Perdata
Ketentuan hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam pasal 87 ayat 1 “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”

1.      Kesalahan Industri Tekstil di Sekitar Kali citarum
Kesalahan yang dilakukan oleh industri tekstil yang ada disekitaran kali Citarum adalah tidak memberlakukannya dan/atau menjalankan IPAL dengan baik dan benar. Air limbah yang dihasilkan dibuang langsung kebadan sungai tanpa melalui proses terlebih dahulu.  Sampah padat yang dihasilkan juga tidak dibuang ketempat pembuangan akhir, melainkan langsung kedalam Waduk Saguling.


2.      Kerugian Warga di Sekitar Kali Citarum
Limbah-limbah yang keluar dari industri-industri yang ada tidak diolah terlebih dahulu, sehingga air limbah yang terkategorikan sebagai zat-zat berbahaya dan beracun (B3) mengalir bebas dialiran sungai yang biasa dipakai oleh warga untuk keperluan sehari-sehari. Limbah padat yang dihasilkan pun menyebabkan kerugian untuk masyarakat sekitar terutama jika terjadi hujan lebat.  Jika hujan lebat terjadi dalam waktu yang lama maka sampah yang menumpuk di Waduk Saguling akan menyebabkan banjir.

Rakyat, dalam hal ini lebih banyak sebagai korban terutama yang bersentuhan langsung dengan kawasan dimana terjadi pencemaran yang dilakukan oleh pihak pengusaha.  Hal inilah yang dialami warga seputaran kali Citarum.  Kondisi seperti ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitar tanpa adanya tindak lanjut dari pemerintah.

3.      Kaitannya dengan Hukum Perdata
Dalam kasus kali ini masyarakat sekitar kali Citarum dapat melakukan gugatan diluar pengadilan atau gugatan Class Action yaitu mengajukan sejumlah orang sebagai perwakilan kelas (Class Repesentatif) untuk meminta ganti rugi kepada industri-industri yang melakukan pencemaran.  Bentuk ganti rugi yang bisa diminta adalah :
A.    Memberikan sejumlah biaya atau pengobatan untuk korban-korban yang menderita penyakit tertentu yang diakibatkan oleh air limbah yang mengalir diseputaran kali Citarum.
B.     Memberikan fasilitas air bersih untuk keperluan domestik.
C.     Memperbaiki dan menggunakan Instalasai Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan tepat dan semestinya.
D.    Membuang limbah padat langsung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)


IV.             PENUTUP


4.1.    Simpulan
1.      Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan  adalah hukum lingkungan.
2.      Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk   persoalan-persoalan lingkungan.
3.      Hukum lingkungan perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
4.      Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
5.      Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien.

4.2.    Saran
1.      Industri tekstil yang ada disekitar kali Citarum haruslah menjalankan industrinya dengan tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.
2.      Perlu diadakannya sebuah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada setiap industri agar dapat meminimalisasi buangan yang diduga berpotensi mencemari lingkungan.
3.      Penanganan limbah dengan end of pipe treatment pada industri tekstil dirasa kurang tepat, hal ini disebabkan karena penanganan dengan cara tersebut hanya mengubah bentuk limbah dari suatu bentuk kebentuk lainnya.
4.      Industri tekstil haruslah benar-benar sadar akan limbah yang dihasilkan dari pengolahannya sehingga instalasi pengolahan limbahnya dapat dijalankan dengan semestinya.I.         PENDAHULUAN


1.1.    Latar Belakang
Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah menunjukan kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, meliputi bidang sosial, budaya dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.

Banyak kemajuan yang telah dicapai, tetapi disamping itu masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan.  Tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, diantaranya adalah masalah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagai efek samping dari berjalannya proses perundangan.  Pencemaran dan kerusakan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan ini diprediksi  akan terus berlanjut.  Seperti yang dikatakan oleh Otto Soemrawoto “Masyarakat Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa lingkungan hidup berlawanan dengan pembangunan. Mengingat kita masih melarat, pembangunan harus didahulukan dari lingkungan hidup, dalam pemerintahan pun lingkungan hanya menempati tempat yang marjinal”.

Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai efek samping dari proses pembangunan adalah kerusakan sumber daya hutan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya tuntutan lahan dan sumber daya hutan yang yang tidak pada tempatnya, serta meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin.  Pencemaran air, udara dan tanah juga merupakan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai akibat pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang mempertahankan aspek kelestarian fungsi lingkungan hidup. 


Persoalan pencemaran lingkungan dapat dilihat dari berbagai aspek lingkungan yang merupakan sarana untuk penyelesaiannya. Pencemaran kerusakan lingkungan dapat diselesaikan melalui aspek medik, planalogis, teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum. Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan  adalah hukum lingkungan. 

Persoalan lingkungan hidup pada dasarnya adalah persoalan semua orang, dan sudah seyogyanya gerakan-gerakan kesadaran yang coba dibangun untuk memulihkan kondisi lingkungan ke arah yang lebih baik adalah satu keharusan, dengan mengambil peran apapun yang bisa dilakukan oleh semua pihak untuk melakukan perbaikan terhadap kerusakan lingkungan hidup disekitarnya.

UUD 1945 yang pada pasal 1 secara jelas menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat. Jadi merupakan wewenang rakyat untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup di Indonesia. Pasal 28H ayat (1) yang menentukan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkugnan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. 

Hukum lingkungan adalah instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan.  Prespektif hukum lingkungan, penuntasan kasus-kasus pencemaran lingkungan mencakup 3 (tiga) bidang sekaligus, yaitu hukum lingkungan administratif, hukum lingkunga keperdataan, hukum lingkungan kepidanaan sebagai konsekuensi logis kedudukan hukum lingkungan sebagai hukum fungsional.

1.2.    Rumusan Masalah
Keberadaan limbah yang dihasilkan oleh pembangunan dinilai dapat menimbulkan dampak buruk kelingkungan sekitar.  Oleh karena itu, limbah yang dihasilkan didesak untuk menerapkan standardisasi pengolahan limbah yang ramah lingkungan.


1.3.    Tujuan
1.      Memberikan informasi mengenai hukum lingkungan perdata.
2.      Memberikan informasi sanksi mengenai pencemaran yang ditimbulkan dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang ditinjau melalui aspek hukum lingkungan perdata.

1.4.    Metode Penulisan
Pada pembuatan laporan Tugas Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum Perdata ini metode yang digunakan penulis adalah dengan studi literatur.


II.      TINJAUAN PUSTAKA


2.1.    Hukum Lingkungan
Hukum lingkungan menurut Lal Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson adalah   “Seperangkat aturan hukum yang memuat tentang pengendalian dampak manusia terhadap bumi dan kesehatan publik”.  Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk   persoalan-persoalan lingkungan dan secara umum hukum yang secara langsung menunjuk pada dampak atas persoalan-persoalan lingkungan.

UNEP mendefinisikan            hukum lingkungan adalah “Seperangkat aturan hukum yang berisi unsur-unsur untuk mengendalikan dampak manusia terhadap lingkungan.  A.B. Blomberg, A.A..J. de Gier dan J. Robbe memberikan definisi hukum lingkungan sebagai berikut hukum lingkungan  secara  umum  dipahami  sebagai hukum yang melindungi kualitas lingkungan dan hukum konservasi alam. 

Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa dari substansi hukum yang merupakan materi hukum lingkungan, maka mata kuliah hukum lingkungan digolongkan kedalam mata kuliah hukum fungsional (Functionele Rechtsvakken), yaitu mengandung  terobosan antara berbagai disiplin hukum klasik.

Substansi hukum lingkungan menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan  administratif,  hukum  lingkungan keperdataan,  hukum  lingkungan  kepidanaan.  Hukum  lingkungan  internasional  yang  sudah berkembang   menjadi   disiplin ilmu hukum tersendiri dan hukum tata ruang.  Dengan  demikian, hukum  lingkungan tidak merupakan bagian hukum publik ataupun bagian dari hukum  privat, namun mencakup hukum publik dan hukum prifat sekaligus. 

Hukum  lingkungan adalah hukum fungsional yang mengandung aspek hukum publik dan aspek hukum privat.  Dalam kepustakaan hukum lingkungan dan ilmu lingkungan dapat ditemukan berbagai pandangan para pakar hukum lingkungan dan ilmu lingkungan mengenai pengertian pencemaran lingkungan, namun dalam penelitian ini pengertian pencemaran lingkungan mengacu kepada Pasal 1 ayat 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).  Pasal 1 ayat 14 UU PPLH mendefinisikan pencemaran lingkungan sebagai berikut “Pencemaran lingkungan hidup adalah  masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui  baku  mutu  lingkungan hidup  yang  telah  ditetapkan”. 

Pencemaran lingkungan menurut UU PPLH hanya meliputi pencemaran  lingkungan yang disebabkan karena kegiatan manusia, tidak termasuk didalamnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh alam, misalnya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darus Salam, meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta dan  hujan debu dari Gunung Semeru di Jawa Timur.  Pengertian kasus pencemaran lingkungan  dalam tulisan ini adalah terbatas pada kasus pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dan tidak mencakup di dalamnya mengenai pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam.

2.2.    Sejarah Perkembangan Lingkungan
Masalah lingkungan dapat ditinjau dari aspek medik, planologis teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum.  Sebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari Rangkut “Perkembangan hukum lingkungan tidak dipisahkan dengan gerakan sedunia yang memberikan perhatian besarnya tentang lingkungan hidup”. 

Konfrensi PBB tentang lingkungan hidup, telah diadakan di Stockholm pada Tahun 1972, Konferensi Stockholm membahas masalah lingkungan dan jalan keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (Eco-Development), dan kapasitas lingkungan yang ada.  Pada tahun 1983 PBB membentuk komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commission on Environment and Development (WCED).

PBB pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi mengenai masalah lingkungan dan pembangunan The United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil pada tanggal 3-14 Juni Tahun 1992.  Indonesia pertama kali lingkungan hidup masuk dalam GBHN tahun 1993 BAB III huruf B ayat (10) dengan Tap MPR RI No.IV/MPR/1993 dan dijabarkan dalam REPELITA II (1994-1997) dalam Buku III bab 27, tentang Pembinaan Hukum Nasional. 

Semakin maju perkembangan ilmu dan teknologi serta peningkatan ekonomi dan modal, terutama penanaman modal dalam negeri dan modal asing, melalui sektor kehutanan dan pertambangan lahirnya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal dan UU No.6 Tahun 1967 tentang Penanamn Modal Dalam Negeri.  Ini sudah memuat pemikiran tentang pengaturan lingkungan.  Kemudian terjadi peristiwa pencemaran lingkungan berupa minyak akibat kandasnya kapal ”Showa Maru” di Selat Malaka. 

Dari hal tersebut diselenggarakan lokakarya tentang segi-segi hukum dari pengelolaan lingkungan hidup oleh depertemen dan perguruan tinggi.  Indonesia meratifikasi Konvensi IMCO tentang Pencemaran Laut oleh Minyak Bumi dari kapal, yang diimplemantasikan dengan Keppres No.18 Tahun 1978 tentang Civil Liability Convention dan Keppres No. 19 Tahun 1978 tentang Internasional Fund Convention 1971.  Pada tahun 1978 dibentuk kantor menteri negara PPLH, salah tugas membuat RUU lingkungan Hidup.  Kemudian lahirnya UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pengeloan Lingkungan Hidup, diganti UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diganti lagi UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2.3.    Hukum Lingkungan Keperdataan
Pengertian Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli adalah "Rangkaian peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara subyek hukum yang satu dengan subyek yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya."
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum  bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum untuk memperoleh ganti  kerugian.  Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum di bidang hukum lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran lingkungan.

Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan menurut UU PPLH diatur dalam Pasal 84 yang menetapkan:
1.    Penyelesaian  sengketa  lingkungan  hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
2.    Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
3.    Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa

Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) UU PPLH, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.  Dengan ketentuan demikian para pihak diberi kebebasan untuk memilih mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan baik melalui pengadilan atau melalui luar pengadilan.

Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum tertuang dalam Pasal 87 yang selangkapnya menyatakan sebagai berikut:
1.      Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan   perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan   lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan  hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu
2.      Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk  usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum  tidak melepaskan tanggungjawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3.      Pengadilan            dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari   keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4.      Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.

Berdasarkan  ketentuan  Pasal  87  ayat (1)  UU  PPLH,  agar  dapat  diajukan  gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur :
1.      Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan
2.      Melakukan perbuatan melanggar hukum
3.      Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
4.      Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;
5.      Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar  ganti  rugi  dan/atau  melakukan  tindakan tertentu;

Dasar pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.

Class Action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuntction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan kelas (Class Repesentatif) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan sebagai class members.
Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan.  Hal ini berarti bahwa kegunaan class action secara mendasar antara lain adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam perkara yang sama.

Setiap warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan berhak untuk membela hak-nya apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan perdata ada dua macam yaitu :
1.      Gugatan yang dilakukan di luar pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi
2.      Gugatan yang dilakukan melalui peradilan disebut litigasi.

Gugatan perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara :
1.      Oleh orang yang bersangkutan atau ahli warisnya.
2.      Sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama (Class Action).

2.4.    Kendala Pelaksanaan Hukum Lingkungan
Persoalan lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan buah simalakama.  Satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.

Upaya memupuk disiplin lingkungan dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak.  Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran serta perusakan lingkungan hidup.
Karena itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum, sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun pidana.  Hingga kini problem lingkungan terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi.

Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap lingkungan, khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat, maka penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan.
Selain itu upaya menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah kendala seperti:
1.      Masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada.
2.      Biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas.
3.      Membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.

Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan. Kedepan, perlu exit strategy sebagai solusi penting yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan hidup.
1.       Mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2.      Asanya sanksi yang memadai (enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan usaha/industri yang nakal.
3.      Adanya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup patut ditingkatkan.

Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat.  Untuk itu, sudah saatnya penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan baik.

Hakekat hukum lingkungan  secara sederhana adalah seperangkat aturan yang mengatur tatanan lingkungan dalam hal ini lingkungan hidup dimana lingkungan dapat diartikan sebagai semua benda dan kondisi yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam perkembangannya hukum lingkungan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu hukum lingkungan modern dan juga hukum lingkungan klasik.

Bentuk penegakan hukum lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama penegakan melalui istrumen administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan permasalahan dan juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan lingkungan hidup adalah penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang mana kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan sendiri sendiri.

Hukum lingkungan diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka menjaga supaya lingkungan dan sumber daya alam dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi kemampuan lingkungan itu sendiri. 

Kendala di dalam penegakan dan juga pengimplementasian hukum lingkungan antara lain antara adalah perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah, dan yang terakhir adalah kurangnya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
III.   PEMBAHASAN


3.1.    Contoh Kasus
Pada kesempatan kali ini penulis mengangkat kasus tentang limbah cair industri tekstil kali citarum yang penulis ambil dari harian Kompas Jumat, 26 April 2013 13:14 WIB dengan judul berita “DAS Citarum di Ambang Malapetaka Lingkungan” berikut berita tersebut :

Malapetaka lingkungan tengah berlangsung di Daerah Aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Ratusan ribu warga yang tinggal di kawasan ini menderita karena menjadi langganan banjir di musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.

Bertahun-tahun hampir semua pabrik tekstil di Majalaya membuang langsung limbah beracunnya ke Citarum. Padahal, sungai ini masih dipakai untuk keperluan air minum bagi warga di hilir, termasuk 80 persen warga DKI Jakarta.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.

Sampai kini Sungai Citarum masih tercemar. ”Kondisi ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitarnya,” ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Dadan Ramdan.


Susut 62.000 hektar
Komunitas Elingan, yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan, mencatat dalam sembilan tahun ini lahan hutan di DAS Citarum menyusut 86 persen, dari 72.000 hektar tahun 2000 menjadi 9.900 hektar tahun 2009. Pada periode yang sama, luas kawasan permukiman di sekitar DAS Citarum meningkat 115 persen dari 81.7000 hektar jadi 176.000 hektar.

Tahun 2012, lahan kritis mencapai 20 persen dari luas DAS Citarum sekitar 718.000 hektar. Seluas 144.000 hektar di antaranya adalah lahan rusak. Hingga saat ini setiap tahun ada 95 ton tanah per hektar terbawa erosi ke DAS Citarum. Padahal, dalam kaidah lingkungan, tingkat erosi yang ditoleransi hanya sekitar 15 ton per hektar per tahun.

Ketua Umum Badan Musyawarah Masyarakat Sunda Syarif Bastaman menambahkan, beberapa ikan endemik telah punah dari Sungai Citarum. (dmu)
Sumber : Kompas Cetak
Editor : yunan

3.2.    Analisa Kasus
Aspek Hukum Perlindungan kawasan industri di Jawa Barat dari “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum” (Pasal 1 ayat 2 UU 32 Tahun 2009). 

Secara umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (Sustainability) dalam pemanfaatan.  Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.

Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU 32 Tahun 2009 seperti terlihat dalam Pasal 20 ayat 3 UUPLH disebutkan :
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:
1.      Memenuhi baku mutu lingkungan hidup;
2.      Mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Kasus pencemaran oleh kawasan industri di Jawa Barat ini memang belum ada upaya hukum yang dilakukan.  Hal ini dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal pengawasan serta belum adanya keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini, walupun mereka merasakan dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.  Masyarakat ataupun LSM sebenarnya dapat mengajukan upaya hukum dalam menyelesaikan kasus ini yaitu penegakkan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan hukum perdata.

3.3.    Sanksi Perdata
Ketentuan hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam pasal 87 ayat 1 “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”

1.      Kesalahan Industri Tekstil di Sekitar Kali citarum
Kesalahan yang dilakukan oleh industri tekstil yang ada disekitaran kali Citarum adalah tidak memberlakukannya dan/atau menjalankan IPAL dengan baik dan benar. Air limbah yang dihasilkan dibuang langsung kebadan sungai tanpa melalui proses terlebih dahulu.  Sampah padat yang dihasilkan juga tidak dibuang ketempat pembuangan akhir, melainkan langsung kedalam Waduk Saguling.


2.      Kerugian Warga di Sekitar Kali Citarum
Limbah-limbah yang keluar dari industri-industri yang ada tidak diolah terlebih dahulu, sehingga air limbah yang terkategorikan sebagai zat-zat berbahaya dan beracun (B3) mengalir bebas dialiran sungai yang biasa dipakai oleh warga untuk keperluan sehari-sehari. Limbah padat yang dihasilkan pun menyebabkan kerugian untuk masyarakat sekitar terutama jika terjadi hujan lebat.  Jika hujan lebat terjadi dalam waktu yang lama maka sampah yang menumpuk di Waduk Saguling akan menyebabkan banjir.

Rakyat, dalam hal ini lebih banyak sebagai korban terutama yang bersentuhan langsung dengan kawasan dimana terjadi pencemaran yang dilakukan oleh pihak pengusaha.  Hal inilah yang dialami warga seputaran kali Citarum.  Kondisi seperti ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitar tanpa adanya tindak lanjut dari pemerintah.

3.      Kaitannya dengan Hukum Perdata
Dalam kasus kali ini masyarakat sekitar kali Citarum dapat melakukan gugatan diluar pengadilan atau gugatan Class Action yaitu mengajukan sejumlah orang sebagai perwakilan kelas (Class Repesentatif) untuk meminta ganti rugi kepada industri-industri yang melakukan pencemaran.  Bentuk ganti rugi yang bisa diminta adalah :
A.    Memberikan sejumlah biaya atau pengobatan untuk korban-korban yang menderita penyakit tertentu yang diakibatkan oleh air limbah yang mengalir diseputaran kali Citarum.
B.     Memberikan fasilitas air bersih untuk keperluan domestik.
C.     Memperbaiki dan menggunakan Instalasai Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan tepat dan semestinya.
D.    Membuang limbah padat langsung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)


IV.             PENUTUP


4.1.    Simpulan
1.      Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan  adalah hukum lingkungan.
2.      Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk   persoalan-persoalan lingkungan.
3.      Hukum lingkungan perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
4.      Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
5.      Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien.

4.2.    Saran
1.      Industri tekstil yang ada disekitar kali Citarum haruslah menjalankan industrinya dengan tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.
2.      Perlu diadakannya sebuah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada setiap industri agar dapat meminimalisasi buangan yang diduga berpotensi mencemari lingkungan.
3.      Penanganan limbah dengan end of pipe treatment pada industri tekstil dirasa kurang tepat, hal ini disebabkan karena penanganan dengan cara tersebut hanya mengubah bentuk limbah dari suatu bentuk kebentuk lainnya.
4.      Industri tekstil haruslah benar-benar sadar akan limbah yang dihasilkan dari pengolahannya sehingga instalasi pengolahan limbahnya dapat dijalankan dengan semestinya.I.         PENDAHULUAN


1.1.    Latar Belakang
Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah menunjukan kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, meliputi bidang sosial, budaya dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.

Banyak kemajuan yang telah dicapai, tetapi disamping itu masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan.  Tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, diantaranya adalah masalah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagai efek samping dari berjalannya proses perundangan.  Pencemaran dan kerusakan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan ini diprediksi  akan terus berlanjut.  Seperti yang dikatakan oleh Otto Soemrawoto “Masyarakat Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa lingkungan hidup berlawanan dengan pembangunan. Mengingat kita masih melarat, pembangunan harus didahulukan dari lingkungan hidup, dalam pemerintahan pun lingkungan hanya menempati tempat yang marjinal”.

Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai efek samping dari proses pembangunan adalah kerusakan sumber daya hutan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya tuntutan lahan dan sumber daya hutan yang yang tidak pada tempatnya, serta meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin.  Pencemaran air, udara dan tanah juga merupakan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai akibat pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang mempertahankan aspek kelestarian fungsi lingkungan hidup. 


Persoalan pencemaran lingkungan dapat dilihat dari berbagai aspek lingkungan yang merupakan sarana untuk penyelesaiannya. Pencemaran kerusakan lingkungan dapat diselesaikan melalui aspek medik, planalogis, teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum. Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan  adalah hukum lingkungan. 

Persoalan lingkungan hidup pada dasarnya adalah persoalan semua orang, dan sudah seyogyanya gerakan-gerakan kesadaran yang coba dibangun untuk memulihkan kondisi lingkungan ke arah yang lebih baik adalah satu keharusan, dengan mengambil peran apapun yang bisa dilakukan oleh semua pihak untuk melakukan perbaikan terhadap kerusakan lingkungan hidup disekitarnya.

UUD 1945 yang pada pasal 1 secara jelas menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat. Jadi merupakan wewenang rakyat untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup di Indonesia. Pasal 28H ayat (1) yang menentukan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkugnan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. 

Hukum lingkungan adalah instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan.  Prespektif hukum lingkungan, penuntasan kasus-kasus pencemaran lingkungan mencakup 3 (tiga) bidang sekaligus, yaitu hukum lingkungan administratif, hukum lingkunga keperdataan, hukum lingkungan kepidanaan sebagai konsekuensi logis kedudukan hukum lingkungan sebagai hukum fungsional.

1.2.    Rumusan Masalah
Keberadaan limbah yang dihasilkan oleh pembangunan dinilai dapat menimbulkan dampak buruk kelingkungan sekitar.  Oleh karena itu, limbah yang dihasilkan didesak untuk menerapkan standardisasi pengolahan limbah yang ramah lingkungan.


1.3.    Tujuan
1.      Memberikan informasi mengenai hukum lingkungan perdata.
2.      Memberikan informasi sanksi mengenai pencemaran yang ditimbulkan dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang ditinjau melalui aspek hukum lingkungan perdata.

1.4.    Metode Penulisan
Pada pembuatan laporan Tugas Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum Perdata ini metode yang digunakan penulis adalah dengan studi literatur.


II.      TINJAUAN PUSTAKA


2.1.    Hukum Lingkungan
Hukum lingkungan menurut Lal Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson adalah   “Seperangkat aturan hukum yang memuat tentang pengendalian dampak manusia terhadap bumi dan kesehatan publik”.  Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk   persoalan-persoalan lingkungan dan secara umum hukum yang secara langsung menunjuk pada dampak atas persoalan-persoalan lingkungan.

UNEP mendefinisikan            hukum lingkungan adalah “Seperangkat aturan hukum yang berisi unsur-unsur untuk mengendalikan dampak manusia terhadap lingkungan.  A.B. Blomberg, A.A..J. de Gier dan J. Robbe memberikan definisi hukum lingkungan sebagai berikut hukum lingkungan  secara  umum  dipahami  sebagai hukum yang melindungi kualitas lingkungan dan hukum konservasi alam. 

Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa dari substansi hukum yang merupakan materi hukum lingkungan, maka mata kuliah hukum lingkungan digolongkan kedalam mata kuliah hukum fungsional (Functionele Rechtsvakken), yaitu mengandung  terobosan antara berbagai disiplin hukum klasik.

Substansi hukum lingkungan menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan  administratif,  hukum  lingkungan keperdataan,  hukum  lingkungan  kepidanaan.  Hukum  lingkungan  internasional  yang  sudah berkembang   menjadi   disiplin ilmu hukum tersendiri dan hukum tata ruang.  Dengan  demikian, hukum  lingkungan tidak merupakan bagian hukum publik ataupun bagian dari hukum  privat, namun mencakup hukum publik dan hukum prifat sekaligus. 

Hukum  lingkungan adalah hukum fungsional yang mengandung aspek hukum publik dan aspek hukum privat.  Dalam kepustakaan hukum lingkungan dan ilmu lingkungan dapat ditemukan berbagai pandangan para pakar hukum lingkungan dan ilmu lingkungan mengenai pengertian pencemaran lingkungan, namun dalam penelitian ini pengertian pencemaran lingkungan mengacu kepada Pasal 1 ayat 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).  Pasal 1 ayat 14 UU PPLH mendefinisikan pencemaran lingkungan sebagai berikut “Pencemaran lingkungan hidup adalah  masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui  baku  mutu  lingkungan hidup  yang  telah  ditetapkan”. 

Pencemaran lingkungan menurut UU PPLH hanya meliputi pencemaran  lingkungan yang disebabkan karena kegiatan manusia, tidak termasuk didalamnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh alam, misalnya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darus Salam, meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta dan  hujan debu dari Gunung Semeru di Jawa Timur.  Pengertian kasus pencemaran lingkungan  dalam tulisan ini adalah terbatas pada kasus pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dan tidak mencakup di dalamnya mengenai pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam.

2.2.    Sejarah Perkembangan Lingkungan
Masalah lingkungan dapat ditinjau dari aspek medik, planologis teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum.  Sebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari Rangkut “Perkembangan hukum lingkungan tidak dipisahkan dengan gerakan sedunia yang memberikan perhatian besarnya tentang lingkungan hidup”. 

Konfrensi PBB tentang lingkungan hidup, telah diadakan di Stockholm pada Tahun 1972, Konferensi Stockholm membahas masalah lingkungan dan jalan keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (Eco-Development), dan kapasitas lingkungan yang ada.  Pada tahun 1983 PBB membentuk komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commission on Environment and Development (WCED).

PBB pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi mengenai masalah lingkungan dan pembangunan The United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil pada tanggal 3-14 Juni Tahun 1992.  Indonesia pertama kali lingkungan hidup masuk dalam GBHN tahun 1993 BAB III huruf B ayat (10) dengan Tap MPR RI No.IV/MPR/1993 dan dijabarkan dalam REPELITA II (1994-1997) dalam Buku III bab 27, tentang Pembinaan Hukum Nasional. 

Semakin maju perkembangan ilmu dan teknologi serta peningkatan ekonomi dan modal, terutama penanaman modal dalam negeri dan modal asing, melalui sektor kehutanan dan pertambangan lahirnya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal dan UU No.6 Tahun 1967 tentang Penanamn Modal Dalam Negeri.  Ini sudah memuat pemikiran tentang pengaturan lingkungan.  Kemudian terjadi peristiwa pencemaran lingkungan berupa minyak akibat kandasnya kapal ”Showa Maru” di Selat Malaka. 

Dari hal tersebut diselenggarakan lokakarya tentang segi-segi hukum dari pengelolaan lingkungan hidup oleh depertemen dan perguruan tinggi.  Indonesia meratifikasi Konvensi IMCO tentang Pencemaran Laut oleh Minyak Bumi dari kapal, yang diimplemantasikan dengan Keppres No.18 Tahun 1978 tentang Civil Liability Convention dan Keppres No. 19 Tahun 1978 tentang Internasional Fund Convention 1971.  Pada tahun 1978 dibentuk kantor menteri negara PPLH, salah tugas membuat RUU lingkungan Hidup.  Kemudian lahirnya UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pengeloan Lingkungan Hidup, diganti UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diganti lagi UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2.3.    Hukum Lingkungan Keperdataan
Pengertian Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli adalah "Rangkaian peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara subyek hukum yang satu dengan subyek yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya."
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum  bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum untuk memperoleh ganti  kerugian.  Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum di bidang hukum lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran lingkungan.

Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan menurut UU PPLH diatur dalam Pasal 84 yang menetapkan:
1.    Penyelesaian  sengketa  lingkungan  hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
2.    Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
3.    Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa

Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) UU PPLH, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.  Dengan ketentuan demikian para pihak diberi kebebasan untuk memilih mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan baik melalui pengadilan atau melalui luar pengadilan.

Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum tertuang dalam Pasal 87 yang selangkapnya menyatakan sebagai berikut:
1.      Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan   perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan   lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan  hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu
2.      Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk  usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum  tidak melepaskan tanggungjawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3.      Pengadilan            dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari   keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4.      Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.

Berdasarkan  ketentuan  Pasal  87  ayat (1)  UU  PPLH,  agar  dapat  diajukan  gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur :
1.      Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan
2.      Melakukan perbuatan melanggar hukum
3.      Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
4.      Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;
5.      Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar  ganti  rugi  dan/atau  melakukan  tindakan tertentu;

Dasar pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.

Class Action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuntction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan kelas (Class Repesentatif) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan sebagai class members.
Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan.  Hal ini berarti bahwa kegunaan class action secara mendasar antara lain adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam perkara yang sama.

Setiap warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan berhak untuk membela hak-nya apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan perdata ada dua macam yaitu :
1.      Gugatan yang dilakukan di luar pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi
2.      Gugatan yang dilakukan melalui peradilan disebut litigasi.

Gugatan perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara :
1.      Oleh orang yang bersangkutan atau ahli warisnya.
2.      Sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama (Class Action).

2.4.    Kendala Pelaksanaan Hukum Lingkungan
Persoalan lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan buah simalakama.  Satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.

Upaya memupuk disiplin lingkungan dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak.  Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran serta perusakan lingkungan hidup.
Karena itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum, sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun pidana.  Hingga kini problem lingkungan terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi.

Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap lingkungan, khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat, maka penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan.
Selain itu upaya menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah kendala seperti:
1.      Masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada.
2.      Biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas.
3.      Membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.

Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan. Kedepan, perlu exit strategy sebagai solusi penting yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan hidup.
1.       Mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2.      Asanya sanksi yang memadai (enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan usaha/industri yang nakal.
3.      Adanya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup patut ditingkatkan.

Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat.  Untuk itu, sudah saatnya penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan baik.

Hakekat hukum lingkungan  secara sederhana adalah seperangkat aturan yang mengatur tatanan lingkungan dalam hal ini lingkungan hidup dimana lingkungan dapat diartikan sebagai semua benda dan kondisi yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam perkembangannya hukum lingkungan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu hukum lingkungan modern dan juga hukum lingkungan klasik.

Bentuk penegakan hukum lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama penegakan melalui istrumen administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan permasalahan dan juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan lingkungan hidup adalah penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang mana kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan sendiri sendiri.

Hukum lingkungan diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka menjaga supaya lingkungan dan sumber daya alam dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi kemampuan lingkungan itu sendiri. 

Kendala di dalam penegakan dan juga pengimplementasian hukum lingkungan antara lain antara adalah perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah, dan yang terakhir adalah kurangnya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
III.   PEMBAHASAN


3.1.    Contoh Kasus
Pada kesempatan kali ini penulis mengangkat kasus tentang limbah cair industri tekstil kali citarum yang penulis ambil dari harian Kompas Jumat, 26 April 2013 13:14 WIB dengan judul berita “DAS Citarum di Ambang Malapetaka Lingkungan” berikut berita tersebut :

Malapetaka lingkungan tengah berlangsung di Daerah Aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Ratusan ribu warga yang tinggal di kawasan ini menderita karena menjadi langganan banjir di musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.

Bertahun-tahun hampir semua pabrik tekstil di Majalaya membuang langsung limbah beracunnya ke Citarum. Padahal, sungai ini masih dipakai untuk keperluan air minum bagi warga di hilir, termasuk 80 persen warga DKI Jakarta.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.

Sampai kini Sungai Citarum masih tercemar. ”Kondisi ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitarnya,” ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Dadan Ramdan.


Susut 62.000 hektar
Komunitas Elingan, yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan, mencatat dalam sembilan tahun ini lahan hutan di DAS Citarum menyusut 86 persen, dari 72.000 hektar tahun 2000 menjadi 9.900 hektar tahun 2009. Pada periode yang sama, luas kawasan permukiman di sekitar DAS Citarum meningkat 115 persen dari 81.7000 hektar jadi 176.000 hektar.

Tahun 2012, lahan kritis mencapai 20 persen dari luas DAS Citarum sekitar 718.000 hektar. Seluas 144.000 hektar di antaranya adalah lahan rusak. Hingga saat ini setiap tahun ada 95 ton tanah per hektar terbawa erosi ke DAS Citarum. Padahal, dalam kaidah lingkungan, tingkat erosi yang ditoleransi hanya sekitar 15 ton per hektar per tahun.

Ketua Umum Badan Musyawarah Masyarakat Sunda Syarif Bastaman menambahkan, beberapa ikan endemik telah punah dari Sungai Citarum. (dmu)
Sumber : Kompas Cetak
Editor : yunan

3.2.    Analisa Kasus
Aspek Hukum Perlindungan kawasan industri di Jawa Barat dari “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum” (Pasal 1 ayat 2 UU 32 Tahun 2009). 

Secara umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (Sustainability) dalam pemanfaatan.  Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.

Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU 32 Tahun 2009 seperti terlihat dalam Pasal 20 ayat 3 UUPLH disebutkan :
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:
1.      Memenuhi baku mutu lingkungan hidup;
2.      Mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Kasus pencemaran oleh kawasan industri di Jawa Barat ini memang belum ada upaya hukum yang dilakukan.  Hal ini dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal pengawasan serta belum adanya keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini, walupun mereka merasakan dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.  Masyarakat ataupun LSM sebenarnya dapat mengajukan upaya hukum dalam menyelesaikan kasus ini yaitu penegakkan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan hukum perdata.

3.3.    Sanksi Perdata
Ketentuan hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam pasal 87 ayat 1 “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”

1.      Kesalahan Industri Tekstil di Sekitar Kali citarum
Kesalahan yang dilakukan oleh industri tekstil yang ada disekitaran kali Citarum adalah tidak memberlakukannya dan/atau menjalankan IPAL dengan baik dan benar. Air limbah yang dihasilkan dibuang langsung kebadan sungai tanpa melalui proses terlebih dahulu.  Sampah padat yang dihasilkan juga tidak dibuang ketempat pembuangan akhir, melainkan langsung kedalam Waduk Saguling.


2.      Kerugian Warga di Sekitar Kali Citarum
Limbah-limbah yang keluar dari industri-industri yang ada tidak diolah terlebih dahulu, sehingga air limbah yang terkategorikan sebagai zat-zat berbahaya dan beracun (B3) mengalir bebas dialiran sungai yang biasa dipakai oleh warga untuk keperluan sehari-sehari. Limbah padat yang dihasilkan pun menyebabkan kerugian untuk masyarakat sekitar terutama jika terjadi hujan lebat.  Jika hujan lebat terjadi dalam waktu yang lama maka sampah yang menumpuk di Waduk Saguling akan menyebabkan banjir.

Rakyat, dalam hal ini lebih banyak sebagai korban terutama yang bersentuhan langsung dengan kawasan dimana terjadi pencemaran yang dilakukan oleh pihak pengusaha.  Hal inilah yang dialami warga seputaran kali Citarum.  Kondisi seperti ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitar tanpa adanya tindak lanjut dari pemerintah.

3.      Kaitannya dengan Hukum Perdata
Dalam kasus kali ini masyarakat sekitar kali Citarum dapat melakukan gugatan diluar pengadilan atau gugatan Class Action yaitu mengajukan sejumlah orang sebagai perwakilan kelas (Class Repesentatif) untuk meminta ganti rugi kepada industri-industri yang melakukan pencemaran.  Bentuk ganti rugi yang bisa diminta adalah :
A.    Memberikan sejumlah biaya atau pengobatan untuk korban-korban yang menderita penyakit tertentu yang diakibatkan oleh air limbah yang mengalir diseputaran kali Citarum.
B.     Memberikan fasilitas air bersih untuk keperluan domestik.
C.     Memperbaiki dan menggunakan Instalasai Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan tepat dan semestinya.
D.    Membuang limbah padat langsung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)


IV.             PENUTUP


4.1.    Simpulan
1.      Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan  adalah hukum lingkungan.
2.      Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk   persoalan-persoalan lingkungan.
3.      Hukum lingkungan perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
4.      Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
5.      Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien.

4.2.    Saran
1.      Industri tekstil yang ada disekitar kali Citarum haruslah menjalankan industrinya dengan tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.
2.      Perlu diadakannya sebuah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada setiap industri agar dapat meminimalisasi buangan yang diduga berpotensi mencemari lingkungan.
3.      Penanganan limbah dengan end of pipe treatment pada industri tekstil dirasa kurang tepat, hal ini disebabkan karena penanganan dengan cara tersebut hanya mengubah bentuk limbah dari suatu bentuk kebentuk lainnya.
4.      Industri tekstil haruslah benar-benar sadar akan limbah yang dihasilkan dari pengolahannya sehingga instalasi pengolahan limbahnya dapat dijalankan dengan semestinya.I.         PENDAHULUAN


1.1.    Latar Belakang
Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah menunjukan kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, meliputi bidang sosial, budaya dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.

Banyak kemajuan yang telah dicapai, tetapi disamping itu masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan.  Tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, diantaranya adalah masalah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagai efek samping dari berjalannya proses perundangan.  Pencemaran dan kerusakan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan ini diprediksi  akan terus berlanjut.  Seperti yang dikatakan oleh Otto Soemrawoto “Masyarakat Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa lingkungan hidup berlawanan dengan pembangunan. Mengingat kita masih melarat, pembangunan harus didahulukan dari lingkungan hidup, dalam pemerintahan pun lingkungan hanya menempati tempat yang marjinal”.

Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai efek samping dari proses pembangunan adalah kerusakan sumber daya hutan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya tuntutan lahan dan sumber daya hutan yang yang tidak pada tempatnya, serta meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin.  Pencemaran air, udara dan tanah juga merupakan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai akibat pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang mempertahankan aspek kelestarian fungsi lingkungan hidup. 


Persoalan pencemaran lingkungan dapat dilihat dari berbagai aspek lingkungan yang merupakan sarana untuk penyelesaiannya. Pencemaran kerusakan lingkungan dapat diselesaikan melalui aspek medik, planalogis, teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum. Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan  adalah hukum lingkungan. 

Persoalan lingkungan hidup pada dasarnya adalah persoalan semua orang, dan sudah seyogyanya gerakan-gerakan kesadaran yang coba dibangun untuk memulihkan kondisi lingkungan ke arah yang lebih baik adalah satu keharusan, dengan mengambil peran apapun yang bisa dilakukan oleh semua pihak untuk melakukan perbaikan terhadap kerusakan lingkungan hidup disekitarnya.

UUD 1945 yang pada pasal 1 secara jelas menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat. Jadi merupakan wewenang rakyat untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup di Indonesia. Pasal 28H ayat (1) yang menentukan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkugnan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. 

Hukum lingkungan adalah instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan.  Prespektif hukum lingkungan, penuntasan kasus-kasus pencemaran lingkungan mencakup 3 (tiga) bidang sekaligus, yaitu hukum lingkungan administratif, hukum lingkunga keperdataan, hukum lingkungan kepidanaan sebagai konsekuensi logis kedudukan hukum lingkungan sebagai hukum fungsional.

1.2.    Rumusan Masalah
Keberadaan limbah yang dihasilkan oleh pembangunan dinilai dapat menimbulkan dampak buruk kelingkungan sekitar.  Oleh karena itu, limbah yang dihasilkan didesak untuk menerapkan standardisasi pengolahan limbah yang ramah lingkungan.


1.3.    Tujuan
1.      Memberikan informasi mengenai hukum lingkungan perdata.
2.      Memberikan informasi sanksi mengenai pencemaran yang ditimbulkan dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang ditinjau melalui aspek hukum lingkungan perdata.

1.4.    Metode Penulisan
Pada pembuatan laporan Tugas Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum Perdata ini metode yang digunakan penulis adalah dengan studi literatur.


II.      TINJAUAN PUSTAKA


2.1.    Hukum Lingkungan
Hukum lingkungan menurut Lal Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson adalah   “Seperangkat aturan hukum yang memuat tentang pengendalian dampak manusia terhadap bumi dan kesehatan publik”.  Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk   persoalan-persoalan lingkungan dan secara umum hukum yang secara langsung menunjuk pada dampak atas persoalan-persoalan lingkungan.

UNEP mendefinisikan            hukum lingkungan adalah “Seperangkat aturan hukum yang berisi unsur-unsur untuk mengendalikan dampak manusia terhadap lingkungan.  A.B. Blomberg, A.A..J. de Gier dan J. Robbe memberikan definisi hukum lingkungan sebagai berikut hukum lingkungan  secara  umum  dipahami  sebagai hukum yang melindungi kualitas lingkungan dan hukum konservasi alam. 

Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa dari substansi hukum yang merupakan materi hukum lingkungan, maka mata kuliah hukum lingkungan digolongkan kedalam mata kuliah hukum fungsional (Functionele Rechtsvakken), yaitu mengandung  terobosan antara berbagai disiplin hukum klasik.

Substansi hukum lingkungan menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan  administratif,  hukum  lingkungan keperdataan,  hukum  lingkungan  kepidanaan.  Hukum  lingkungan  internasional  yang  sudah berkembang   menjadi   disiplin ilmu hukum tersendiri dan hukum tata ruang.  Dengan  demikian, hukum  lingkungan tidak merupakan bagian hukum publik ataupun bagian dari hukum  privat, namun mencakup hukum publik dan hukum prifat sekaligus. 

Hukum  lingkungan adalah hukum fungsional yang mengandung aspek hukum publik dan aspek hukum privat.  Dalam kepustakaan hukum lingkungan dan ilmu lingkungan dapat ditemukan berbagai pandangan para pakar hukum lingkungan dan ilmu lingkungan mengenai pengertian pencemaran lingkungan, namun dalam penelitian ini pengertian pencemaran lingkungan mengacu kepada Pasal 1 ayat 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).  Pasal 1 ayat 14 UU PPLH mendefinisikan pencemaran lingkungan sebagai berikut “Pencemaran lingkungan hidup adalah  masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui  baku  mutu  lingkungan hidup  yang  telah  ditetapkan”. 

Pencemaran lingkungan menurut UU PPLH hanya meliputi pencemaran  lingkungan yang disebabkan karena kegiatan manusia, tidak termasuk didalamnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh alam, misalnya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darus Salam, meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta dan  hujan debu dari Gunung Semeru di Jawa Timur.  Pengertian kasus pencemaran lingkungan  dalam tulisan ini adalah terbatas pada kasus pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dan tidak mencakup di dalamnya mengenai pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam.

2.2.    Sejarah Perkembangan Lingkungan
Masalah lingkungan dapat ditinjau dari aspek medik, planologis teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum.  Sebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari Rangkut “Perkembangan hukum lingkungan tidak dipisahkan dengan gerakan sedunia yang memberikan perhatian besarnya tentang lingkungan hidup”. 

Konfrensi PBB tentang lingkungan hidup, telah diadakan di Stockholm pada Tahun 1972, Konferensi Stockholm membahas masalah lingkungan dan jalan keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (Eco-Development), dan kapasitas lingkungan yang ada.  Pada tahun 1983 PBB membentuk komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commission on Environment and Development (WCED).

PBB pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi mengenai masalah lingkungan dan pembangunan The United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil pada tanggal 3-14 Juni Tahun 1992.  Indonesia pertama kali lingkungan hidup masuk dalam GBHN tahun 1993 BAB III huruf B ayat (10) dengan Tap MPR RI No.IV/MPR/1993 dan dijabarkan dalam REPELITA II (1994-1997) dalam Buku III bab 27, tentang Pembinaan Hukum Nasional. 

Semakin maju perkembangan ilmu dan teknologi serta peningkatan ekonomi dan modal, terutama penanaman modal dalam negeri dan modal asing, melalui sektor kehutanan dan pertambangan lahirnya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal dan UU No.6 Tahun 1967 tentang Penanamn Modal Dalam Negeri.  Ini sudah memuat pemikiran tentang pengaturan lingkungan.  Kemudian terjadi peristiwa pencemaran lingkungan berupa minyak akibat kandasnya kapal ”Showa Maru” di Selat Malaka. 

Dari hal tersebut diselenggarakan lokakarya tentang segi-segi hukum dari pengelolaan lingkungan hidup oleh depertemen dan perguruan tinggi.  Indonesia meratifikasi Konvensi IMCO tentang Pencemaran Laut oleh Minyak Bumi dari kapal, yang diimplemantasikan dengan Keppres No.18 Tahun 1978 tentang Civil Liability Convention dan Keppres No. 19 Tahun 1978 tentang Internasional Fund Convention 1971.  Pada tahun 1978 dibentuk kantor menteri negara PPLH, salah tugas membuat RUU lingkungan Hidup.  Kemudian lahirnya UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pengeloan Lingkungan Hidup, diganti UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diganti lagi UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2.3.    Hukum Lingkungan Keperdataan
Pengertian Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli adalah "Rangkaian peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara subyek hukum yang satu dengan subyek yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya."
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum  bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum untuk memperoleh ganti  kerugian.  Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum di bidang hukum lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran lingkungan.

Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan menurut UU PPLH diatur dalam Pasal 84 yang menetapkan:
1.    Penyelesaian  sengketa  lingkungan  hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
2.    Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
3.    Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa

Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) UU PPLH, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.  Dengan ketentuan demikian para pihak diberi kebebasan untuk memilih mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan baik melalui pengadilan atau melalui luar pengadilan.

Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum tertuang dalam Pasal 87 yang selangkapnya menyatakan sebagai berikut:
1.      Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan   perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan   lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan  hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu
2.      Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk  usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum  tidak melepaskan tanggungjawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3.      Pengadilan            dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari   keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4.      Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.

Berdasarkan  ketentuan  Pasal  87  ayat (1)  UU  PPLH,  agar  dapat  diajukan  gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur :
1.      Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan
2.      Melakukan perbuatan melanggar hukum
3.      Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
4.      Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;
5.      Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar  ganti  rugi  dan/atau  melakukan  tindakan tertentu;

Dasar pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.

Class Action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuntction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan kelas (Class Repesentatif) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan sebagai class members.
Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan.  Hal ini berarti bahwa kegunaan class action secara mendasar antara lain adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam perkara yang sama.

Setiap warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan berhak untuk membela hak-nya apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan perdata ada dua macam yaitu :
1.      Gugatan yang dilakukan di luar pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi
2.      Gugatan yang dilakukan melalui peradilan disebut litigasi.

Gugatan perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara :
1.      Oleh orang yang bersangkutan atau ahli warisnya.
2.      Sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama (Class Action).

2.4.    Kendala Pelaksanaan Hukum Lingkungan
Persoalan lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan buah simalakama.  Satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.

Upaya memupuk disiplin lingkungan dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak.  Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran serta perusakan lingkungan hidup.
Karena itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum, sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun pidana.  Hingga kini problem lingkungan terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi.

Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap lingkungan, khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat, maka penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan.
Selain itu upaya menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah kendala seperti:
1.      Masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada.
2.      Biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas.
3.      Membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.

Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan. Kedepan, perlu exit strategy sebagai solusi penting yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan hidup.
1.       Mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2.      Asanya sanksi yang memadai (enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan usaha/industri yang nakal.
3.      Adanya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup patut ditingkatkan.

Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat.  Untuk itu, sudah saatnya penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan baik.

Hakekat hukum lingkungan  secara sederhana adalah seperangkat aturan yang mengatur tatanan lingkungan dalam hal ini lingkungan hidup dimana lingkungan dapat diartikan sebagai semua benda dan kondisi yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam perkembangannya hukum lingkungan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu hukum lingkungan modern dan juga hukum lingkungan klasik.

Bentuk penegakan hukum lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama penegakan melalui istrumen administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan permasalahan dan juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan lingkungan hidup adalah penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang mana kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan sendiri sendiri.

Hukum lingkungan diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka menjaga supaya lingkungan dan sumber daya alam dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi kemampuan lingkungan itu sendiri. 

Kendala di dalam penegakan dan juga pengimplementasian hukum lingkungan antara lain antara adalah perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah, dan yang terakhir adalah kurangnya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
III.   PEMBAHASAN


3.1.    Contoh Kasus
Pada kesempatan kali ini penulis mengangkat kasus tentang limbah cair industri tekstil kali citarum yang penulis ambil dari harian Kompas Jumat, 26 April 2013 13:14 WIB dengan judul berita “DAS Citarum di Ambang Malapetaka Lingkungan” berikut berita tersebut :

Malapetaka lingkungan tengah berlangsung di Daerah Aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Ratusan ribu warga yang tinggal di kawasan ini menderita karena menjadi langganan banjir di musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.

Bertahun-tahun hampir semua pabrik tekstil di Majalaya membuang langsung limbah beracunnya ke Citarum. Padahal, sungai ini masih dipakai untuk keperluan air minum bagi warga di hilir, termasuk 80 persen warga DKI Jakarta.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.

Sampai kini Sungai Citarum masih tercemar. ”Kondisi ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitarnya,” ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Dadan Ramdan.


Susut 62.000 hektar
Komunitas Elingan, yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan, mencatat dalam sembilan tahun ini lahan hutan di DAS Citarum menyusut 86 persen, dari 72.000 hektar tahun 2000 menjadi 9.900 hektar tahun 2009. Pada periode yang sama, luas kawasan permukiman di sekitar DAS Citarum meningkat 115 persen dari 81.7000 hektar jadi 176.000 hektar.

Tahun 2012, lahan kritis mencapai 20 persen dari luas DAS Citarum sekitar 718.000 hektar. Seluas 144.000 hektar di antaranya adalah lahan rusak. Hingga saat ini setiap tahun ada 95 ton tanah per hektar terbawa erosi ke DAS Citarum. Padahal, dalam kaidah lingkungan, tingkat erosi yang ditoleransi hanya sekitar 15 ton per hektar per tahun.

Ketua Umum Badan Musyawarah Masyarakat Sunda Syarif Bastaman menambahkan, beberapa ikan endemik telah punah dari Sungai Citarum. (dmu)
Sumber : Kompas Cetak
Editor : yunan

3.2.    Analisa Kasus
Aspek Hukum Perlindungan kawasan industri di Jawa Barat dari “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum” (Pasal 1 ayat 2 UU 32 Tahun 2009). 

Secara umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (Sustainability) dalam pemanfaatan.  Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.

Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU 32 Tahun 2009 seperti terlihat dalam Pasal 20 ayat 3 UUPLH disebutkan :
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:
1.      Memenuhi baku mutu lingkungan hidup;
2.      Mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Kasus pencemaran oleh kawasan industri di Jawa Barat ini memang belum ada upaya hukum yang dilakukan.  Hal ini dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal pengawasan serta belum adanya keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini, walupun mereka merasakan dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.  Masyarakat ataupun LSM sebenarnya dapat mengajukan upaya hukum dalam menyelesaikan kasus ini yaitu penegakkan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan hukum perdata.

3.3.    Sanksi Perdata
Ketentuan hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam pasal 87 ayat 1 “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”

1.      Kesalahan Industri Tekstil di Sekitar Kali citarum
Kesalahan yang dilakukan oleh industri tekstil yang ada disekitaran kali Citarum adalah tidak memberlakukannya dan/atau menjalankan IPAL dengan baik dan benar. Air limbah yang dihasilkan dibuang langsung kebadan sungai tanpa melalui proses terlebih dahulu.  Sampah padat yang dihasilkan juga tidak dibuang ketempat pembuangan akhir, melainkan langsung kedalam Waduk Saguling.


2.      Kerugian Warga di Sekitar Kali Citarum
Limbah-limbah yang keluar dari industri-industri yang ada tidak diolah terlebih dahulu, sehingga air limbah yang terkategorikan sebagai zat-zat berbahaya dan beracun (B3) mengalir bebas dialiran sungai yang biasa dipakai oleh warga untuk keperluan sehari-sehari. Limbah padat yang dihasilkan pun menyebabkan kerugian untuk masyarakat sekitar terutama jika terjadi hujan lebat.  Jika hujan lebat terjadi dalam waktu yang lama maka sampah yang menumpuk di Waduk Saguling akan menyebabkan banjir.

Rakyat, dalam hal ini lebih banyak sebagai korban terutama yang bersentuhan langsung dengan kawasan dimana terjadi pencemaran yang dilakukan oleh pihak pengusaha.  Hal inilah yang dialami warga seputaran kali Citarum.  Kondisi seperti ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitar tanpa adanya tindak lanjut dari pemerintah.

3.      Kaitannya dengan Hukum Perdata
Dalam kasus kali ini masyarakat sekitar kali Citarum dapat melakukan gugatan diluar pengadilan atau gugatan Class Action yaitu mengajukan sejumlah orang sebagai perwakilan kelas (Class Repesentatif) untuk meminta ganti rugi kepada industri-industri yang melakukan pencemaran.  Bentuk ganti rugi yang bisa diminta adalah :
A.    Memberikan sejumlah biaya atau pengobatan untuk korban-korban yang menderita penyakit tertentu yang diakibatkan oleh air limbah yang mengalir diseputaran kali Citarum.
B.     Memberikan fasilitas air bersih untuk keperluan domestik.
C.     Memperbaiki dan menggunakan Instalasai Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan tepat dan semestinya.
D.    Membuang limbah padat langsung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)


IV.             PENUTUP


4.1.    Simpulan
1.      Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan  adalah hukum lingkungan.
2.      Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk   persoalan-persoalan lingkungan.
3.      Hukum lingkungan perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
4.      Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
5.      Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien.

4.2.    Saran
1.      Industri tekstil yang ada disekitar kali Citarum haruslah menjalankan industrinya dengan tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.
2.      Perlu diadakannya sebuah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada setiap industri agar dapat meminimalisasi buangan yang diduga berpotensi mencemari lingkungan.
3.      Penanganan limbah dengan end of pipe treatment pada industri tekstil dirasa kurang tepat, hal ini disebabkan karena penanganan dengan cara tersebut hanya mengubah bentuk limbah dari suatu bentuk kebentuk lainnya.
4.      Industri tekstil haruslah benar-benar sadar akan limbah yang dihasilkan dari pengolahannya sehingga instalasi pengolahan limbahnya dapat dijalankan dengan semestinya.I.         PENDAHULUAN


1.1.    Latar Belakang
Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah menunjukan kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, meliputi bidang sosial, budaya dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.

Banyak kemajuan yang telah dicapai, tetapi disamping itu masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan.  Tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, diantaranya adalah masalah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagai efek samping dari berjalannya proses perundangan.  Pencemaran dan kerusakan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan ini diprediksi  akan terus berlanjut.  Seperti yang dikatakan oleh Otto Soemrawoto “Masyarakat Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa lingkungan hidup berlawanan dengan pembangunan. Mengingat kita masih melarat, pembangunan harus didahulukan dari lingkungan hidup, dalam pemerintahan pun lingkungan hanya menempati tempat yang marjinal”.

Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai efek samping dari proses pembangunan adalah kerusakan sumber daya hutan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya tuntutan lahan dan sumber daya hutan yang yang tidak pada tempatnya, serta meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin.  Pencemaran air, udara dan tanah juga merupakan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai akibat pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang mempertahankan aspek kelestarian fungsi lingkungan hidup. 


Persoalan pencemaran lingkungan dapat dilihat dari berbagai aspek lingkungan yang merupakan sarana untuk penyelesaiannya. Pencemaran kerusakan lingkungan dapat diselesaikan melalui aspek medik, planalogis, teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum. Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan  adalah hukum lingkungan. 

Persoalan lingkungan hidup pada dasarnya adalah persoalan semua orang, dan sudah seyogyanya gerakan-gerakan kesadaran yang coba dibangun untuk memulihkan kondisi lingkungan ke arah yang lebih baik adalah satu keharusan, dengan mengambil peran apapun yang bisa dilakukan oleh semua pihak untuk melakukan perbaikan terhadap kerusakan lingkungan hidup disekitarnya.

UUD 1945 yang pada pasal 1 secara jelas menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat. Jadi merupakan wewenang rakyat untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup di Indonesia. Pasal 28H ayat (1) yang menentukan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkugnan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. 

Hukum lingkungan adalah instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan.  Prespektif hukum lingkungan, penuntasan kasus-kasus pencemaran lingkungan mencakup 3 (tiga) bidang sekaligus, yaitu hukum lingkungan administratif, hukum lingkunga keperdataan, hukum lingkungan kepidanaan sebagai konsekuensi logis kedudukan hukum lingkungan sebagai hukum fungsional.

1.2.    Rumusan Masalah
Keberadaan limbah yang dihasilkan oleh pembangunan dinilai dapat menimbulkan dampak buruk kelingkungan sekitar.  Oleh karena itu, limbah yang dihasilkan didesak untuk menerapkan standardisasi pengolahan limbah yang ramah lingkungan.


1.3.    Tujuan
1.      Memberikan informasi mengenai hukum lingkungan perdata.
2.      Memberikan informasi sanksi mengenai pencemaran yang ditimbulkan dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang ditinjau melalui aspek hukum lingkungan perdata.

1.4.    Metode Penulisan
Pada pembuatan laporan Tugas Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum Perdata ini metode yang digunakan penulis adalah dengan studi literatur.


II.      TINJAUAN PUSTAKA


2.1.    Hukum Lingkungan
Hukum lingkungan menurut Lal Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson adalah   “Seperangkat aturan hukum yang memuat tentang pengendalian dampak manusia terhadap bumi dan kesehatan publik”.  Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk   persoalan-persoalan lingkungan dan secara umum hukum yang secara langsung menunjuk pada dampak atas persoalan-persoalan lingkungan.

UNEP mendefinisikan            hukum lingkungan adalah “Seperangkat aturan hukum yang berisi unsur-unsur untuk mengendalikan dampak manusia terhadap lingkungan.  A.B. Blomberg, A.A..J. de Gier dan J. Robbe memberikan definisi hukum lingkungan sebagai berikut hukum lingkungan  secara  umum  dipahami  sebagai hukum yang melindungi kualitas lingkungan dan hukum konservasi alam. 

Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa dari substansi hukum yang merupakan materi hukum lingkungan, maka mata kuliah hukum lingkungan digolongkan kedalam mata kuliah hukum fungsional (Functionele Rechtsvakken), yaitu mengandung  terobosan antara berbagai disiplin hukum klasik.

Substansi hukum lingkungan menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan  administratif,  hukum  lingkungan keperdataan,  hukum  lingkungan  kepidanaan.  Hukum  lingkungan  internasional  yang  sudah berkembang   menjadi   disiplin ilmu hukum tersendiri dan hukum tata ruang.  Dengan  demikian, hukum  lingkungan tidak merupakan bagian hukum publik ataupun bagian dari hukum  privat, namun mencakup hukum publik dan hukum prifat sekaligus. 

Hukum  lingkungan adalah hukum fungsional yang mengandung aspek hukum publik dan aspek hukum privat.  Dalam kepustakaan hukum lingkungan dan ilmu lingkungan dapat ditemukan berbagai pandangan para pakar hukum lingkungan dan ilmu lingkungan mengenai pengertian pencemaran lingkungan, namun dalam penelitian ini pengertian pencemaran lingkungan mengacu kepada Pasal 1 ayat 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).  Pasal 1 ayat 14 UU PPLH mendefinisikan pencemaran lingkungan sebagai berikut “Pencemaran lingkungan hidup adalah  masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui  baku  mutu  lingkungan hidup  yang  telah  ditetapkan”. 

Pencemaran lingkungan menurut UU PPLH hanya meliputi pencemaran  lingkungan yang disebabkan karena kegiatan manusia, tidak termasuk didalamnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh alam, misalnya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darus Salam, meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta dan  hujan debu dari Gunung Semeru di Jawa Timur.  Pengertian kasus pencemaran lingkungan  dalam tulisan ini adalah terbatas pada kasus pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dan tidak mencakup di dalamnya mengenai pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam.

2.2.    Sejarah Perkembangan Lingkungan
Masalah lingkungan dapat ditinjau dari aspek medik, planologis teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum.  Sebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari Rangkut “Perkembangan hukum lingkungan tidak dipisahkan dengan gerakan sedunia yang memberikan perhatian besarnya tentang lingkungan hidup”. 

Konfrensi PBB tentang lingkungan hidup, telah diadakan di Stockholm pada Tahun 1972, Konferensi Stockholm membahas masalah lingkungan dan jalan keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (Eco-Development), dan kapasitas lingkungan yang ada.  Pada tahun 1983 PBB membentuk komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commission on Environment and Development (WCED).

PBB pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi mengenai masalah lingkungan dan pembangunan The United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil pada tanggal 3-14 Juni Tahun 1992.  Indonesia pertama kali lingkungan hidup masuk dalam GBHN tahun 1993 BAB III huruf B ayat (10) dengan Tap MPR RI No.IV/MPR/1993 dan dijabarkan dalam REPELITA II (1994-1997) dalam Buku III bab 27, tentang Pembinaan Hukum Nasional. 

Semakin maju perkembangan ilmu dan teknologi serta peningkatan ekonomi dan modal, terutama penanaman modal dalam negeri dan modal asing, melalui sektor kehutanan dan pertambangan lahirnya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal dan UU No.6 Tahun 1967 tentang Penanamn Modal Dalam Negeri.  Ini sudah memuat pemikiran tentang pengaturan lingkungan.  Kemudian terjadi peristiwa pencemaran lingkungan berupa minyak akibat kandasnya kapal ”Showa Maru” di Selat Malaka. 

Dari hal tersebut diselenggarakan lokakarya tentang segi-segi hukum dari pengelolaan lingkungan hidup oleh depertemen dan perguruan tinggi.  Indonesia meratifikasi Konvensi IMCO tentang Pencemaran Laut oleh Minyak Bumi dari kapal, yang diimplemantasikan dengan Keppres No.18 Tahun 1978 tentang Civil Liability Convention dan Keppres No. 19 Tahun 1978 tentang Internasional Fund Convention 1971.  Pada tahun 1978 dibentuk kantor menteri negara PPLH, salah tugas membuat RUU lingkungan Hidup.  Kemudian lahirnya UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pengeloan Lingkungan Hidup, diganti UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diganti lagi UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2.3.    Hukum Lingkungan Keperdataan
Pengertian Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli adalah "Rangkaian peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara subyek hukum yang satu dengan subyek yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya."
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum  bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum untuk memperoleh ganti  kerugian.  Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum di bidang hukum lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran lingkungan.

Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan menurut UU PPLH diatur dalam Pasal 84 yang menetapkan:
1.    Penyelesaian  sengketa  lingkungan  hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
2.    Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
3.    Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa

Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) UU PPLH, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.  Dengan ketentuan demikian para pihak diberi kebebasan untuk memilih mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan baik melalui pengadilan atau melalui luar pengadilan.

Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum tertuang dalam Pasal 87 yang selangkapnya menyatakan sebagai berikut:
1.      Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan   perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan   lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan  hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu
2.      Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk  usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum  tidak melepaskan tanggungjawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3.      Pengadilan            dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari   keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4.      Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.

Berdasarkan  ketentuan  Pasal  87  ayat (1)  UU  PPLH,  agar  dapat  diajukan  gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur :
1.      Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan
2.      Melakukan perbuatan melanggar hukum
3.      Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
4.      Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;
5.      Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar  ganti  rugi  dan/atau  melakukan  tindakan tertentu;

Dasar pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.

Class Action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuntction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan kelas (Class Repesentatif) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan sebagai class members.
Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan.  Hal ini berarti bahwa kegunaan class action secara mendasar antara lain adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam perkara yang sama.

Setiap warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan berhak untuk membela hak-nya apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan perdata ada dua macam yaitu :
1.      Gugatan yang dilakukan di luar pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi
2.      Gugatan yang dilakukan melalui peradilan disebut litigasi.

Gugatan perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara :
1.      Oleh orang yang bersangkutan atau ahli warisnya.
2.      Sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama (Class Action).

2.4.    Kendala Pelaksanaan Hukum Lingkungan
Persoalan lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan buah simalakama.  Satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.

Upaya memupuk disiplin lingkungan dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak.  Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran serta perusakan lingkungan hidup.
Karena itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum, sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun pidana.  Hingga kini problem lingkungan terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi.

Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap lingkungan, khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat, maka penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan.
Selain itu upaya menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah kendala seperti:
1.      Masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada.
2.      Biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas.
3.      Membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.

Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan. Kedepan, perlu exit strategy sebagai solusi penting yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan hidup.
1.       Mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2.      Asanya sanksi yang memadai (enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan usaha/industri yang nakal.
3.      Adanya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup patut ditingkatkan.

Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat.  Untuk itu, sudah saatnya penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan baik.

Hakekat hukum lingkungan  secara sederhana adalah seperangkat aturan yang mengatur tatanan lingkungan dalam hal ini lingkungan hidup dimana lingkungan dapat diartikan sebagai semua benda dan kondisi yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam perkembangannya hukum lingkungan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu hukum lingkungan modern dan juga hukum lingkungan klasik.

Bentuk penegakan hukum lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama penegakan melalui istrumen administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan permasalahan dan juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan lingkungan hidup adalah penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang mana kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan sendiri sendiri.

Hukum lingkungan diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka menjaga supaya lingkungan dan sumber daya alam dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi kemampuan lingkungan itu sendiri. 

Kendala di dalam penegakan dan juga pengimplementasian hukum lingkungan antara lain antara adalah perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah, dan yang terakhir adalah kurangnya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
III.   PEMBAHASAN


3.1.    Contoh Kasus
Pada kesempatan kali ini penulis mengangkat kasus tentang limbah cair industri tekstil kali citarum yang penulis ambil dari harian Kompas Jumat, 26 April 2013 13:14 WIB dengan judul berita “DAS Citarum di Ambang Malapetaka Lingkungan” berikut berita tersebut :

Malapetaka lingkungan tengah berlangsung di Daerah Aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Ratusan ribu warga yang tinggal di kawasan ini menderita karena menjadi langganan banjir di musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.

Bertahun-tahun hampir semua pabrik tekstil di Majalaya membuang langsung limbah beracunnya ke Citarum. Padahal, sungai ini masih dipakai untuk keperluan air minum bagi warga di hilir, termasuk 80 persen warga DKI Jakarta.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.

Sampai kini Sungai Citarum masih tercemar. ”Kondisi ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitarnya,” ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Dadan Ramdan.


Susut 62.000 hektar
Komunitas Elingan, yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan, mencatat dalam sembilan tahun ini lahan hutan di DAS Citarum menyusut 86 persen, dari 72.000 hektar tahun 2000 menjadi 9.900 hektar tahun 2009. Pada periode yang sama, luas kawasan permukiman di sekitar DAS Citarum meningkat 115 persen dari 81.7000 hektar jadi 176.000 hektar.

Tahun 2012, lahan kritis mencapai 20 persen dari luas DAS Citarum sekitar 718.000 hektar. Seluas 144.000 hektar di antaranya adalah lahan rusak. Hingga saat ini setiap tahun ada 95 ton tanah per hektar terbawa erosi ke DAS Citarum. Padahal, dalam kaidah lingkungan, tingkat erosi yang ditoleransi hanya sekitar 15 ton per hektar per tahun.

Ketua Umum Badan Musyawarah Masyarakat Sunda Syarif Bastaman menambahkan, beberapa ikan endemik telah punah dari Sungai Citarum. (dmu)
Sumber : Kompas Cetak
Editor : yunan

3.2.    Analisa Kasus
Aspek Hukum Perlindungan kawasan industri di Jawa Barat dari “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum” (Pasal 1 ayat 2 UU 32 Tahun 2009). 

Secara umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (Sustainability) dalam pemanfaatan.  Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.

Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU 32 Tahun 2009 seperti terlihat dalam Pasal 20 ayat 3 UUPLH disebutkan :
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:
1.      Memenuhi baku mutu lingkungan hidup;
2.      Mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Kasus pencemaran oleh kawasan industri di Jawa Barat ini memang belum ada upaya hukum yang dilakukan.  Hal ini dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal pengawasan serta belum adanya keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini, walupun mereka merasakan dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.  Masyarakat ataupun LSM sebenarnya dapat mengajukan upaya hukum dalam menyelesaikan kasus ini yaitu penegakkan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan hukum perdata.

3.3.    Sanksi Perdata
Ketentuan hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam pasal 87 ayat 1 “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”

1.      Kesalahan Industri Tekstil di Sekitar Kali citarum
Kesalahan yang dilakukan oleh industri tekstil yang ada disekitaran kali Citarum adalah tidak memberlakukannya dan/atau menjalankan IPAL dengan baik dan benar. Air limbah yang dihasilkan dibuang langsung kebadan sungai tanpa melalui proses terlebih dahulu.  Sampah padat yang dihasilkan juga tidak dibuang ketempat pembuangan akhir, melainkan langsung kedalam Waduk Saguling.


2.      Kerugian Warga di Sekitar Kali Citarum
Limbah-limbah yang keluar dari industri-industri yang ada tidak diolah terlebih dahulu, sehingga air limbah yang terkategorikan sebagai zat-zat berbahaya dan beracun (B3) mengalir bebas dialiran sungai yang biasa dipakai oleh warga untuk keperluan sehari-sehari. Limbah padat yang dihasilkan pun menyebabkan kerugian untuk masyarakat sekitar terutama jika terjadi hujan lebat.  Jika hujan lebat terjadi dalam waktu yang lama maka sampah yang menumpuk di Waduk Saguling akan menyebabkan banjir.

Rakyat, dalam hal ini lebih banyak sebagai korban terutama yang bersentuhan langsung dengan kawasan dimana terjadi pencemaran yang dilakukan oleh pihak pengusaha.  Hal inilah yang dialami warga seputaran kali Citarum.  Kondisi seperti ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitar tanpa adanya tindak lanjut dari pemerintah.

3.      Kaitannya dengan Hukum Perdata
Dalam kasus kali ini masyarakat sekitar kali Citarum dapat melakukan gugatan diluar pengadilan atau gugatan Class Action yaitu mengajukan sejumlah orang sebagai perwakilan kelas (Class Repesentatif) untuk meminta ganti rugi kepada industri-industri yang melakukan pencemaran.  Bentuk ganti rugi yang bisa diminta adalah :
A.    Memberikan sejumlah biaya atau pengobatan untuk korban-korban yang menderita penyakit tertentu yang diakibatkan oleh air limbah yang mengalir diseputaran kali Citarum.
B.     Memberikan fasilitas air bersih untuk keperluan domestik.
C.     Memperbaiki dan menggunakan Instalasai Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan tepat dan semestinya.
D.    Membuang limbah padat langsung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)


IV.             PENUTUP


4.1.    Simpulan
1.      Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan  adalah hukum lingkungan.
2.      Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk   persoalan-persoalan lingkungan.
3.      Hukum lingkungan perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
4.      Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
5.      Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien.

4.2.    Saran
1.      Industri tekstil yang ada disekitar kali Citarum haruslah menjalankan industrinya dengan tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.
2.      Perlu diadakannya sebuah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada setiap industri agar dapat meminimalisasi buangan yang diduga berpotensi mencemari lingkungan.
3.      Penanganan limbah dengan end of pipe treatment pada industri tekstil dirasa kurang tepat, hal ini disebabkan karena penanganan dengan cara tersebut hanya mengubah bentuk limbah dari suatu bentuk kebentuk lainnya.
4.      Industri tekstil haruslah benar-benar sadar akan limbah yang dihasilkan dari pengolahannya sehingga instalasi pengolahan limbahnya dapat dijalankan dengan semestinya.