I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pembangunan nasional yang telah
dilaksanakan selama ini telah menunjukan kemajuan di berbagai bidang kehidupan
masyarakat, meliputi bidang sosial, budaya dan kehidupan beragama, ekonomi,
ilmu politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan,
hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan
prasarana, serta pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.
Banyak kemajuan yang telah dicapai,
tetapi disamping itu masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum
sepenuhnya terselesaikan. Tantangan atau
masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, diantaranya adalah masalah
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagai efek samping dari berjalannya
proses perundangan. Pencemaran dan
kerusakan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan ini diprediksi akan terus berlanjut. Seperti yang dikatakan oleh Otto Soemrawoto
“Masyarakat Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa lingkungan hidup berlawanan
dengan pembangunan. Mengingat kita masih melarat, pembangunan harus didahulukan
dari lingkungan hidup, dalam pemerintahan pun lingkungan hanya menempati tempat
yang marjinal”.
Berbagai kasus pencemaran dan
kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai efek samping dari proses pembangunan
adalah kerusakan sumber daya hutan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar
dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya
tuntutan lahan dan sumber daya hutan yang yang tidak pada tempatnya, serta
meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin. Pencemaran air, udara dan tanah juga
merupakan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai
akibat pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang mempertahankan aspek
kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Persoalan pencemaran lingkungan
dapat dilihat dari berbagai aspek lingkungan yang merupakan sarana untuk
penyelesaiannya. Pencemaran kerusakan lingkungan dapat diselesaikan melalui
aspek medik, planalogis, teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum.
Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.
Persoalan
lingkungan hidup pada dasarnya adalah persoalan semua orang, dan sudah
seyogyanya gerakan-gerakan kesadaran yang coba dibangun untuk memulihkan
kondisi lingkungan ke arah yang lebih baik adalah satu keharusan, dengan
mengambil peran apapun yang bisa dilakukan oleh semua pihak untuk melakukan
perbaikan terhadap kerusakan lingkungan hidup disekitarnya.
UUD
1945 yang pada pasal 1 secara jelas menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan
rakyat. Jadi merupakan wewenang rakyat untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan
lingkungan hidup di Indonesia. Pasal 28H ayat (1) yang menentukan “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkugnan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”.
Hukum lingkungan adalah
instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Prespektif hukum lingkungan, penuntasan
kasus-kasus pencemaran lingkungan mencakup 3 (tiga) bidang sekaligus, yaitu
hukum lingkungan administratif, hukum lingkunga keperdataan, hukum lingkungan
kepidanaan sebagai konsekuensi logis kedudukan hukum lingkungan sebagai hukum
fungsional.
1.2.
Rumusan Masalah
Keberadaan limbah yang dihasilkan
oleh pembangunan dinilai dapat menimbulkan dampak buruk kelingkungan
sekitar. Oleh karena itu, limbah yang
dihasilkan didesak untuk menerapkan standardisasi pengolahan limbah yang ramah
lingkungan.
1.3.
Tujuan
1. Memberikan
informasi mengenai hukum lingkungan perdata.
2. Memberikan
informasi sanksi mengenai pencemaran yang ditimbulkan dari suatu usaha dan/atau
kegiatan yang ditinjau melalui aspek hukum lingkungan perdata.
1.4.
Metode Penulisan
Pada pembuatan laporan Tugas
Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum
Perdata ini metode yang digunakan penulis adalah dengan studi literatur.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Hukum Lingkungan
Hukum
lingkungan menurut Lal Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson adalah
“Seperangkat aturan hukum yang memuat
tentang pengendalian dampak manusia
terhadap bumi dan kesehatan publik”. Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya
luas yang mencakup hukum yang secara khusus
menunjuk persoalan-persoalan lingkungan
dan secara umum hukum yang secara langsung
menunjuk pada dampak atas
persoalan-persoalan lingkungan.
UNEP mendefinisikan
hukum lingkungan adalah “Seperangkat aturan hukum yang berisi unsur-unsur untuk mengendalikan dampak manusia terhadap
lingkungan. A.B. Blomberg, A.A..J. de Gier dan J. Robbe memberikan definisi hukum lingkungan sebagai berikut hukum lingkungan
secara umum dipahami
sebagai hukum yang
melindungi kualitas lingkungan
dan hukum konservasi alam.
Siti
Sundari Rangkuti menyatakan bahwa dari substansi hukum yang merupakan materi hukum lingkungan, maka mata kuliah hukum lingkungan digolongkan kedalam mata kuliah hukum fungsional (Functionele Rechtsvakken), yaitu mengandung terobosan antara
berbagai disiplin hukum klasik.
Substansi
hukum lingkungan menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan
administratif, hukum lingkungan keperdataan, hukum
lingkungan kepidanaan. Hukum lingkungan
internasional yang sudah berkembang menjadi
disiplin ilmu hukum tersendiri
dan hukum tata ruang. Dengan
demikian, hukum lingkungan tidak merupakan bagian hukum publik ataupun bagian dari hukum
privat, namun mencakup hukum publik
dan hukum prifat sekaligus.
Hukum lingkungan adalah hukum fungsional yang mengandung
aspek hukum publik dan aspek hukum privat. Dalam kepustakaan hukum lingkungan dan ilmu lingkungan dapat ditemukan berbagai pandangan para pakar hukum lingkungan dan ilmu lingkungan mengenai pengertian pencemaran
lingkungan, namun dalam penelitian
ini pengertian pencemaran lingkungan mengacu kepada Pasal 1 ayat 14
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal 1 ayat 14 UU PPLH mendefinisikan pencemaran lingkungan sebagai berikut “Pencemaran lingkungan hidup
adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang
telah ditetapkan”.
Pencemaran
lingkungan menurut UU PPLH
hanya meliputi pencemaran lingkungan yang disebabkan karena kegiatan manusia, tidak
termasuk didalamnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh alam, misalnya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darus Salam, meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta dan
hujan debu dari Gunung Semeru di Jawa Timur. Pengertian kasus pencemaran lingkungan dalam tulisan ini adalah
terbatas pada kasus
pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dan tidak mencakup di dalamnya mengenai pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam.
2.2. Sejarah Perkembangan Lingkungan
Masalah
lingkungan dapat ditinjau dari aspek medik, planologis teknologis, teknik
lingkungan, ekonomi dan hukum.
Sebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari Rangkut “Perkembangan hukum
lingkungan tidak dipisahkan dengan gerakan sedunia yang memberikan perhatian
besarnya tentang lingkungan hidup”.
Konfrensi
PBB tentang lingkungan hidup, telah diadakan di Stockholm pada Tahun 1972,
Konferensi Stockholm membahas masalah lingkungan dan jalan keluarnya, agar
pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (Eco-Development), dan kapasitas
lingkungan yang ada. Pada tahun 1983 PBB
membentuk komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commission on Environment and
Development (WCED).
PBB
pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi mengenai masalah lingkungan dan
pembangunan The United Nations Conference
on Environment and Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil
pada tanggal 3-14 Juni Tahun 1992. Indonesia
pertama kali lingkungan hidup masuk dalam GBHN tahun 1993 BAB III huruf B ayat
(10) dengan Tap MPR RI No.IV/MPR/1993 dan dijabarkan dalam REPELITA II
(1994-1997) dalam Buku III bab 27, tentang Pembinaan Hukum Nasional.
Semakin
maju perkembangan ilmu dan teknologi serta peningkatan ekonomi dan modal,
terutama penanaman modal dalam negeri dan modal asing, melalui sektor kehutanan
dan pertambangan lahirnya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal dan UU
No.6 Tahun 1967 tentang Penanamn Modal Dalam Negeri. Ini sudah memuat pemikiran tentang pengaturan
lingkungan. Kemudian terjadi peristiwa
pencemaran lingkungan berupa minyak akibat kandasnya kapal ”Showa Maru” di
Selat Malaka.
Dari
hal tersebut diselenggarakan lokakarya tentang segi-segi hukum dari pengelolaan
lingkungan hidup oleh depertemen dan perguruan tinggi. Indonesia meratifikasi Konvensi IMCO tentang
Pencemaran Laut oleh Minyak Bumi dari kapal, yang diimplemantasikan dengan
Keppres No.18 Tahun 1978 tentang Civil
Liability Convention dan Keppres No. 19 Tahun 1978 tentang Internasional Fund Convention 1971. Pada tahun 1978 dibentuk kantor menteri
negara PPLH, salah tugas membuat RUU lingkungan Hidup. Kemudian lahirnya UU No.4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pengeloan Lingkungan Hidup, diganti UU No.23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diganti lagi UU No.32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2.3. Hukum Lingkungan Keperdataan
Pengertian
Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli adalah "Rangkaian peraturan hukum yang
mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara
subyek hukum yang satu dengan subyek yang lain, dengan menitikberatkan pada
kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam
kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau dalam usaha
untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya."
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum
bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan
sengketa lingkungan
di peradilan umum untuk memperoleh ganti kerugian. Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai
gugatan ganti kerugian atas dasar
perbuatan melawan hukum di bidang hukum
lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran lingkungan.
Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian
sengketa lingkungan menurut UU PPLH diatur dalam Pasal 84 yang menetapkan:
1. Penyelesaian
sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau
di luar pengadilan.
2. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
3. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa
Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) UU PPLH, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih secara sukarela oleh
para pihak yang bersengketa. Dengan ketentuan
demikian para pihak diberi kebebasan untuk
memilih mekanisme penyelesaian
sengketa lingkungan baik melalui pengadilan
atau melalui luar pengadilan.
Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum tertuang dalam Pasal 87 yang selangkapnya menyatakan sebagai berikut:
1.
Setiap
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang
melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu
2.
Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk
usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak
melepaskan tanggungjawab hukum
dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3.
Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap
hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4.
Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 87
ayat (1) UU
PPLH, agar dapat
diajukan gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur :
1.
Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan
2.
Melakukan perbuatan melanggar hukum
3.
Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
4.
Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;
5.
Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar
ganti rugi dan/atau
melakukan tindakan tertentu;
Dasar
pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan
kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih
yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan
sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan
fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.
Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih
yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok
orang yang lebih banyak jumlahnya.
Class Action pada intinya adalah gugatan perdata
(biasanya terkait dengan permintaan injuntction
atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan kelas
(Class Repesentatif) mewakili
kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang
lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili
tersebut diistilahkan sebagai class
members.
Class action bisa merupakan suatu metode bagi
orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama
mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta
dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan. Hal ini berarti bahwa kegunaan class action secara mendasar antara lain
adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan
yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam
perkara yang sama.
Setiap
warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan berhak untuk membela
hak-nya apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar
pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan perdata
ada dua macam yaitu :
1. Gugatan yang dilakukan di luar
pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi
2. Gugatan yang dilakukan melalui
peradilan disebut litigasi.
Gugatan
perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara :
1. Oleh orang yang bersangkutan atau
ahli warisnya.
2. Sekelompok orang yang mempunyai
kepentingan yang sama (Class Action).
2.4.
Kendala Pelaksanaan Hukum Lingkungan
Persoalan
lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan
buah simalakama. Satu sisi terdapat
tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi
lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam
melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.
Upaya
memupuk disiplin lingkungan dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai
solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak. Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban
memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran
serta perusakan lingkungan hidup.
Karena
itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti
pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas
baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum,
sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun
pidana. Hingga kini problem lingkungan
terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era
reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi.
Dalam
rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap
lingkungan, khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat, maka
penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan.
Selain
itu upaya menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah
kendala seperti:
1. Masih terdapat perbedaan persepsi
antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan
perundang-undangan yang ada.
2. Biaya untuk menangani penyelesaian
kasus lingkungan hidup terbatas.
3. Membuktikan telah terjadi pencemaran
atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.
Era
reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai
keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan. Kedepan, perlu exit strategy sebagai solusi penting
yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan
hidup.
1. Mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi
antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2. Asanya sanksi yang memadai
(enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai
dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak
hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan usaha/industri
yang nakal.
3. Adanya partisipasi publik,
transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup patut ditingkatkan.
Pengelolaan
lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan
masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang
mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan
sehat. Untuk itu, sudah saatnya
penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan
diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan
baik.
Hakekat
hukum lingkungan secara sederhana adalah seperangkat aturan yang mengatur
tatanan lingkungan dalam hal ini lingkungan hidup dimana lingkungan dapat
diartikan sebagai semua benda dan kondisi yang dapat mempengaruhi kelangsungan
hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam
perkembangannya hukum lingkungan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu hukum
lingkungan modern dan juga hukum lingkungan klasik.
Bentuk
penegakan hukum lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama
penegakan melalui istrumen administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan
permasalahan dan juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan
lingkungan hidup adalah penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang mana
kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan
sendiri sendiri.
Hukum
lingkungan diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka menjaga supaya lingkungan dan
sumber daya alam dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi kemampuan
lingkungan itu sendiri.
Kendala
di dalam penegakan dan juga pengimplementasian hukum lingkungan antara lain antara
adalah perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan
memaknai peraturan perundang-undangan yang ada, biaya untuk menangani
penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas, membuktikan telah terjadi
pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah, dan yang
terakhir adalah kurangnya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
III.
PEMBAHASAN
3.1.
Contoh Kasus
Pada kesempatan kali ini penulis
mengangkat kasus tentang limbah cair industri tekstil kali citarum yang penulis
ambil dari harian Kompas Jumat, 26 April 2013 13:14 WIB dengan judul berita “DAS
Citarum di Ambang Malapetaka Lingkungan” berikut berita tersebut :
“Malapetaka lingkungan tengah berlangsung
di Daerah Aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Ratusan ribu warga yang tinggal di
kawasan ini menderita karena menjadi langganan banjir di musim hujan dan
kekurangan air di musim kemarau.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.
Bertahun-tahun hampir semua pabrik tekstil di Majalaya
membuang langsung limbah beracunnya ke Citarum. Padahal, sungai ini masih
dipakai untuk keperluan air minum bagi warga di hilir, termasuk 80 persen warga
DKI Jakarta.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.
Sampai
kini Sungai Citarum masih tercemar. ”Kondisi ini berlangsung lama dan dibiarkan
merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitarnya,” ujar Direktur Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Dadan Ramdan.
Susut 62.000 hektar
Komunitas Elingan, yang
bergerak di bidang pelestarian lingkungan, mencatat dalam sembilan tahun ini
lahan hutan di DAS Citarum menyusut 86 persen, dari 72.000 hektar tahun 2000 menjadi
9.900 hektar tahun 2009. Pada periode yang sama, luas kawasan permukiman di
sekitar DAS Citarum meningkat 115 persen dari 81.7000 hektar jadi 176.000
hektar.
Tahun 2012, lahan kritis
mencapai 20 persen dari luas DAS Citarum sekitar 718.000 hektar. Seluas 144.000
hektar di antaranya adalah lahan rusak. Hingga saat ini setiap tahun ada 95 ton
tanah per hektar terbawa erosi ke DAS Citarum. Padahal, dalam kaidah
lingkungan, tingkat erosi yang ditoleransi hanya sekitar 15 ton per hektar per
tahun.
Ketua Umum Badan Musyawarah
Masyarakat Sunda Syarif Bastaman menambahkan, beberapa ikan endemik telah punah
dari Sungai Citarum. (dmu)
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
yunan
3.2.
Analisa
Kasus
Aspek
Hukum Perlindungan kawasan industri di Jawa Barat dari “Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan
untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum” (Pasal 1 ayat 2 UU 32 Tahun
2009).
Secara
umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (Sustainability) dalam pemanfaatan. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk
berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu,
permasalahan, peluang dan tantangan.
Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU 32 Tahun 2009
seperti terlihat dalam Pasal 20 ayat 3 UUPLH disebutkan :
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan
hidup dengan persyaratan:
1. Memenuhi
baku mutu lingkungan hidup;
2. Mendapat
izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Kasus pencemaran oleh kawasan industri di Jawa Barat ini memang belum
ada upaya hukum yang dilakukan. Hal ini
dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal pengawasan serta belum adanya
keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini, walupun mereka merasakan
dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.
Masyarakat ataupun LSM sebenarnya dapat mengajukan upaya hukum dalam
menyelesaikan kasus ini yaitu penegakkan hukum lingkungan dalam kaitannya
dengan hukum perdata.
3.3.
Sanksi Perdata
Ketentuan
hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam
pasal 87 ayat 1 “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti
rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
1.
Kesalahan
Industri Tekstil di Sekitar Kali citarum
Kesalahan
yang dilakukan oleh industri tekstil yang ada disekitaran kali Citarum adalah
tidak memberlakukannya dan/atau menjalankan IPAL dengan baik dan benar. Air
limbah yang dihasilkan dibuang langsung kebadan sungai tanpa melalui proses
terlebih dahulu. Sampah padat yang
dihasilkan juga tidak dibuang ketempat pembuangan akhir, melainkan langsung
kedalam Waduk Saguling.
2.
Kerugian
Warga di Sekitar Kali Citarum
Limbah-limbah yang keluar dari
industri-industri yang ada tidak diolah terlebih dahulu, sehingga air limbah yang
terkategorikan sebagai zat-zat berbahaya dan beracun (B3) mengalir bebas dialiran
sungai yang biasa dipakai oleh warga untuk keperluan sehari-sehari. Limbah
padat yang dihasilkan pun menyebabkan kerugian untuk masyarakat sekitar
terutama jika terjadi hujan lebat. Jika
hujan lebat terjadi dalam waktu yang lama maka sampah yang menumpuk di Waduk
Saguling akan menyebabkan banjir.
Rakyat, dalam hal ini lebih banyak
sebagai korban terutama yang bersentuhan langsung dengan kawasan dimana terjadi
pencemaran yang dilakukan oleh pihak pengusaha. Hal inilah yang dialami warga
seputaran kali Citarum. Kondisi seperti
ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga
sekitar tanpa adanya tindak lanjut dari pemerintah.
3.
Kaitannya dengan Hukum Perdata
Dalam kasus kali ini masyarakat
sekitar kali Citarum dapat melakukan gugatan diluar pengadilan atau gugatan Class Action yaitu mengajukan sejumlah
orang sebagai perwakilan kelas (Class
Repesentatif) untuk meminta ganti rugi kepada industri-industri yang
melakukan pencemaran. Bentuk ganti rugi
yang bisa diminta adalah :
A. Memberikan sejumlah biaya atau
pengobatan untuk korban-korban yang menderita penyakit tertentu yang
diakibatkan oleh air limbah yang mengalir diseputaran kali Citarum.
B. Memberikan fasilitas air bersih
untuk keperluan domestik.
C. Memperbaiki dan menggunakan
Instalasai Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan tepat dan semestinya.
D. Membuang limbah padat langsung ke
Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
IV.
PENUTUP
4.1.
Simpulan
1. Hukum
yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.
2. Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk
persoalan-persoalan lingkungan.
3. Hukum lingkungan perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara
orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu
dengan subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan
perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk
mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk
memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
4. Pengelolaan lingkungan hidup akan
terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
5. Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang
mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar
lebih efisien.
4.2.
Saran
1. Industri
tekstil yang ada disekitar kali Citarum haruslah menjalankan industrinya dengan
tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.
2. Perlu
diadakannya sebuah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada setiap industri
agar dapat meminimalisasi buangan yang diduga berpotensi mencemari lingkungan.
3. Penanganan
limbah dengan end of pipe treatment pada industri
tekstil dirasa kurang tepat, hal ini disebabkan karena penanganan dengan cara
tersebut hanya mengubah bentuk limbah dari suatu bentuk kebentuk lainnya.
4. Industri
tekstil haruslah benar-benar sadar akan limbah yang dihasilkan dari
pengolahannya sehingga instalasi pengolahan limbahnya dapat dijalankan dengan
semestinya. I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pembangunan nasional yang telah
dilaksanakan selama ini telah menunjukan kemajuan di berbagai bidang kehidupan
masyarakat, meliputi bidang sosial, budaya dan kehidupan beragama, ekonomi,
ilmu politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan,
hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan
prasarana, serta pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.
Banyak kemajuan yang telah dicapai,
tetapi disamping itu masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum
sepenuhnya terselesaikan. Tantangan atau
masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, diantaranya adalah masalah
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagai efek samping dari berjalannya
proses perundangan. Pencemaran dan
kerusakan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan ini diprediksi akan terus berlanjut. Seperti yang dikatakan oleh Otto Soemrawoto
“Masyarakat Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa lingkungan hidup berlawanan
dengan pembangunan. Mengingat kita masih melarat, pembangunan harus didahulukan
dari lingkungan hidup, dalam pemerintahan pun lingkungan hanya menempati tempat
yang marjinal”.
Berbagai kasus pencemaran dan
kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai efek samping dari proses pembangunan
adalah kerusakan sumber daya hutan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar
dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya
tuntutan lahan dan sumber daya hutan yang yang tidak pada tempatnya, serta
meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin. Pencemaran air, udara dan tanah juga
merupakan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai
akibat pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang mempertahankan aspek
kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Persoalan pencemaran lingkungan
dapat dilihat dari berbagai aspek lingkungan yang merupakan sarana untuk
penyelesaiannya. Pencemaran kerusakan lingkungan dapat diselesaikan melalui
aspek medik, planalogis, teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum.
Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.
Persoalan
lingkungan hidup pada dasarnya adalah persoalan semua orang, dan sudah
seyogyanya gerakan-gerakan kesadaran yang coba dibangun untuk memulihkan
kondisi lingkungan ke arah yang lebih baik adalah satu keharusan, dengan
mengambil peran apapun yang bisa dilakukan oleh semua pihak untuk melakukan
perbaikan terhadap kerusakan lingkungan hidup disekitarnya.
UUD
1945 yang pada pasal 1 secara jelas menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan
rakyat. Jadi merupakan wewenang rakyat untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan
lingkungan hidup di Indonesia. Pasal 28H ayat (1) yang menentukan “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkugnan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”.
Hukum lingkungan adalah
instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Prespektif hukum lingkungan, penuntasan
kasus-kasus pencemaran lingkungan mencakup 3 (tiga) bidang sekaligus, yaitu
hukum lingkungan administratif, hukum lingkunga keperdataan, hukum lingkungan
kepidanaan sebagai konsekuensi logis kedudukan hukum lingkungan sebagai hukum
fungsional.
1.2.
Rumusan Masalah
Keberadaan limbah yang dihasilkan
oleh pembangunan dinilai dapat menimbulkan dampak buruk kelingkungan
sekitar. Oleh karena itu, limbah yang
dihasilkan didesak untuk menerapkan standardisasi pengolahan limbah yang ramah
lingkungan.
1.3.
Tujuan
1. Memberikan
informasi mengenai hukum lingkungan perdata.
2. Memberikan
informasi sanksi mengenai pencemaran yang ditimbulkan dari suatu usaha dan/atau
kegiatan yang ditinjau melalui aspek hukum lingkungan perdata.
1.4.
Metode Penulisan
Pada pembuatan laporan Tugas
Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum
Perdata ini metode yang digunakan penulis adalah dengan studi literatur.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Hukum Lingkungan
Hukum
lingkungan menurut Lal Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson adalah
“Seperangkat aturan hukum yang memuat
tentang pengendalian dampak manusia
terhadap bumi dan kesehatan publik”. Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya
luas yang mencakup hukum yang secara khusus
menunjuk persoalan-persoalan lingkungan
dan secara umum hukum yang secara langsung
menunjuk pada dampak atas
persoalan-persoalan lingkungan.
UNEP mendefinisikan
hukum lingkungan adalah “Seperangkat aturan hukum yang berisi unsur-unsur untuk mengendalikan dampak manusia terhadap
lingkungan. A.B. Blomberg, A.A..J. de Gier dan J. Robbe memberikan definisi hukum lingkungan sebagai berikut hukum lingkungan
secara umum dipahami
sebagai hukum yang
melindungi kualitas lingkungan
dan hukum konservasi alam.
Siti
Sundari Rangkuti menyatakan bahwa dari substansi hukum yang merupakan materi hukum lingkungan, maka mata kuliah hukum lingkungan digolongkan kedalam mata kuliah hukum fungsional (Functionele Rechtsvakken), yaitu mengandung terobosan antara
berbagai disiplin hukum klasik.
Substansi
hukum lingkungan menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan
administratif, hukum lingkungan keperdataan, hukum
lingkungan kepidanaan. Hukum lingkungan
internasional yang sudah berkembang menjadi
disiplin ilmu hukum tersendiri
dan hukum tata ruang. Dengan
demikian, hukum lingkungan tidak merupakan bagian hukum publik ataupun bagian dari hukum
privat, namun mencakup hukum publik
dan hukum prifat sekaligus.
Hukum lingkungan adalah hukum fungsional yang mengandung
aspek hukum publik dan aspek hukum privat. Dalam kepustakaan hukum lingkungan dan ilmu lingkungan dapat ditemukan berbagai pandangan para pakar hukum lingkungan dan ilmu lingkungan mengenai pengertian pencemaran
lingkungan, namun dalam penelitian
ini pengertian pencemaran lingkungan mengacu kepada Pasal 1 ayat 14
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal 1 ayat 14 UU PPLH mendefinisikan pencemaran lingkungan sebagai berikut “Pencemaran lingkungan hidup
adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang
telah ditetapkan”.
Pencemaran
lingkungan menurut UU PPLH
hanya meliputi pencemaran lingkungan yang disebabkan karena kegiatan manusia, tidak
termasuk didalamnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh alam, misalnya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darus Salam, meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta dan
hujan debu dari Gunung Semeru di Jawa Timur. Pengertian kasus pencemaran lingkungan dalam tulisan ini adalah
terbatas pada kasus
pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dan tidak mencakup di dalamnya mengenai pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam.
2.2. Sejarah Perkembangan Lingkungan
Masalah
lingkungan dapat ditinjau dari aspek medik, planologis teknologis, teknik
lingkungan, ekonomi dan hukum.
Sebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari Rangkut “Perkembangan hukum
lingkungan tidak dipisahkan dengan gerakan sedunia yang memberikan perhatian
besarnya tentang lingkungan hidup”.
Konfrensi
PBB tentang lingkungan hidup, telah diadakan di Stockholm pada Tahun 1972,
Konferensi Stockholm membahas masalah lingkungan dan jalan keluarnya, agar
pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (Eco-Development), dan kapasitas
lingkungan yang ada. Pada tahun 1983 PBB
membentuk komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commission on Environment and
Development (WCED).
PBB
pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi mengenai masalah lingkungan dan
pembangunan The United Nations Conference
on Environment and Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil
pada tanggal 3-14 Juni Tahun 1992. Indonesia
pertama kali lingkungan hidup masuk dalam GBHN tahun 1993 BAB III huruf B ayat
(10) dengan Tap MPR RI No.IV/MPR/1993 dan dijabarkan dalam REPELITA II
(1994-1997) dalam Buku III bab 27, tentang Pembinaan Hukum Nasional.
Semakin
maju perkembangan ilmu dan teknologi serta peningkatan ekonomi dan modal,
terutama penanaman modal dalam negeri dan modal asing, melalui sektor kehutanan
dan pertambangan lahirnya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal dan UU
No.6 Tahun 1967 tentang Penanamn Modal Dalam Negeri. Ini sudah memuat pemikiran tentang pengaturan
lingkungan. Kemudian terjadi peristiwa
pencemaran lingkungan berupa minyak akibat kandasnya kapal ”Showa Maru” di
Selat Malaka.
Dari
hal tersebut diselenggarakan lokakarya tentang segi-segi hukum dari pengelolaan
lingkungan hidup oleh depertemen dan perguruan tinggi. Indonesia meratifikasi Konvensi IMCO tentang
Pencemaran Laut oleh Minyak Bumi dari kapal, yang diimplemantasikan dengan
Keppres No.18 Tahun 1978 tentang Civil
Liability Convention dan Keppres No. 19 Tahun 1978 tentang Internasional Fund Convention 1971. Pada tahun 1978 dibentuk kantor menteri
negara PPLH, salah tugas membuat RUU lingkungan Hidup. Kemudian lahirnya UU No.4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pengeloan Lingkungan Hidup, diganti UU No.23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diganti lagi UU No.32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2.3. Hukum Lingkungan Keperdataan
Pengertian
Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli adalah "Rangkaian peraturan hukum yang
mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara
subyek hukum yang satu dengan subyek yang lain, dengan menitikberatkan pada
kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam
kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau dalam usaha
untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya."
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum
bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan
sengketa lingkungan
di peradilan umum untuk memperoleh ganti kerugian. Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai
gugatan ganti kerugian atas dasar
perbuatan melawan hukum di bidang hukum
lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran lingkungan.
Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian
sengketa lingkungan menurut UU PPLH diatur dalam Pasal 84 yang menetapkan:
1. Penyelesaian
sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau
di luar pengadilan.
2. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
3. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa
Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) UU PPLH, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih secara sukarela oleh
para pihak yang bersengketa. Dengan ketentuan
demikian para pihak diberi kebebasan untuk
memilih mekanisme penyelesaian
sengketa lingkungan baik melalui pengadilan
atau melalui luar pengadilan.
Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum tertuang dalam Pasal 87 yang selangkapnya menyatakan sebagai berikut:
1.
Setiap
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang
melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu
2.
Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk
usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak
melepaskan tanggungjawab hukum
dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3.
Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap
hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4.
Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 87
ayat (1) UU
PPLH, agar dapat
diajukan gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur :
1.
Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan
2.
Melakukan perbuatan melanggar hukum
3.
Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
4.
Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;
5.
Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar
ganti rugi dan/atau
melakukan tindakan tertentu;
Dasar
pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan
kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih
yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan
sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan
fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.
Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih
yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok
orang yang lebih banyak jumlahnya.
Class Action pada intinya adalah gugatan perdata
(biasanya terkait dengan permintaan injuntction
atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan kelas
(Class Repesentatif) mewakili
kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang
lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili
tersebut diistilahkan sebagai class
members.
Class action bisa merupakan suatu metode bagi
orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama
mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta
dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan. Hal ini berarti bahwa kegunaan class action secara mendasar antara lain
adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan
yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam
perkara yang sama.
Setiap
warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan berhak untuk membela
hak-nya apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar
pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan perdata
ada dua macam yaitu :
1. Gugatan yang dilakukan di luar
pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi
2. Gugatan yang dilakukan melalui
peradilan disebut litigasi.
Gugatan
perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara :
1. Oleh orang yang bersangkutan atau
ahli warisnya.
2. Sekelompok orang yang mempunyai
kepentingan yang sama (Class Action).
2.4.
Kendala Pelaksanaan Hukum Lingkungan
Persoalan
lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan
buah simalakama. Satu sisi terdapat
tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi
lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam
melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.
Upaya
memupuk disiplin lingkungan dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai
solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak. Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban
memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran
serta perusakan lingkungan hidup.
Karena
itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti
pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas
baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum,
sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun
pidana. Hingga kini problem lingkungan
terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era
reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi.
Dalam
rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap
lingkungan, khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat, maka
penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan.
Selain
itu upaya menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah
kendala seperti:
1. Masih terdapat perbedaan persepsi
antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan
perundang-undangan yang ada.
2. Biaya untuk menangani penyelesaian
kasus lingkungan hidup terbatas.
3. Membuktikan telah terjadi pencemaran
atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.
Era
reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai
keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan. Kedepan, perlu exit strategy sebagai solusi penting
yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan
hidup.
1. Mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi
antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2. Asanya sanksi yang memadai
(enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai
dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak
hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan usaha/industri
yang nakal.
3. Adanya partisipasi publik,
transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup patut ditingkatkan.
Pengelolaan
lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan
masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang
mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan
sehat. Untuk itu, sudah saatnya
penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan
diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan
baik.
Hakekat
hukum lingkungan secara sederhana adalah seperangkat aturan yang mengatur
tatanan lingkungan dalam hal ini lingkungan hidup dimana lingkungan dapat
diartikan sebagai semua benda dan kondisi yang dapat mempengaruhi kelangsungan
hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam
perkembangannya hukum lingkungan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu hukum
lingkungan modern dan juga hukum lingkungan klasik.
Bentuk
penegakan hukum lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama
penegakan melalui istrumen administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan
permasalahan dan juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan
lingkungan hidup adalah penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang mana
kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan
sendiri sendiri.
Hukum
lingkungan diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka menjaga supaya lingkungan dan
sumber daya alam dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi kemampuan
lingkungan itu sendiri.
Kendala
di dalam penegakan dan juga pengimplementasian hukum lingkungan antara lain antara
adalah perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan
memaknai peraturan perundang-undangan yang ada, biaya untuk menangani
penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas, membuktikan telah terjadi
pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah, dan yang
terakhir adalah kurangnya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
III.
PEMBAHASAN
3.1.
Contoh Kasus
Pada kesempatan kali ini penulis
mengangkat kasus tentang limbah cair industri tekstil kali citarum yang penulis
ambil dari harian Kompas Jumat, 26 April 2013 13:14 WIB dengan judul berita “DAS
Citarum di Ambang Malapetaka Lingkungan” berikut berita tersebut :
“Malapetaka lingkungan tengah berlangsung
di Daerah Aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Ratusan ribu warga yang tinggal di
kawasan ini menderita karena menjadi langganan banjir di musim hujan dan
kekurangan air di musim kemarau.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.
Bertahun-tahun hampir semua pabrik tekstil di Majalaya
membuang langsung limbah beracunnya ke Citarum. Padahal, sungai ini masih
dipakai untuk keperluan air minum bagi warga di hilir, termasuk 80 persen warga
DKI Jakarta.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.
Sampai
kini Sungai Citarum masih tercemar. ”Kondisi ini berlangsung lama dan dibiarkan
merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitarnya,” ujar Direktur Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Dadan Ramdan.
Susut 62.000 hektar
Komunitas Elingan, yang
bergerak di bidang pelestarian lingkungan, mencatat dalam sembilan tahun ini
lahan hutan di DAS Citarum menyusut 86 persen, dari 72.000 hektar tahun 2000 menjadi
9.900 hektar tahun 2009. Pada periode yang sama, luas kawasan permukiman di
sekitar DAS Citarum meningkat 115 persen dari 81.7000 hektar jadi 176.000
hektar.
Tahun 2012, lahan kritis
mencapai 20 persen dari luas DAS Citarum sekitar 718.000 hektar. Seluas 144.000
hektar di antaranya adalah lahan rusak. Hingga saat ini setiap tahun ada 95 ton
tanah per hektar terbawa erosi ke DAS Citarum. Padahal, dalam kaidah
lingkungan, tingkat erosi yang ditoleransi hanya sekitar 15 ton per hektar per
tahun.
Ketua Umum Badan Musyawarah
Masyarakat Sunda Syarif Bastaman menambahkan, beberapa ikan endemik telah punah
dari Sungai Citarum. (dmu)
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
yunan
3.2.
Analisa
Kasus
Aspek
Hukum Perlindungan kawasan industri di Jawa Barat dari “Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan
untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum” (Pasal 1 ayat 2 UU 32 Tahun
2009).
Secara
umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (Sustainability) dalam pemanfaatan. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk
berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu,
permasalahan, peluang dan tantangan.
Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU 32 Tahun 2009
seperti terlihat dalam Pasal 20 ayat 3 UUPLH disebutkan :
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan
hidup dengan persyaratan:
1. Memenuhi
baku mutu lingkungan hidup;
2. Mendapat
izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Kasus pencemaran oleh kawasan industri di Jawa Barat ini memang belum
ada upaya hukum yang dilakukan. Hal ini
dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal pengawasan serta belum adanya
keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini, walupun mereka merasakan
dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.
Masyarakat ataupun LSM sebenarnya dapat mengajukan upaya hukum dalam
menyelesaikan kasus ini yaitu penegakkan hukum lingkungan dalam kaitannya
dengan hukum perdata.
3.3.
Sanksi Perdata
Ketentuan
hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam
pasal 87 ayat 1 “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti
rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
1.
Kesalahan
Industri Tekstil di Sekitar Kali citarum
Kesalahan
yang dilakukan oleh industri tekstil yang ada disekitaran kali Citarum adalah
tidak memberlakukannya dan/atau menjalankan IPAL dengan baik dan benar. Air
limbah yang dihasilkan dibuang langsung kebadan sungai tanpa melalui proses
terlebih dahulu. Sampah padat yang
dihasilkan juga tidak dibuang ketempat pembuangan akhir, melainkan langsung
kedalam Waduk Saguling.
2.
Kerugian
Warga di Sekitar Kali Citarum
Limbah-limbah yang keluar dari
industri-industri yang ada tidak diolah terlebih dahulu, sehingga air limbah yang
terkategorikan sebagai zat-zat berbahaya dan beracun (B3) mengalir bebas dialiran
sungai yang biasa dipakai oleh warga untuk keperluan sehari-sehari. Limbah
padat yang dihasilkan pun menyebabkan kerugian untuk masyarakat sekitar
terutama jika terjadi hujan lebat. Jika
hujan lebat terjadi dalam waktu yang lama maka sampah yang menumpuk di Waduk
Saguling akan menyebabkan banjir.
Rakyat, dalam hal ini lebih banyak
sebagai korban terutama yang bersentuhan langsung dengan kawasan dimana terjadi
pencemaran yang dilakukan oleh pihak pengusaha. Hal inilah yang dialami warga
seputaran kali Citarum. Kondisi seperti
ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga
sekitar tanpa adanya tindak lanjut dari pemerintah.
3.
Kaitannya dengan Hukum Perdata
Dalam kasus kali ini masyarakat
sekitar kali Citarum dapat melakukan gugatan diluar pengadilan atau gugatan Class Action yaitu mengajukan sejumlah
orang sebagai perwakilan kelas (Class
Repesentatif) untuk meminta ganti rugi kepada industri-industri yang
melakukan pencemaran. Bentuk ganti rugi
yang bisa diminta adalah :
A. Memberikan sejumlah biaya atau
pengobatan untuk korban-korban yang menderita penyakit tertentu yang
diakibatkan oleh air limbah yang mengalir diseputaran kali Citarum.
B. Memberikan fasilitas air bersih
untuk keperluan domestik.
C. Memperbaiki dan menggunakan
Instalasai Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan tepat dan semestinya.
D. Membuang limbah padat langsung ke
Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
IV.
PENUTUP
4.1.
Simpulan
1. Hukum
yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.
2. Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk
persoalan-persoalan lingkungan.
3. Hukum lingkungan perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara
orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu
dengan subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan
perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk
mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk
memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
4. Pengelolaan lingkungan hidup akan
terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
5. Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang
mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar
lebih efisien.
4.2.
Saran
1. Industri
tekstil yang ada disekitar kali Citarum haruslah menjalankan industrinya dengan
tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.
2. Perlu
diadakannya sebuah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada setiap industri
agar dapat meminimalisasi buangan yang diduga berpotensi mencemari lingkungan.
3. Penanganan
limbah dengan end of pipe treatment pada industri
tekstil dirasa kurang tepat, hal ini disebabkan karena penanganan dengan cara
tersebut hanya mengubah bentuk limbah dari suatu bentuk kebentuk lainnya.
4. Industri
tekstil haruslah benar-benar sadar akan limbah yang dihasilkan dari
pengolahannya sehingga instalasi pengolahan limbahnya dapat dijalankan dengan
semestinya. I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pembangunan nasional yang telah
dilaksanakan selama ini telah menunjukan kemajuan di berbagai bidang kehidupan
masyarakat, meliputi bidang sosial, budaya dan kehidupan beragama, ekonomi,
ilmu politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan,
hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan
prasarana, serta pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.
Banyak kemajuan yang telah dicapai,
tetapi disamping itu masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum
sepenuhnya terselesaikan. Tantangan atau
masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, diantaranya adalah masalah
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagai efek samping dari berjalannya
proses perundangan. Pencemaran dan
kerusakan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan ini diprediksi akan terus berlanjut. Seperti yang dikatakan oleh Otto Soemrawoto
“Masyarakat Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa lingkungan hidup berlawanan
dengan pembangunan. Mengingat kita masih melarat, pembangunan harus didahulukan
dari lingkungan hidup, dalam pemerintahan pun lingkungan hanya menempati tempat
yang marjinal”.
Berbagai kasus pencemaran dan
kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai efek samping dari proses pembangunan
adalah kerusakan sumber daya hutan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar
dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya
tuntutan lahan dan sumber daya hutan yang yang tidak pada tempatnya, serta
meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin. Pencemaran air, udara dan tanah juga
merupakan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai
akibat pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang mempertahankan aspek
kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Persoalan pencemaran lingkungan
dapat dilihat dari berbagai aspek lingkungan yang merupakan sarana untuk
penyelesaiannya. Pencemaran kerusakan lingkungan dapat diselesaikan melalui
aspek medik, planalogis, teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum.
Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.
Persoalan
lingkungan hidup pada dasarnya adalah persoalan semua orang, dan sudah
seyogyanya gerakan-gerakan kesadaran yang coba dibangun untuk memulihkan
kondisi lingkungan ke arah yang lebih baik adalah satu keharusan, dengan
mengambil peran apapun yang bisa dilakukan oleh semua pihak untuk melakukan
perbaikan terhadap kerusakan lingkungan hidup disekitarnya.
UUD
1945 yang pada pasal 1 secara jelas menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan
rakyat. Jadi merupakan wewenang rakyat untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan
lingkungan hidup di Indonesia. Pasal 28H ayat (1) yang menentukan “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkugnan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”.
Hukum lingkungan adalah
instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Prespektif hukum lingkungan, penuntasan
kasus-kasus pencemaran lingkungan mencakup 3 (tiga) bidang sekaligus, yaitu
hukum lingkungan administratif, hukum lingkunga keperdataan, hukum lingkungan
kepidanaan sebagai konsekuensi logis kedudukan hukum lingkungan sebagai hukum
fungsional.
1.2.
Rumusan Masalah
Keberadaan limbah yang dihasilkan
oleh pembangunan dinilai dapat menimbulkan dampak buruk kelingkungan
sekitar. Oleh karena itu, limbah yang
dihasilkan didesak untuk menerapkan standardisasi pengolahan limbah yang ramah
lingkungan.
1.3.
Tujuan
1. Memberikan
informasi mengenai hukum lingkungan perdata.
2. Memberikan
informasi sanksi mengenai pencemaran yang ditimbulkan dari suatu usaha dan/atau
kegiatan yang ditinjau melalui aspek hukum lingkungan perdata.
1.4.
Metode Penulisan
Pada pembuatan laporan Tugas
Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum
Perdata ini metode yang digunakan penulis adalah dengan studi literatur.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Hukum Lingkungan
Hukum
lingkungan menurut Lal Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson adalah
“Seperangkat aturan hukum yang memuat
tentang pengendalian dampak manusia
terhadap bumi dan kesehatan publik”. Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya
luas yang mencakup hukum yang secara khusus
menunjuk persoalan-persoalan lingkungan
dan secara umum hukum yang secara langsung
menunjuk pada dampak atas
persoalan-persoalan lingkungan.
UNEP mendefinisikan
hukum lingkungan adalah “Seperangkat aturan hukum yang berisi unsur-unsur untuk mengendalikan dampak manusia terhadap
lingkungan. A.B. Blomberg, A.A..J. de Gier dan J. Robbe memberikan definisi hukum lingkungan sebagai berikut hukum lingkungan
secara umum dipahami
sebagai hukum yang
melindungi kualitas lingkungan
dan hukum konservasi alam.
Siti
Sundari Rangkuti menyatakan bahwa dari substansi hukum yang merupakan materi hukum lingkungan, maka mata kuliah hukum lingkungan digolongkan kedalam mata kuliah hukum fungsional (Functionele Rechtsvakken), yaitu mengandung terobosan antara
berbagai disiplin hukum klasik.
Substansi
hukum lingkungan menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan
administratif, hukum lingkungan keperdataan, hukum
lingkungan kepidanaan. Hukum lingkungan
internasional yang sudah berkembang menjadi
disiplin ilmu hukum tersendiri
dan hukum tata ruang. Dengan
demikian, hukum lingkungan tidak merupakan bagian hukum publik ataupun bagian dari hukum
privat, namun mencakup hukum publik
dan hukum prifat sekaligus.
Hukum lingkungan adalah hukum fungsional yang mengandung
aspek hukum publik dan aspek hukum privat. Dalam kepustakaan hukum lingkungan dan ilmu lingkungan dapat ditemukan berbagai pandangan para pakar hukum lingkungan dan ilmu lingkungan mengenai pengertian pencemaran
lingkungan, namun dalam penelitian
ini pengertian pencemaran lingkungan mengacu kepada Pasal 1 ayat 14
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal 1 ayat 14 UU PPLH mendefinisikan pencemaran lingkungan sebagai berikut “Pencemaran lingkungan hidup
adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang
telah ditetapkan”.
Pencemaran
lingkungan menurut UU PPLH
hanya meliputi pencemaran lingkungan yang disebabkan karena kegiatan manusia, tidak
termasuk didalamnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh alam, misalnya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darus Salam, meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta dan
hujan debu dari Gunung Semeru di Jawa Timur. Pengertian kasus pencemaran lingkungan dalam tulisan ini adalah
terbatas pada kasus
pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dan tidak mencakup di dalamnya mengenai pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam.
2.2. Sejarah Perkembangan Lingkungan
Masalah
lingkungan dapat ditinjau dari aspek medik, planologis teknologis, teknik
lingkungan, ekonomi dan hukum.
Sebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari Rangkut “Perkembangan hukum
lingkungan tidak dipisahkan dengan gerakan sedunia yang memberikan perhatian
besarnya tentang lingkungan hidup”.
Konfrensi
PBB tentang lingkungan hidup, telah diadakan di Stockholm pada Tahun 1972,
Konferensi Stockholm membahas masalah lingkungan dan jalan keluarnya, agar
pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (Eco-Development), dan kapasitas
lingkungan yang ada. Pada tahun 1983 PBB
membentuk komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commission on Environment and
Development (WCED).
PBB
pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi mengenai masalah lingkungan dan
pembangunan The United Nations Conference
on Environment and Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil
pada tanggal 3-14 Juni Tahun 1992. Indonesia
pertama kali lingkungan hidup masuk dalam GBHN tahun 1993 BAB III huruf B ayat
(10) dengan Tap MPR RI No.IV/MPR/1993 dan dijabarkan dalam REPELITA II
(1994-1997) dalam Buku III bab 27, tentang Pembinaan Hukum Nasional.
Semakin
maju perkembangan ilmu dan teknologi serta peningkatan ekonomi dan modal,
terutama penanaman modal dalam negeri dan modal asing, melalui sektor kehutanan
dan pertambangan lahirnya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal dan UU
No.6 Tahun 1967 tentang Penanamn Modal Dalam Negeri. Ini sudah memuat pemikiran tentang pengaturan
lingkungan. Kemudian terjadi peristiwa
pencemaran lingkungan berupa minyak akibat kandasnya kapal ”Showa Maru” di
Selat Malaka.
Dari
hal tersebut diselenggarakan lokakarya tentang segi-segi hukum dari pengelolaan
lingkungan hidup oleh depertemen dan perguruan tinggi. Indonesia meratifikasi Konvensi IMCO tentang
Pencemaran Laut oleh Minyak Bumi dari kapal, yang diimplemantasikan dengan
Keppres No.18 Tahun 1978 tentang Civil
Liability Convention dan Keppres No. 19 Tahun 1978 tentang Internasional Fund Convention 1971. Pada tahun 1978 dibentuk kantor menteri
negara PPLH, salah tugas membuat RUU lingkungan Hidup. Kemudian lahirnya UU No.4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pengeloan Lingkungan Hidup, diganti UU No.23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diganti lagi UU No.32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2.3. Hukum Lingkungan Keperdataan
Pengertian
Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli adalah "Rangkaian peraturan hukum yang
mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara
subyek hukum yang satu dengan subyek yang lain, dengan menitikberatkan pada
kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam
kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau dalam usaha
untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya."
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum
bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan
sengketa lingkungan
di peradilan umum untuk memperoleh ganti kerugian. Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai
gugatan ganti kerugian atas dasar
perbuatan melawan hukum di bidang hukum
lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran lingkungan.
Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian
sengketa lingkungan menurut UU PPLH diatur dalam Pasal 84 yang menetapkan:
1. Penyelesaian
sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau
di luar pengadilan.
2. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
3. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa
Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) UU PPLH, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih secara sukarela oleh
para pihak yang bersengketa. Dengan ketentuan
demikian para pihak diberi kebebasan untuk
memilih mekanisme penyelesaian
sengketa lingkungan baik melalui pengadilan
atau melalui luar pengadilan.
Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum tertuang dalam Pasal 87 yang selangkapnya menyatakan sebagai berikut:
1.
Setiap
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang
melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu
2.
Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk
usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak
melepaskan tanggungjawab hukum
dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3.
Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap
hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4.
Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 87
ayat (1) UU
PPLH, agar dapat
diajukan gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur :
1.
Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan
2.
Melakukan perbuatan melanggar hukum
3.
Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
4.
Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;
5.
Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar
ganti rugi dan/atau
melakukan tindakan tertentu;
Dasar
pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan
kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih
yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan
sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan
fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.
Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih
yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok
orang yang lebih banyak jumlahnya.
Class Action pada intinya adalah gugatan perdata
(biasanya terkait dengan permintaan injuntction
atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan kelas
(Class Repesentatif) mewakili
kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang
lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili
tersebut diistilahkan sebagai class
members.
Class action bisa merupakan suatu metode bagi
orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama
mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta
dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan. Hal ini berarti bahwa kegunaan class action secara mendasar antara lain
adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan
yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam
perkara yang sama.
Setiap
warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan berhak untuk membela
hak-nya apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar
pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan perdata
ada dua macam yaitu :
1. Gugatan yang dilakukan di luar
pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi
2. Gugatan yang dilakukan melalui
peradilan disebut litigasi.
Gugatan
perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara :
1. Oleh orang yang bersangkutan atau
ahli warisnya.
2. Sekelompok orang yang mempunyai
kepentingan yang sama (Class Action).
2.4.
Kendala Pelaksanaan Hukum Lingkungan
Persoalan
lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan
buah simalakama. Satu sisi terdapat
tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi
lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam
melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.
Upaya
memupuk disiplin lingkungan dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai
solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak. Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban
memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran
serta perusakan lingkungan hidup.
Karena
itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti
pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas
baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum,
sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun
pidana. Hingga kini problem lingkungan
terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era
reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi.
Dalam
rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap
lingkungan, khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat, maka
penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan.
Selain
itu upaya menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah
kendala seperti:
1. Masih terdapat perbedaan persepsi
antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan
perundang-undangan yang ada.
2. Biaya untuk menangani penyelesaian
kasus lingkungan hidup terbatas.
3. Membuktikan telah terjadi pencemaran
atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.
Era
reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai
keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan. Kedepan, perlu exit strategy sebagai solusi penting
yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan
hidup.
1. Mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi
antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2. Asanya sanksi yang memadai
(enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai
dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak
hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan usaha/industri
yang nakal.
3. Adanya partisipasi publik,
transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup patut ditingkatkan.
Pengelolaan
lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan
masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang
mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan
sehat. Untuk itu, sudah saatnya
penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan
diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan
baik.
Hakekat
hukum lingkungan secara sederhana adalah seperangkat aturan yang mengatur
tatanan lingkungan dalam hal ini lingkungan hidup dimana lingkungan dapat
diartikan sebagai semua benda dan kondisi yang dapat mempengaruhi kelangsungan
hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam
perkembangannya hukum lingkungan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu hukum
lingkungan modern dan juga hukum lingkungan klasik.
Bentuk
penegakan hukum lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama
penegakan melalui istrumen administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan
permasalahan dan juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan
lingkungan hidup adalah penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang mana
kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan
sendiri sendiri.
Hukum
lingkungan diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka menjaga supaya lingkungan dan
sumber daya alam dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi kemampuan
lingkungan itu sendiri.
Kendala
di dalam penegakan dan juga pengimplementasian hukum lingkungan antara lain antara
adalah perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan
memaknai peraturan perundang-undangan yang ada, biaya untuk menangani
penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas, membuktikan telah terjadi
pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah, dan yang
terakhir adalah kurangnya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
III.
PEMBAHASAN
3.1.
Contoh Kasus
Pada kesempatan kali ini penulis
mengangkat kasus tentang limbah cair industri tekstil kali citarum yang penulis
ambil dari harian Kompas Jumat, 26 April 2013 13:14 WIB dengan judul berita “DAS
Citarum di Ambang Malapetaka Lingkungan” berikut berita tersebut :
“Malapetaka lingkungan tengah berlangsung
di Daerah Aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Ratusan ribu warga yang tinggal di
kawasan ini menderita karena menjadi langganan banjir di musim hujan dan
kekurangan air di musim kemarau.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.
Bertahun-tahun hampir semua pabrik tekstil di Majalaya
membuang langsung limbah beracunnya ke Citarum. Padahal, sungai ini masih
dipakai untuk keperluan air minum bagi warga di hilir, termasuk 80 persen warga
DKI Jakarta.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.
Sampai
kini Sungai Citarum masih tercemar. ”Kondisi ini berlangsung lama dan dibiarkan
merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitarnya,” ujar Direktur Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Dadan Ramdan.
Susut 62.000 hektar
Komunitas Elingan, yang
bergerak di bidang pelestarian lingkungan, mencatat dalam sembilan tahun ini
lahan hutan di DAS Citarum menyusut 86 persen, dari 72.000 hektar tahun 2000 menjadi
9.900 hektar tahun 2009. Pada periode yang sama, luas kawasan permukiman di
sekitar DAS Citarum meningkat 115 persen dari 81.7000 hektar jadi 176.000
hektar.
Tahun 2012, lahan kritis
mencapai 20 persen dari luas DAS Citarum sekitar 718.000 hektar. Seluas 144.000
hektar di antaranya adalah lahan rusak. Hingga saat ini setiap tahun ada 95 ton
tanah per hektar terbawa erosi ke DAS Citarum. Padahal, dalam kaidah
lingkungan, tingkat erosi yang ditoleransi hanya sekitar 15 ton per hektar per
tahun.
Ketua Umum Badan Musyawarah
Masyarakat Sunda Syarif Bastaman menambahkan, beberapa ikan endemik telah punah
dari Sungai Citarum. (dmu)
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
yunan
3.2.
Analisa
Kasus
Aspek
Hukum Perlindungan kawasan industri di Jawa Barat dari “Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan
untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum” (Pasal 1 ayat 2 UU 32 Tahun
2009).
Secara
umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (Sustainability) dalam pemanfaatan. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk
berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu,
permasalahan, peluang dan tantangan.
Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU 32 Tahun 2009
seperti terlihat dalam Pasal 20 ayat 3 UUPLH disebutkan :
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan
hidup dengan persyaratan:
1. Memenuhi
baku mutu lingkungan hidup;
2. Mendapat
izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Kasus pencemaran oleh kawasan industri di Jawa Barat ini memang belum
ada upaya hukum yang dilakukan. Hal ini
dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal pengawasan serta belum adanya
keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini, walupun mereka merasakan
dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.
Masyarakat ataupun LSM sebenarnya dapat mengajukan upaya hukum dalam
menyelesaikan kasus ini yaitu penegakkan hukum lingkungan dalam kaitannya
dengan hukum perdata.
3.3.
Sanksi Perdata
Ketentuan
hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam
pasal 87 ayat 1 “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti
rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
1.
Kesalahan
Industri Tekstil di Sekitar Kali citarum
Kesalahan
yang dilakukan oleh industri tekstil yang ada disekitaran kali Citarum adalah
tidak memberlakukannya dan/atau menjalankan IPAL dengan baik dan benar. Air
limbah yang dihasilkan dibuang langsung kebadan sungai tanpa melalui proses
terlebih dahulu. Sampah padat yang
dihasilkan juga tidak dibuang ketempat pembuangan akhir, melainkan langsung
kedalam Waduk Saguling.
2.
Kerugian
Warga di Sekitar Kali Citarum
Limbah-limbah yang keluar dari
industri-industri yang ada tidak diolah terlebih dahulu, sehingga air limbah yang
terkategorikan sebagai zat-zat berbahaya dan beracun (B3) mengalir bebas dialiran
sungai yang biasa dipakai oleh warga untuk keperluan sehari-sehari. Limbah
padat yang dihasilkan pun menyebabkan kerugian untuk masyarakat sekitar
terutama jika terjadi hujan lebat. Jika
hujan lebat terjadi dalam waktu yang lama maka sampah yang menumpuk di Waduk
Saguling akan menyebabkan banjir.
Rakyat, dalam hal ini lebih banyak
sebagai korban terutama yang bersentuhan langsung dengan kawasan dimana terjadi
pencemaran yang dilakukan oleh pihak pengusaha. Hal inilah yang dialami warga
seputaran kali Citarum. Kondisi seperti
ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga
sekitar tanpa adanya tindak lanjut dari pemerintah.
3.
Kaitannya dengan Hukum Perdata
Dalam kasus kali ini masyarakat
sekitar kali Citarum dapat melakukan gugatan diluar pengadilan atau gugatan Class Action yaitu mengajukan sejumlah
orang sebagai perwakilan kelas (Class
Repesentatif) untuk meminta ganti rugi kepada industri-industri yang
melakukan pencemaran. Bentuk ganti rugi
yang bisa diminta adalah :
A. Memberikan sejumlah biaya atau
pengobatan untuk korban-korban yang menderita penyakit tertentu yang
diakibatkan oleh air limbah yang mengalir diseputaran kali Citarum.
B. Memberikan fasilitas air bersih
untuk keperluan domestik.
C. Memperbaiki dan menggunakan
Instalasai Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan tepat dan semestinya.
D. Membuang limbah padat langsung ke
Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
IV.
PENUTUP
4.1.
Simpulan
1. Hukum
yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.
2. Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk
persoalan-persoalan lingkungan.
3. Hukum lingkungan perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara
orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu
dengan subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan
perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk
mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk
memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
4. Pengelolaan lingkungan hidup akan
terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
5. Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang
mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar
lebih efisien.
4.2.
Saran
1. Industri
tekstil yang ada disekitar kali Citarum haruslah menjalankan industrinya dengan
tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.
2. Perlu
diadakannya sebuah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada setiap industri
agar dapat meminimalisasi buangan yang diduga berpotensi mencemari lingkungan.
3. Penanganan
limbah dengan end of pipe treatment pada industri
tekstil dirasa kurang tepat, hal ini disebabkan karena penanganan dengan cara
tersebut hanya mengubah bentuk limbah dari suatu bentuk kebentuk lainnya.
4. Industri
tekstil haruslah benar-benar sadar akan limbah yang dihasilkan dari
pengolahannya sehingga instalasi pengolahan limbahnya dapat dijalankan dengan
semestinya. I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pembangunan nasional yang telah
dilaksanakan selama ini telah menunjukan kemajuan di berbagai bidang kehidupan
masyarakat, meliputi bidang sosial, budaya dan kehidupan beragama, ekonomi,
ilmu politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan,
hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan
prasarana, serta pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.
Banyak kemajuan yang telah dicapai,
tetapi disamping itu masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum
sepenuhnya terselesaikan. Tantangan atau
masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, diantaranya adalah masalah
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagai efek samping dari berjalannya
proses perundangan. Pencemaran dan
kerusakan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan ini diprediksi akan terus berlanjut. Seperti yang dikatakan oleh Otto Soemrawoto
“Masyarakat Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa lingkungan hidup berlawanan
dengan pembangunan. Mengingat kita masih melarat, pembangunan harus didahulukan
dari lingkungan hidup, dalam pemerintahan pun lingkungan hanya menempati tempat
yang marjinal”.
Berbagai kasus pencemaran dan
kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai efek samping dari proses pembangunan
adalah kerusakan sumber daya hutan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar
dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya
tuntutan lahan dan sumber daya hutan yang yang tidak pada tempatnya, serta
meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin. Pencemaran air, udara dan tanah juga
merupakan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai
akibat pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang mempertahankan aspek
kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Persoalan pencemaran lingkungan
dapat dilihat dari berbagai aspek lingkungan yang merupakan sarana untuk
penyelesaiannya. Pencemaran kerusakan lingkungan dapat diselesaikan melalui
aspek medik, planalogis, teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum.
Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.
Persoalan
lingkungan hidup pada dasarnya adalah persoalan semua orang, dan sudah
seyogyanya gerakan-gerakan kesadaran yang coba dibangun untuk memulihkan
kondisi lingkungan ke arah yang lebih baik adalah satu keharusan, dengan
mengambil peran apapun yang bisa dilakukan oleh semua pihak untuk melakukan
perbaikan terhadap kerusakan lingkungan hidup disekitarnya.
UUD
1945 yang pada pasal 1 secara jelas menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan
rakyat. Jadi merupakan wewenang rakyat untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan
lingkungan hidup di Indonesia. Pasal 28H ayat (1) yang menentukan “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkugnan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”.
Hukum lingkungan adalah
instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Prespektif hukum lingkungan, penuntasan
kasus-kasus pencemaran lingkungan mencakup 3 (tiga) bidang sekaligus, yaitu
hukum lingkungan administratif, hukum lingkunga keperdataan, hukum lingkungan
kepidanaan sebagai konsekuensi logis kedudukan hukum lingkungan sebagai hukum
fungsional.
1.2.
Rumusan Masalah
Keberadaan limbah yang dihasilkan
oleh pembangunan dinilai dapat menimbulkan dampak buruk kelingkungan
sekitar. Oleh karena itu, limbah yang
dihasilkan didesak untuk menerapkan standardisasi pengolahan limbah yang ramah
lingkungan.
1.3.
Tujuan
1. Memberikan
informasi mengenai hukum lingkungan perdata.
2. Memberikan
informasi sanksi mengenai pencemaran yang ditimbulkan dari suatu usaha dan/atau
kegiatan yang ditinjau melalui aspek hukum lingkungan perdata.
1.4.
Metode Penulisan
Pada pembuatan laporan Tugas
Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum
Perdata ini metode yang digunakan penulis adalah dengan studi literatur.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Hukum Lingkungan
Hukum
lingkungan menurut Lal Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson adalah
“Seperangkat aturan hukum yang memuat
tentang pengendalian dampak manusia
terhadap bumi dan kesehatan publik”. Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya
luas yang mencakup hukum yang secara khusus
menunjuk persoalan-persoalan lingkungan
dan secara umum hukum yang secara langsung
menunjuk pada dampak atas
persoalan-persoalan lingkungan.
UNEP mendefinisikan
hukum lingkungan adalah “Seperangkat aturan hukum yang berisi unsur-unsur untuk mengendalikan dampak manusia terhadap
lingkungan. A.B. Blomberg, A.A..J. de Gier dan J. Robbe memberikan definisi hukum lingkungan sebagai berikut hukum lingkungan
secara umum dipahami
sebagai hukum yang
melindungi kualitas lingkungan
dan hukum konservasi alam.
Siti
Sundari Rangkuti menyatakan bahwa dari substansi hukum yang merupakan materi hukum lingkungan, maka mata kuliah hukum lingkungan digolongkan kedalam mata kuliah hukum fungsional (Functionele Rechtsvakken), yaitu mengandung terobosan antara
berbagai disiplin hukum klasik.
Substansi
hukum lingkungan menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan
administratif, hukum lingkungan keperdataan, hukum
lingkungan kepidanaan. Hukum lingkungan
internasional yang sudah berkembang menjadi
disiplin ilmu hukum tersendiri
dan hukum tata ruang. Dengan
demikian, hukum lingkungan tidak merupakan bagian hukum publik ataupun bagian dari hukum
privat, namun mencakup hukum publik
dan hukum prifat sekaligus.
Hukum lingkungan adalah hukum fungsional yang mengandung
aspek hukum publik dan aspek hukum privat. Dalam kepustakaan hukum lingkungan dan ilmu lingkungan dapat ditemukan berbagai pandangan para pakar hukum lingkungan dan ilmu lingkungan mengenai pengertian pencemaran
lingkungan, namun dalam penelitian
ini pengertian pencemaran lingkungan mengacu kepada Pasal 1 ayat 14
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal 1 ayat 14 UU PPLH mendefinisikan pencemaran lingkungan sebagai berikut “Pencemaran lingkungan hidup
adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang
telah ditetapkan”.
Pencemaran
lingkungan menurut UU PPLH
hanya meliputi pencemaran lingkungan yang disebabkan karena kegiatan manusia, tidak
termasuk didalamnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh alam, misalnya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darus Salam, meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta dan
hujan debu dari Gunung Semeru di Jawa Timur. Pengertian kasus pencemaran lingkungan dalam tulisan ini adalah
terbatas pada kasus
pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dan tidak mencakup di dalamnya mengenai pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam.
2.2. Sejarah Perkembangan Lingkungan
Masalah
lingkungan dapat ditinjau dari aspek medik, planologis teknologis, teknik
lingkungan, ekonomi dan hukum.
Sebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari Rangkut “Perkembangan hukum
lingkungan tidak dipisahkan dengan gerakan sedunia yang memberikan perhatian
besarnya tentang lingkungan hidup”.
Konfrensi
PBB tentang lingkungan hidup, telah diadakan di Stockholm pada Tahun 1972,
Konferensi Stockholm membahas masalah lingkungan dan jalan keluarnya, agar
pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (Eco-Development), dan kapasitas
lingkungan yang ada. Pada tahun 1983 PBB
membentuk komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commission on Environment and
Development (WCED).
PBB
pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi mengenai masalah lingkungan dan
pembangunan The United Nations Conference
on Environment and Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil
pada tanggal 3-14 Juni Tahun 1992. Indonesia
pertama kali lingkungan hidup masuk dalam GBHN tahun 1993 BAB III huruf B ayat
(10) dengan Tap MPR RI No.IV/MPR/1993 dan dijabarkan dalam REPELITA II
(1994-1997) dalam Buku III bab 27, tentang Pembinaan Hukum Nasional.
Semakin
maju perkembangan ilmu dan teknologi serta peningkatan ekonomi dan modal,
terutama penanaman modal dalam negeri dan modal asing, melalui sektor kehutanan
dan pertambangan lahirnya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal dan UU
No.6 Tahun 1967 tentang Penanamn Modal Dalam Negeri. Ini sudah memuat pemikiran tentang pengaturan
lingkungan. Kemudian terjadi peristiwa
pencemaran lingkungan berupa minyak akibat kandasnya kapal ”Showa Maru” di
Selat Malaka.
Dari
hal tersebut diselenggarakan lokakarya tentang segi-segi hukum dari pengelolaan
lingkungan hidup oleh depertemen dan perguruan tinggi. Indonesia meratifikasi Konvensi IMCO tentang
Pencemaran Laut oleh Minyak Bumi dari kapal, yang diimplemantasikan dengan
Keppres No.18 Tahun 1978 tentang Civil
Liability Convention dan Keppres No. 19 Tahun 1978 tentang Internasional Fund Convention 1971. Pada tahun 1978 dibentuk kantor menteri
negara PPLH, salah tugas membuat RUU lingkungan Hidup. Kemudian lahirnya UU No.4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pengeloan Lingkungan Hidup, diganti UU No.23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diganti lagi UU No.32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2.3. Hukum Lingkungan Keperdataan
Pengertian
Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli adalah "Rangkaian peraturan hukum yang
mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara
subyek hukum yang satu dengan subyek yang lain, dengan menitikberatkan pada
kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam
kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau dalam usaha
untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya."
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum
bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan
sengketa lingkungan
di peradilan umum untuk memperoleh ganti kerugian. Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai
gugatan ganti kerugian atas dasar
perbuatan melawan hukum di bidang hukum
lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran lingkungan.
Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian
sengketa lingkungan menurut UU PPLH diatur dalam Pasal 84 yang menetapkan:
1. Penyelesaian
sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau
di luar pengadilan.
2. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
3. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa
Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) UU PPLH, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih secara sukarela oleh
para pihak yang bersengketa. Dengan ketentuan
demikian para pihak diberi kebebasan untuk
memilih mekanisme penyelesaian
sengketa lingkungan baik melalui pengadilan
atau melalui luar pengadilan.
Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum tertuang dalam Pasal 87 yang selangkapnya menyatakan sebagai berikut:
1.
Setiap
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang
melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu
2.
Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk
usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak
melepaskan tanggungjawab hukum
dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3.
Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap
hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4.
Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 87
ayat (1) UU
PPLH, agar dapat
diajukan gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur :
1.
Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan
2.
Melakukan perbuatan melanggar hukum
3.
Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
4.
Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;
5.
Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar
ganti rugi dan/atau
melakukan tindakan tertentu;
Dasar
pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan
kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih
yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan
sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan
fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.
Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih
yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok
orang yang lebih banyak jumlahnya.
Class Action pada intinya adalah gugatan perdata
(biasanya terkait dengan permintaan injuntction
atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan kelas
(Class Repesentatif) mewakili
kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang
lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili
tersebut diistilahkan sebagai class
members.
Class action bisa merupakan suatu metode bagi
orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama
mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta
dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan. Hal ini berarti bahwa kegunaan class action secara mendasar antara lain
adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan
yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam
perkara yang sama.
Setiap
warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan berhak untuk membela
hak-nya apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar
pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan perdata
ada dua macam yaitu :
1. Gugatan yang dilakukan di luar
pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi
2. Gugatan yang dilakukan melalui
peradilan disebut litigasi.
Gugatan
perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara :
1. Oleh orang yang bersangkutan atau
ahli warisnya.
2. Sekelompok orang yang mempunyai
kepentingan yang sama (Class Action).
2.4.
Kendala Pelaksanaan Hukum Lingkungan
Persoalan
lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan
buah simalakama. Satu sisi terdapat
tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi
lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam
melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.
Upaya
memupuk disiplin lingkungan dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai
solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak. Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban
memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran
serta perusakan lingkungan hidup.
Karena
itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti
pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas
baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum,
sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun
pidana. Hingga kini problem lingkungan
terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era
reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi.
Dalam
rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap
lingkungan, khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat, maka
penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan.
Selain
itu upaya menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah
kendala seperti:
1. Masih terdapat perbedaan persepsi
antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan
perundang-undangan yang ada.
2. Biaya untuk menangani penyelesaian
kasus lingkungan hidup terbatas.
3. Membuktikan telah terjadi pencemaran
atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.
Era
reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai
keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan. Kedepan, perlu exit strategy sebagai solusi penting
yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan
hidup.
1. Mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi
antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2. Asanya sanksi yang memadai
(enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai
dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak
hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan usaha/industri
yang nakal.
3. Adanya partisipasi publik,
transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup patut ditingkatkan.
Pengelolaan
lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan
masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang
mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan
sehat. Untuk itu, sudah saatnya
penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan
diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan
baik.
Hakekat
hukum lingkungan secara sederhana adalah seperangkat aturan yang mengatur
tatanan lingkungan dalam hal ini lingkungan hidup dimana lingkungan dapat
diartikan sebagai semua benda dan kondisi yang dapat mempengaruhi kelangsungan
hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam
perkembangannya hukum lingkungan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu hukum
lingkungan modern dan juga hukum lingkungan klasik.
Bentuk
penegakan hukum lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama
penegakan melalui istrumen administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan
permasalahan dan juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan
lingkungan hidup adalah penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang mana
kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan
sendiri sendiri.
Hukum
lingkungan diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka menjaga supaya lingkungan dan
sumber daya alam dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi kemampuan
lingkungan itu sendiri.
Kendala
di dalam penegakan dan juga pengimplementasian hukum lingkungan antara lain antara
adalah perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan
memaknai peraturan perundang-undangan yang ada, biaya untuk menangani
penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas, membuktikan telah terjadi
pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah, dan yang
terakhir adalah kurangnya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
III.
PEMBAHASAN
3.1.
Contoh Kasus
Pada kesempatan kali ini penulis
mengangkat kasus tentang limbah cair industri tekstil kali citarum yang penulis
ambil dari harian Kompas Jumat, 26 April 2013 13:14 WIB dengan judul berita “DAS
Citarum di Ambang Malapetaka Lingkungan” berikut berita tersebut :
“Malapetaka lingkungan tengah berlangsung
di Daerah Aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Ratusan ribu warga yang tinggal di
kawasan ini menderita karena menjadi langganan banjir di musim hujan dan
kekurangan air di musim kemarau.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.
Bertahun-tahun hampir semua pabrik tekstil di Majalaya
membuang langsung limbah beracunnya ke Citarum. Padahal, sungai ini masih
dipakai untuk keperluan air minum bagi warga di hilir, termasuk 80 persen warga
DKI Jakarta.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.
Sampai
kini Sungai Citarum masih tercemar. ”Kondisi ini berlangsung lama dan dibiarkan
merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitarnya,” ujar Direktur Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Dadan Ramdan.
Susut 62.000 hektar
Komunitas Elingan, yang
bergerak di bidang pelestarian lingkungan, mencatat dalam sembilan tahun ini
lahan hutan di DAS Citarum menyusut 86 persen, dari 72.000 hektar tahun 2000 menjadi
9.900 hektar tahun 2009. Pada periode yang sama, luas kawasan permukiman di
sekitar DAS Citarum meningkat 115 persen dari 81.7000 hektar jadi 176.000
hektar.
Tahun 2012, lahan kritis
mencapai 20 persen dari luas DAS Citarum sekitar 718.000 hektar. Seluas 144.000
hektar di antaranya adalah lahan rusak. Hingga saat ini setiap tahun ada 95 ton
tanah per hektar terbawa erosi ke DAS Citarum. Padahal, dalam kaidah
lingkungan, tingkat erosi yang ditoleransi hanya sekitar 15 ton per hektar per
tahun.
Ketua Umum Badan Musyawarah
Masyarakat Sunda Syarif Bastaman menambahkan, beberapa ikan endemik telah punah
dari Sungai Citarum. (dmu)
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
yunan
3.2.
Analisa
Kasus
Aspek
Hukum Perlindungan kawasan industri di Jawa Barat dari “Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan
untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum” (Pasal 1 ayat 2 UU 32 Tahun
2009).
Secara
umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (Sustainability) dalam pemanfaatan. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk
berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu,
permasalahan, peluang dan tantangan.
Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU 32 Tahun 2009
seperti terlihat dalam Pasal 20 ayat 3 UUPLH disebutkan :
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan
hidup dengan persyaratan:
1. Memenuhi
baku mutu lingkungan hidup;
2. Mendapat
izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Kasus pencemaran oleh kawasan industri di Jawa Barat ini memang belum
ada upaya hukum yang dilakukan. Hal ini
dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal pengawasan serta belum adanya
keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini, walupun mereka merasakan
dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.
Masyarakat ataupun LSM sebenarnya dapat mengajukan upaya hukum dalam
menyelesaikan kasus ini yaitu penegakkan hukum lingkungan dalam kaitannya
dengan hukum perdata.
3.3.
Sanksi Perdata
Ketentuan
hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam
pasal 87 ayat 1 “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti
rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
1.
Kesalahan
Industri Tekstil di Sekitar Kali citarum
Kesalahan
yang dilakukan oleh industri tekstil yang ada disekitaran kali Citarum adalah
tidak memberlakukannya dan/atau menjalankan IPAL dengan baik dan benar. Air
limbah yang dihasilkan dibuang langsung kebadan sungai tanpa melalui proses
terlebih dahulu. Sampah padat yang
dihasilkan juga tidak dibuang ketempat pembuangan akhir, melainkan langsung
kedalam Waduk Saguling.
2.
Kerugian
Warga di Sekitar Kali Citarum
Limbah-limbah yang keluar dari
industri-industri yang ada tidak diolah terlebih dahulu, sehingga air limbah yang
terkategorikan sebagai zat-zat berbahaya dan beracun (B3) mengalir bebas dialiran
sungai yang biasa dipakai oleh warga untuk keperluan sehari-sehari. Limbah
padat yang dihasilkan pun menyebabkan kerugian untuk masyarakat sekitar
terutama jika terjadi hujan lebat. Jika
hujan lebat terjadi dalam waktu yang lama maka sampah yang menumpuk di Waduk
Saguling akan menyebabkan banjir.
Rakyat, dalam hal ini lebih banyak
sebagai korban terutama yang bersentuhan langsung dengan kawasan dimana terjadi
pencemaran yang dilakukan oleh pihak pengusaha. Hal inilah yang dialami warga
seputaran kali Citarum. Kondisi seperti
ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga
sekitar tanpa adanya tindak lanjut dari pemerintah.
3.
Kaitannya dengan Hukum Perdata
Dalam kasus kali ini masyarakat
sekitar kali Citarum dapat melakukan gugatan diluar pengadilan atau gugatan Class Action yaitu mengajukan sejumlah
orang sebagai perwakilan kelas (Class
Repesentatif) untuk meminta ganti rugi kepada industri-industri yang
melakukan pencemaran. Bentuk ganti rugi
yang bisa diminta adalah :
A. Memberikan sejumlah biaya atau
pengobatan untuk korban-korban yang menderita penyakit tertentu yang
diakibatkan oleh air limbah yang mengalir diseputaran kali Citarum.
B. Memberikan fasilitas air bersih
untuk keperluan domestik.
C. Memperbaiki dan menggunakan
Instalasai Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan tepat dan semestinya.
D. Membuang limbah padat langsung ke
Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
IV.
PENUTUP
4.1.
Simpulan
1. Hukum
yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.
2. Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk
persoalan-persoalan lingkungan.
3. Hukum lingkungan perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara
orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu
dengan subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan
perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk
mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk
memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
4. Pengelolaan lingkungan hidup akan
terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
5. Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang
mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar
lebih efisien.
4.2.
Saran
1. Industri
tekstil yang ada disekitar kali Citarum haruslah menjalankan industrinya dengan
tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.
2. Perlu
diadakannya sebuah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada setiap industri
agar dapat meminimalisasi buangan yang diduga berpotensi mencemari lingkungan.
3. Penanganan
limbah dengan end of pipe treatment pada industri
tekstil dirasa kurang tepat, hal ini disebabkan karena penanganan dengan cara
tersebut hanya mengubah bentuk limbah dari suatu bentuk kebentuk lainnya.
4. Industri
tekstil haruslah benar-benar sadar akan limbah yang dihasilkan dari
pengolahannya sehingga instalasi pengolahan limbahnya dapat dijalankan dengan
semestinya. I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pembangunan nasional yang telah
dilaksanakan selama ini telah menunjukan kemajuan di berbagai bidang kehidupan
masyarakat, meliputi bidang sosial, budaya dan kehidupan beragama, ekonomi,
ilmu politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan,
hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan
prasarana, serta pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.
Banyak kemajuan yang telah dicapai,
tetapi disamping itu masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum
sepenuhnya terselesaikan. Tantangan atau
masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, diantaranya adalah masalah
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagai efek samping dari berjalannya
proses perundangan. Pencemaran dan
kerusakan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan ini diprediksi akan terus berlanjut. Seperti yang dikatakan oleh Otto Soemrawoto
“Masyarakat Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa lingkungan hidup berlawanan
dengan pembangunan. Mengingat kita masih melarat, pembangunan harus didahulukan
dari lingkungan hidup, dalam pemerintahan pun lingkungan hanya menempati tempat
yang marjinal”.
Berbagai kasus pencemaran dan
kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai efek samping dari proses pembangunan
adalah kerusakan sumber daya hutan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar
dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya
tuntutan lahan dan sumber daya hutan yang yang tidak pada tempatnya, serta
meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin. Pencemaran air, udara dan tanah juga
merupakan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai
akibat pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang mempertahankan aspek
kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Persoalan pencemaran lingkungan
dapat dilihat dari berbagai aspek lingkungan yang merupakan sarana untuk
penyelesaiannya. Pencemaran kerusakan lingkungan dapat diselesaikan melalui
aspek medik, planalogis, teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum.
Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.
Persoalan
lingkungan hidup pada dasarnya adalah persoalan semua orang, dan sudah
seyogyanya gerakan-gerakan kesadaran yang coba dibangun untuk memulihkan
kondisi lingkungan ke arah yang lebih baik adalah satu keharusan, dengan
mengambil peran apapun yang bisa dilakukan oleh semua pihak untuk melakukan
perbaikan terhadap kerusakan lingkungan hidup disekitarnya.
UUD
1945 yang pada pasal 1 secara jelas menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan
rakyat. Jadi merupakan wewenang rakyat untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan
lingkungan hidup di Indonesia. Pasal 28H ayat (1) yang menentukan “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkugnan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”.
Hukum lingkungan adalah
instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Prespektif hukum lingkungan, penuntasan
kasus-kasus pencemaran lingkungan mencakup 3 (tiga) bidang sekaligus, yaitu
hukum lingkungan administratif, hukum lingkunga keperdataan, hukum lingkungan
kepidanaan sebagai konsekuensi logis kedudukan hukum lingkungan sebagai hukum
fungsional.
1.2.
Rumusan Masalah
Keberadaan limbah yang dihasilkan
oleh pembangunan dinilai dapat menimbulkan dampak buruk kelingkungan
sekitar. Oleh karena itu, limbah yang
dihasilkan didesak untuk menerapkan standardisasi pengolahan limbah yang ramah
lingkungan.
1.3.
Tujuan
1. Memberikan
informasi mengenai hukum lingkungan perdata.
2. Memberikan
informasi sanksi mengenai pencemaran yang ditimbulkan dari suatu usaha dan/atau
kegiatan yang ditinjau melalui aspek hukum lingkungan perdata.
1.4.
Metode Penulisan
Pada pembuatan laporan Tugas
Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum
Perdata ini metode yang digunakan penulis adalah dengan studi literatur.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Hukum Lingkungan
Hukum
lingkungan menurut Lal Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson adalah
“Seperangkat aturan hukum yang memuat
tentang pengendalian dampak manusia
terhadap bumi dan kesehatan publik”. Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya
luas yang mencakup hukum yang secara khusus
menunjuk persoalan-persoalan lingkungan
dan secara umum hukum yang secara langsung
menunjuk pada dampak atas
persoalan-persoalan lingkungan.
UNEP mendefinisikan
hukum lingkungan adalah “Seperangkat aturan hukum yang berisi unsur-unsur untuk mengendalikan dampak manusia terhadap
lingkungan. A.B. Blomberg, A.A..J. de Gier dan J. Robbe memberikan definisi hukum lingkungan sebagai berikut hukum lingkungan
secara umum dipahami
sebagai hukum yang
melindungi kualitas lingkungan
dan hukum konservasi alam.
Siti
Sundari Rangkuti menyatakan bahwa dari substansi hukum yang merupakan materi hukum lingkungan, maka mata kuliah hukum lingkungan digolongkan kedalam mata kuliah hukum fungsional (Functionele Rechtsvakken), yaitu mengandung terobosan antara
berbagai disiplin hukum klasik.
Substansi
hukum lingkungan menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan
administratif, hukum lingkungan keperdataan, hukum
lingkungan kepidanaan. Hukum lingkungan
internasional yang sudah berkembang menjadi
disiplin ilmu hukum tersendiri
dan hukum tata ruang. Dengan
demikian, hukum lingkungan tidak merupakan bagian hukum publik ataupun bagian dari hukum
privat, namun mencakup hukum publik
dan hukum prifat sekaligus.
Hukum lingkungan adalah hukum fungsional yang mengandung
aspek hukum publik dan aspek hukum privat. Dalam kepustakaan hukum lingkungan dan ilmu lingkungan dapat ditemukan berbagai pandangan para pakar hukum lingkungan dan ilmu lingkungan mengenai pengertian pencemaran
lingkungan, namun dalam penelitian
ini pengertian pencemaran lingkungan mengacu kepada Pasal 1 ayat 14
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal 1 ayat 14 UU PPLH mendefinisikan pencemaran lingkungan sebagai berikut “Pencemaran lingkungan hidup
adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang
telah ditetapkan”.
Pencemaran
lingkungan menurut UU PPLH
hanya meliputi pencemaran lingkungan yang disebabkan karena kegiatan manusia, tidak
termasuk didalamnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh alam, misalnya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darus Salam, meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta dan
hujan debu dari Gunung Semeru di Jawa Timur. Pengertian kasus pencemaran lingkungan dalam tulisan ini adalah
terbatas pada kasus
pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dan tidak mencakup di dalamnya mengenai pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam.
2.2. Sejarah Perkembangan Lingkungan
Masalah
lingkungan dapat ditinjau dari aspek medik, planologis teknologis, teknik
lingkungan, ekonomi dan hukum.
Sebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari Rangkut “Perkembangan hukum
lingkungan tidak dipisahkan dengan gerakan sedunia yang memberikan perhatian
besarnya tentang lingkungan hidup”.
Konfrensi
PBB tentang lingkungan hidup, telah diadakan di Stockholm pada Tahun 1972,
Konferensi Stockholm membahas masalah lingkungan dan jalan keluarnya, agar
pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (Eco-Development), dan kapasitas
lingkungan yang ada. Pada tahun 1983 PBB
membentuk komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commission on Environment and
Development (WCED).
PBB
pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi mengenai masalah lingkungan dan
pembangunan The United Nations Conference
on Environment and Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil
pada tanggal 3-14 Juni Tahun 1992. Indonesia
pertama kali lingkungan hidup masuk dalam GBHN tahun 1993 BAB III huruf B ayat
(10) dengan Tap MPR RI No.IV/MPR/1993 dan dijabarkan dalam REPELITA II
(1994-1997) dalam Buku III bab 27, tentang Pembinaan Hukum Nasional.
Semakin
maju perkembangan ilmu dan teknologi serta peningkatan ekonomi dan modal,
terutama penanaman modal dalam negeri dan modal asing, melalui sektor kehutanan
dan pertambangan lahirnya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal dan UU
No.6 Tahun 1967 tentang Penanamn Modal Dalam Negeri. Ini sudah memuat pemikiran tentang pengaturan
lingkungan. Kemudian terjadi peristiwa
pencemaran lingkungan berupa minyak akibat kandasnya kapal ”Showa Maru” di
Selat Malaka.
Dari
hal tersebut diselenggarakan lokakarya tentang segi-segi hukum dari pengelolaan
lingkungan hidup oleh depertemen dan perguruan tinggi. Indonesia meratifikasi Konvensi IMCO tentang
Pencemaran Laut oleh Minyak Bumi dari kapal, yang diimplemantasikan dengan
Keppres No.18 Tahun 1978 tentang Civil
Liability Convention dan Keppres No. 19 Tahun 1978 tentang Internasional Fund Convention 1971. Pada tahun 1978 dibentuk kantor menteri
negara PPLH, salah tugas membuat RUU lingkungan Hidup. Kemudian lahirnya UU No.4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pengeloan Lingkungan Hidup, diganti UU No.23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diganti lagi UU No.32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2.3. Hukum Lingkungan Keperdataan
Pengertian
Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli adalah "Rangkaian peraturan hukum yang
mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara
subyek hukum yang satu dengan subyek yang lain, dengan menitikberatkan pada
kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam
kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau dalam usaha
untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya."
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum
bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan
sengketa lingkungan
di peradilan umum untuk memperoleh ganti kerugian. Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai
gugatan ganti kerugian atas dasar
perbuatan melawan hukum di bidang hukum
lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran lingkungan.
Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian
sengketa lingkungan menurut UU PPLH diatur dalam Pasal 84 yang menetapkan:
1. Penyelesaian
sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau
di luar pengadilan.
2. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
3. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa
Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) UU PPLH, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih secara sukarela oleh
para pihak yang bersengketa. Dengan ketentuan
demikian para pihak diberi kebebasan untuk
memilih mekanisme penyelesaian
sengketa lingkungan baik melalui pengadilan
atau melalui luar pengadilan.
Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum tertuang dalam Pasal 87 yang selangkapnya menyatakan sebagai berikut:
1.
Setiap
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang
melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu
2.
Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk
usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak
melepaskan tanggungjawab hukum
dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3.
Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap
hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4.
Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 87
ayat (1) UU
PPLH, agar dapat
diajukan gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur :
1.
Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan
2.
Melakukan perbuatan melanggar hukum
3.
Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
4.
Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;
5.
Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar
ganti rugi dan/atau
melakukan tindakan tertentu;
Dasar
pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan
kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih
yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan
sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan
fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.
Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih
yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok
orang yang lebih banyak jumlahnya.
Class Action pada intinya adalah gugatan perdata
(biasanya terkait dengan permintaan injuntction
atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan kelas
(Class Repesentatif) mewakili
kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang
lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili
tersebut diistilahkan sebagai class
members.
Class action bisa merupakan suatu metode bagi
orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama
mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta
dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan. Hal ini berarti bahwa kegunaan class action secara mendasar antara lain
adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan
yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam
perkara yang sama.
Setiap
warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan berhak untuk membela
hak-nya apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar
pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan perdata
ada dua macam yaitu :
1. Gugatan yang dilakukan di luar
pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi
2. Gugatan yang dilakukan melalui
peradilan disebut litigasi.
Gugatan
perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara :
1. Oleh orang yang bersangkutan atau
ahli warisnya.
2. Sekelompok orang yang mempunyai
kepentingan yang sama (Class Action).
2.4.
Kendala Pelaksanaan Hukum Lingkungan
Persoalan
lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan
buah simalakama. Satu sisi terdapat
tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi
lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam
melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.
Upaya
memupuk disiplin lingkungan dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai
solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak. Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban
memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran
serta perusakan lingkungan hidup.
Karena
itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti
pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas
baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum,
sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun
pidana. Hingga kini problem lingkungan
terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era
reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi.
Dalam
rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap
lingkungan, khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat, maka
penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan.
Selain
itu upaya menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah
kendala seperti:
1. Masih terdapat perbedaan persepsi
antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan
perundang-undangan yang ada.
2. Biaya untuk menangani penyelesaian
kasus lingkungan hidup terbatas.
3. Membuktikan telah terjadi pencemaran
atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.
Era
reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai
keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan. Kedepan, perlu exit strategy sebagai solusi penting
yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan
hidup.
1. Mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi
antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2. Asanya sanksi yang memadai
(enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai
dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak
hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan usaha/industri
yang nakal.
3. Adanya partisipasi publik,
transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup patut ditingkatkan.
Pengelolaan
lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan
masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang
mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan
sehat. Untuk itu, sudah saatnya
penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan
diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan
baik.
Hakekat
hukum lingkungan secara sederhana adalah seperangkat aturan yang mengatur
tatanan lingkungan dalam hal ini lingkungan hidup dimana lingkungan dapat
diartikan sebagai semua benda dan kondisi yang dapat mempengaruhi kelangsungan
hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam
perkembangannya hukum lingkungan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu hukum
lingkungan modern dan juga hukum lingkungan klasik.
Bentuk
penegakan hukum lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama
penegakan melalui istrumen administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan
permasalahan dan juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan
lingkungan hidup adalah penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang mana
kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan
sendiri sendiri.
Hukum
lingkungan diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka menjaga supaya lingkungan dan
sumber daya alam dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi kemampuan
lingkungan itu sendiri.
Kendala
di dalam penegakan dan juga pengimplementasian hukum lingkungan antara lain antara
adalah perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan
memaknai peraturan perundang-undangan yang ada, biaya untuk menangani
penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas, membuktikan telah terjadi
pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah, dan yang
terakhir adalah kurangnya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
III.
PEMBAHASAN
3.1.
Contoh Kasus
Pada kesempatan kali ini penulis
mengangkat kasus tentang limbah cair industri tekstil kali citarum yang penulis
ambil dari harian Kompas Jumat, 26 April 2013 13:14 WIB dengan judul berita “DAS
Citarum di Ambang Malapetaka Lingkungan” berikut berita tersebut :
“Malapetaka lingkungan tengah berlangsung
di Daerah Aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Ratusan ribu warga yang tinggal di
kawasan ini menderita karena menjadi langganan banjir di musim hujan dan
kekurangan air di musim kemarau.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.
Bertahun-tahun hampir semua pabrik tekstil di Majalaya
membuang langsung limbah beracunnya ke Citarum. Padahal, sungai ini masih
dipakai untuk keperluan air minum bagi warga di hilir, termasuk 80 persen warga
DKI Jakarta.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.
Sampai
kini Sungai Citarum masih tercemar. ”Kondisi ini berlangsung lama dan dibiarkan
merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitarnya,” ujar Direktur Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Dadan Ramdan.
Susut 62.000 hektar
Komunitas Elingan, yang
bergerak di bidang pelestarian lingkungan, mencatat dalam sembilan tahun ini
lahan hutan di DAS Citarum menyusut 86 persen, dari 72.000 hektar tahun 2000 menjadi
9.900 hektar tahun 2009. Pada periode yang sama, luas kawasan permukiman di
sekitar DAS Citarum meningkat 115 persen dari 81.7000 hektar jadi 176.000
hektar.
Tahun 2012, lahan kritis
mencapai 20 persen dari luas DAS Citarum sekitar 718.000 hektar. Seluas 144.000
hektar di antaranya adalah lahan rusak. Hingga saat ini setiap tahun ada 95 ton
tanah per hektar terbawa erosi ke DAS Citarum. Padahal, dalam kaidah
lingkungan, tingkat erosi yang ditoleransi hanya sekitar 15 ton per hektar per
tahun.
Ketua Umum Badan Musyawarah
Masyarakat Sunda Syarif Bastaman menambahkan, beberapa ikan endemik telah punah
dari Sungai Citarum. (dmu)
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
yunan
3.2.
Analisa
Kasus
Aspek
Hukum Perlindungan kawasan industri di Jawa Barat dari “Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan
untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum” (Pasal 1 ayat 2 UU 32 Tahun
2009).
Secara
umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (Sustainability) dalam pemanfaatan. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk
berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu,
permasalahan, peluang dan tantangan.
Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU 32 Tahun 2009
seperti terlihat dalam Pasal 20 ayat 3 UUPLH disebutkan :
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan
hidup dengan persyaratan:
1. Memenuhi
baku mutu lingkungan hidup;
2. Mendapat
izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Kasus pencemaran oleh kawasan industri di Jawa Barat ini memang belum
ada upaya hukum yang dilakukan. Hal ini
dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal pengawasan serta belum adanya
keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini, walupun mereka merasakan
dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.
Masyarakat ataupun LSM sebenarnya dapat mengajukan upaya hukum dalam
menyelesaikan kasus ini yaitu penegakkan hukum lingkungan dalam kaitannya
dengan hukum perdata.
3.3.
Sanksi Perdata
Ketentuan
hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam
pasal 87 ayat 1 “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti
rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
1.
Kesalahan
Industri Tekstil di Sekitar Kali citarum
Kesalahan
yang dilakukan oleh industri tekstil yang ada disekitaran kali Citarum adalah
tidak memberlakukannya dan/atau menjalankan IPAL dengan baik dan benar. Air
limbah yang dihasilkan dibuang langsung kebadan sungai tanpa melalui proses
terlebih dahulu. Sampah padat yang
dihasilkan juga tidak dibuang ketempat pembuangan akhir, melainkan langsung
kedalam Waduk Saguling.
2.
Kerugian
Warga di Sekitar Kali Citarum
Limbah-limbah yang keluar dari
industri-industri yang ada tidak diolah terlebih dahulu, sehingga air limbah yang
terkategorikan sebagai zat-zat berbahaya dan beracun (B3) mengalir bebas dialiran
sungai yang biasa dipakai oleh warga untuk keperluan sehari-sehari. Limbah
padat yang dihasilkan pun menyebabkan kerugian untuk masyarakat sekitar
terutama jika terjadi hujan lebat. Jika
hujan lebat terjadi dalam waktu yang lama maka sampah yang menumpuk di Waduk
Saguling akan menyebabkan banjir.
Rakyat, dalam hal ini lebih banyak
sebagai korban terutama yang bersentuhan langsung dengan kawasan dimana terjadi
pencemaran yang dilakukan oleh pihak pengusaha. Hal inilah yang dialami warga
seputaran kali Citarum. Kondisi seperti
ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga
sekitar tanpa adanya tindak lanjut dari pemerintah.
3.
Kaitannya dengan Hukum Perdata
Dalam kasus kali ini masyarakat
sekitar kali Citarum dapat melakukan gugatan diluar pengadilan atau gugatan Class Action yaitu mengajukan sejumlah
orang sebagai perwakilan kelas (Class
Repesentatif) untuk meminta ganti rugi kepada industri-industri yang
melakukan pencemaran. Bentuk ganti rugi
yang bisa diminta adalah :
A. Memberikan sejumlah biaya atau
pengobatan untuk korban-korban yang menderita penyakit tertentu yang
diakibatkan oleh air limbah yang mengalir diseputaran kali Citarum.
B. Memberikan fasilitas air bersih
untuk keperluan domestik.
C. Memperbaiki dan menggunakan
Instalasai Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan tepat dan semestinya.
D. Membuang limbah padat langsung ke
Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
IV.
PENUTUP
4.1.
Simpulan
1. Hukum
yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.
2. Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk
persoalan-persoalan lingkungan.
3. Hukum lingkungan perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara
orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu
dengan subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan
perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk
mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk
memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
4. Pengelolaan lingkungan hidup akan
terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
5. Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang
mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar
lebih efisien.
4.2.
Saran
1. Industri
tekstil yang ada disekitar kali Citarum haruslah menjalankan industrinya dengan
tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.
2. Perlu
diadakannya sebuah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada setiap industri
agar dapat meminimalisasi buangan yang diduga berpotensi mencemari lingkungan.
3. Penanganan
limbah dengan end of pipe treatment pada industri
tekstil dirasa kurang tepat, hal ini disebabkan karena penanganan dengan cara
tersebut hanya mengubah bentuk limbah dari suatu bentuk kebentuk lainnya.
4. Industri
tekstil haruslah benar-benar sadar akan limbah yang dihasilkan dari
pengolahannya sehingga instalasi pengolahan limbahnya dapat dijalankan dengan
semestinya. I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pembangunan nasional yang telah
dilaksanakan selama ini telah menunjukan kemajuan di berbagai bidang kehidupan
masyarakat, meliputi bidang sosial, budaya dan kehidupan beragama, ekonomi,
ilmu politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan,
hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan
prasarana, serta pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.
Banyak kemajuan yang telah dicapai,
tetapi disamping itu masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum
sepenuhnya terselesaikan. Tantangan atau
masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, diantaranya adalah masalah
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagai efek samping dari berjalannya
proses perundangan. Pencemaran dan
kerusakan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan ini diprediksi akan terus berlanjut. Seperti yang dikatakan oleh Otto Soemrawoto
“Masyarakat Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa lingkungan hidup berlawanan
dengan pembangunan. Mengingat kita masih melarat, pembangunan harus didahulukan
dari lingkungan hidup, dalam pemerintahan pun lingkungan hanya menempati tempat
yang marjinal”.
Berbagai kasus pencemaran dan
kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai efek samping dari proses pembangunan
adalah kerusakan sumber daya hutan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar
dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya
tuntutan lahan dan sumber daya hutan yang yang tidak pada tempatnya, serta
meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin. Pencemaran air, udara dan tanah juga
merupakan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai
akibat pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang mempertahankan aspek
kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Persoalan pencemaran lingkungan
dapat dilihat dari berbagai aspek lingkungan yang merupakan sarana untuk
penyelesaiannya. Pencemaran kerusakan lingkungan dapat diselesaikan melalui
aspek medik, planalogis, teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum.
Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.
Persoalan
lingkungan hidup pada dasarnya adalah persoalan semua orang, dan sudah
seyogyanya gerakan-gerakan kesadaran yang coba dibangun untuk memulihkan
kondisi lingkungan ke arah yang lebih baik adalah satu keharusan, dengan
mengambil peran apapun yang bisa dilakukan oleh semua pihak untuk melakukan
perbaikan terhadap kerusakan lingkungan hidup disekitarnya.
UUD
1945 yang pada pasal 1 secara jelas menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan
rakyat. Jadi merupakan wewenang rakyat untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan
lingkungan hidup di Indonesia. Pasal 28H ayat (1) yang menentukan “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkugnan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”.
Hukum lingkungan adalah
instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Prespektif hukum lingkungan, penuntasan
kasus-kasus pencemaran lingkungan mencakup 3 (tiga) bidang sekaligus, yaitu
hukum lingkungan administratif, hukum lingkunga keperdataan, hukum lingkungan
kepidanaan sebagai konsekuensi logis kedudukan hukum lingkungan sebagai hukum
fungsional.
1.2.
Rumusan Masalah
Keberadaan limbah yang dihasilkan
oleh pembangunan dinilai dapat menimbulkan dampak buruk kelingkungan
sekitar. Oleh karena itu, limbah yang
dihasilkan didesak untuk menerapkan standardisasi pengolahan limbah yang ramah
lingkungan.
1.3.
Tujuan
1. Memberikan
informasi mengenai hukum lingkungan perdata.
2. Memberikan
informasi sanksi mengenai pencemaran yang ditimbulkan dari suatu usaha dan/atau
kegiatan yang ditinjau melalui aspek hukum lingkungan perdata.
1.4.
Metode Penulisan
Pada pembuatan laporan Tugas
Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum
Perdata ini metode yang digunakan penulis adalah dengan studi literatur.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Hukum Lingkungan
Hukum
lingkungan menurut Lal Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson adalah
“Seperangkat aturan hukum yang memuat
tentang pengendalian dampak manusia
terhadap bumi dan kesehatan publik”. Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya
luas yang mencakup hukum yang secara khusus
menunjuk persoalan-persoalan lingkungan
dan secara umum hukum yang secara langsung
menunjuk pada dampak atas
persoalan-persoalan lingkungan.
UNEP mendefinisikan
hukum lingkungan adalah “Seperangkat aturan hukum yang berisi unsur-unsur untuk mengendalikan dampak manusia terhadap
lingkungan. A.B. Blomberg, A.A..J. de Gier dan J. Robbe memberikan definisi hukum lingkungan sebagai berikut hukum lingkungan
secara umum dipahami
sebagai hukum yang
melindungi kualitas lingkungan
dan hukum konservasi alam.
Siti
Sundari Rangkuti menyatakan bahwa dari substansi hukum yang merupakan materi hukum lingkungan, maka mata kuliah hukum lingkungan digolongkan kedalam mata kuliah hukum fungsional (Functionele Rechtsvakken), yaitu mengandung terobosan antara
berbagai disiplin hukum klasik.
Substansi
hukum lingkungan menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan
administratif, hukum lingkungan keperdataan, hukum
lingkungan kepidanaan. Hukum lingkungan
internasional yang sudah berkembang menjadi
disiplin ilmu hukum tersendiri
dan hukum tata ruang. Dengan
demikian, hukum lingkungan tidak merupakan bagian hukum publik ataupun bagian dari hukum
privat, namun mencakup hukum publik
dan hukum prifat sekaligus.
Hukum lingkungan adalah hukum fungsional yang mengandung
aspek hukum publik dan aspek hukum privat. Dalam kepustakaan hukum lingkungan dan ilmu lingkungan dapat ditemukan berbagai pandangan para pakar hukum lingkungan dan ilmu lingkungan mengenai pengertian pencemaran
lingkungan, namun dalam penelitian
ini pengertian pencemaran lingkungan mengacu kepada Pasal 1 ayat 14
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal 1 ayat 14 UU PPLH mendefinisikan pencemaran lingkungan sebagai berikut “Pencemaran lingkungan hidup
adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang
telah ditetapkan”.
Pencemaran
lingkungan menurut UU PPLH
hanya meliputi pencemaran lingkungan yang disebabkan karena kegiatan manusia, tidak
termasuk didalamnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh alam, misalnya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darus Salam, meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta dan
hujan debu dari Gunung Semeru di Jawa Timur. Pengertian kasus pencemaran lingkungan dalam tulisan ini adalah
terbatas pada kasus
pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dan tidak mencakup di dalamnya mengenai pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam.
2.2. Sejarah Perkembangan Lingkungan
Masalah
lingkungan dapat ditinjau dari aspek medik, planologis teknologis, teknik
lingkungan, ekonomi dan hukum.
Sebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari Rangkut “Perkembangan hukum
lingkungan tidak dipisahkan dengan gerakan sedunia yang memberikan perhatian
besarnya tentang lingkungan hidup”.
Konfrensi
PBB tentang lingkungan hidup, telah diadakan di Stockholm pada Tahun 1972,
Konferensi Stockholm membahas masalah lingkungan dan jalan keluarnya, agar
pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (Eco-Development), dan kapasitas
lingkungan yang ada. Pada tahun 1983 PBB
membentuk komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commission on Environment and
Development (WCED).
PBB
pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi mengenai masalah lingkungan dan
pembangunan The United Nations Conference
on Environment and Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil
pada tanggal 3-14 Juni Tahun 1992. Indonesia
pertama kali lingkungan hidup masuk dalam GBHN tahun 1993 BAB III huruf B ayat
(10) dengan Tap MPR RI No.IV/MPR/1993 dan dijabarkan dalam REPELITA II
(1994-1997) dalam Buku III bab 27, tentang Pembinaan Hukum Nasional.
Semakin
maju perkembangan ilmu dan teknologi serta peningkatan ekonomi dan modal,
terutama penanaman modal dalam negeri dan modal asing, melalui sektor kehutanan
dan pertambangan lahirnya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal dan UU
No.6 Tahun 1967 tentang Penanamn Modal Dalam Negeri. Ini sudah memuat pemikiran tentang pengaturan
lingkungan. Kemudian terjadi peristiwa
pencemaran lingkungan berupa minyak akibat kandasnya kapal ”Showa Maru” di
Selat Malaka.
Dari
hal tersebut diselenggarakan lokakarya tentang segi-segi hukum dari pengelolaan
lingkungan hidup oleh depertemen dan perguruan tinggi. Indonesia meratifikasi Konvensi IMCO tentang
Pencemaran Laut oleh Minyak Bumi dari kapal, yang diimplemantasikan dengan
Keppres No.18 Tahun 1978 tentang Civil
Liability Convention dan Keppres No. 19 Tahun 1978 tentang Internasional Fund Convention 1971. Pada tahun 1978 dibentuk kantor menteri
negara PPLH, salah tugas membuat RUU lingkungan Hidup. Kemudian lahirnya UU No.4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pengeloan Lingkungan Hidup, diganti UU No.23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diganti lagi UU No.32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2.3. Hukum Lingkungan Keperdataan
Pengertian
Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli adalah "Rangkaian peraturan hukum yang
mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara
subyek hukum yang satu dengan subyek yang lain, dengan menitikberatkan pada
kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam
kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau dalam usaha
untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya."
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum
bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan
sengketa lingkungan
di peradilan umum untuk memperoleh ganti kerugian. Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai
gugatan ganti kerugian atas dasar
perbuatan melawan hukum di bidang hukum
lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran lingkungan.
Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian
sengketa lingkungan menurut UU PPLH diatur dalam Pasal 84 yang menetapkan:
1. Penyelesaian
sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau
di luar pengadilan.
2. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
3. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa
Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) UU PPLH, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih secara sukarela oleh
para pihak yang bersengketa. Dengan ketentuan
demikian para pihak diberi kebebasan untuk
memilih mekanisme penyelesaian
sengketa lingkungan baik melalui pengadilan
atau melalui luar pengadilan.
Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum tertuang dalam Pasal 87 yang selangkapnya menyatakan sebagai berikut:
1.
Setiap
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang
melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu
2.
Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk
usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak
melepaskan tanggungjawab hukum
dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3.
Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap
hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4.
Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 87
ayat (1) UU
PPLH, agar dapat
diajukan gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur :
1.
Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan
2.
Melakukan perbuatan melanggar hukum
3.
Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
4.
Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;
5.
Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar
ganti rugi dan/atau
melakukan tindakan tertentu;
Dasar
pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan
kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih
yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan
sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan
fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.
Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih
yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok
orang yang lebih banyak jumlahnya.
Class Action pada intinya adalah gugatan perdata
(biasanya terkait dengan permintaan injuntction
atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan kelas
(Class Repesentatif) mewakili
kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang
lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili
tersebut diistilahkan sebagai class
members.
Class action bisa merupakan suatu metode bagi
orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama
mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta
dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan. Hal ini berarti bahwa kegunaan class action secara mendasar antara lain
adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan
yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam
perkara yang sama.
Setiap
warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan berhak untuk membela
hak-nya apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar
pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan perdata
ada dua macam yaitu :
1. Gugatan yang dilakukan di luar
pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi
2. Gugatan yang dilakukan melalui
peradilan disebut litigasi.
Gugatan
perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara :
1. Oleh orang yang bersangkutan atau
ahli warisnya.
2. Sekelompok orang yang mempunyai
kepentingan yang sama (Class Action).
2.4.
Kendala Pelaksanaan Hukum Lingkungan
Persoalan
lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan
buah simalakama. Satu sisi terdapat
tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi
lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam
melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.
Upaya
memupuk disiplin lingkungan dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai
solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak. Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban
memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran
serta perusakan lingkungan hidup.
Karena
itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti
pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas
baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum,
sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun
pidana. Hingga kini problem lingkungan
terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era
reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi.
Dalam
rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap
lingkungan, khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat, maka
penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan.
Selain
itu upaya menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah
kendala seperti:
1. Masih terdapat perbedaan persepsi
antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan
perundang-undangan yang ada.
2. Biaya untuk menangani penyelesaian
kasus lingkungan hidup terbatas.
3. Membuktikan telah terjadi pencemaran
atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.
Era
reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai
keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan. Kedepan, perlu exit strategy sebagai solusi penting
yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan
hidup.
1. Mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi
antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2. Asanya sanksi yang memadai
(enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai
dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak
hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan usaha/industri
yang nakal.
3. Adanya partisipasi publik,
transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup patut ditingkatkan.
Pengelolaan
lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan
masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang
mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan
sehat. Untuk itu, sudah saatnya
penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan
diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan
baik.
Hakekat
hukum lingkungan secara sederhana adalah seperangkat aturan yang mengatur
tatanan lingkungan dalam hal ini lingkungan hidup dimana lingkungan dapat
diartikan sebagai semua benda dan kondisi yang dapat mempengaruhi kelangsungan
hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam
perkembangannya hukum lingkungan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu hukum
lingkungan modern dan juga hukum lingkungan klasik.
Bentuk
penegakan hukum lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama
penegakan melalui istrumen administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan
permasalahan dan juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan
lingkungan hidup adalah penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang mana
kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan
sendiri sendiri.
Hukum
lingkungan diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka menjaga supaya lingkungan dan
sumber daya alam dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi kemampuan
lingkungan itu sendiri.
Kendala
di dalam penegakan dan juga pengimplementasian hukum lingkungan antara lain antara
adalah perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan
memaknai peraturan perundang-undangan yang ada, biaya untuk menangani
penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas, membuktikan telah terjadi
pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah, dan yang
terakhir adalah kurangnya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
III.
PEMBAHASAN
3.1.
Contoh Kasus
Pada kesempatan kali ini penulis
mengangkat kasus tentang limbah cair industri tekstil kali citarum yang penulis
ambil dari harian Kompas Jumat, 26 April 2013 13:14 WIB dengan judul berita “DAS
Citarum di Ambang Malapetaka Lingkungan” berikut berita tersebut :
“Malapetaka lingkungan tengah berlangsung
di Daerah Aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Ratusan ribu warga yang tinggal di
kawasan ini menderita karena menjadi langganan banjir di musim hujan dan
kekurangan air di musim kemarau.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.
Bertahun-tahun hampir semua pabrik tekstil di Majalaya
membuang langsung limbah beracunnya ke Citarum. Padahal, sungai ini masih
dipakai untuk keperluan air minum bagi warga di hilir, termasuk 80 persen warga
DKI Jakarta.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.
Sampai
kini Sungai Citarum masih tercemar. ”Kondisi ini berlangsung lama dan dibiarkan
merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitarnya,” ujar Direktur Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Dadan Ramdan.
Susut 62.000 hektar
Komunitas Elingan, yang
bergerak di bidang pelestarian lingkungan, mencatat dalam sembilan tahun ini
lahan hutan di DAS Citarum menyusut 86 persen, dari 72.000 hektar tahun 2000 menjadi
9.900 hektar tahun 2009. Pada periode yang sama, luas kawasan permukiman di
sekitar DAS Citarum meningkat 115 persen dari 81.7000 hektar jadi 176.000
hektar.
Tahun 2012, lahan kritis
mencapai 20 persen dari luas DAS Citarum sekitar 718.000 hektar. Seluas 144.000
hektar di antaranya adalah lahan rusak. Hingga saat ini setiap tahun ada 95 ton
tanah per hektar terbawa erosi ke DAS Citarum. Padahal, dalam kaidah
lingkungan, tingkat erosi yang ditoleransi hanya sekitar 15 ton per hektar per
tahun.
Ketua Umum Badan Musyawarah
Masyarakat Sunda Syarif Bastaman menambahkan, beberapa ikan endemik telah punah
dari Sungai Citarum. (dmu)
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
yunan
3.2.
Analisa
Kasus
Aspek
Hukum Perlindungan kawasan industri di Jawa Barat dari “Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan
untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum” (Pasal 1 ayat 2 UU 32 Tahun
2009).
Secara
umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (Sustainability) dalam pemanfaatan. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk
berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu,
permasalahan, peluang dan tantangan.
Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU 32 Tahun 2009
seperti terlihat dalam Pasal 20 ayat 3 UUPLH disebutkan :
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan
hidup dengan persyaratan:
1. Memenuhi
baku mutu lingkungan hidup;
2. Mendapat
izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Kasus pencemaran oleh kawasan industri di Jawa Barat ini memang belum
ada upaya hukum yang dilakukan. Hal ini
dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal pengawasan serta belum adanya
keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini, walupun mereka merasakan
dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.
Masyarakat ataupun LSM sebenarnya dapat mengajukan upaya hukum dalam
menyelesaikan kasus ini yaitu penegakkan hukum lingkungan dalam kaitannya
dengan hukum perdata.
3.3.
Sanksi Perdata
Ketentuan
hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam
pasal 87 ayat 1 “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti
rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
1.
Kesalahan
Industri Tekstil di Sekitar Kali citarum
Kesalahan
yang dilakukan oleh industri tekstil yang ada disekitaran kali Citarum adalah
tidak memberlakukannya dan/atau menjalankan IPAL dengan baik dan benar. Air
limbah yang dihasilkan dibuang langsung kebadan sungai tanpa melalui proses
terlebih dahulu. Sampah padat yang
dihasilkan juga tidak dibuang ketempat pembuangan akhir, melainkan langsung
kedalam Waduk Saguling.
2.
Kerugian
Warga di Sekitar Kali Citarum
Limbah-limbah yang keluar dari
industri-industri yang ada tidak diolah terlebih dahulu, sehingga air limbah yang
terkategorikan sebagai zat-zat berbahaya dan beracun (B3) mengalir bebas dialiran
sungai yang biasa dipakai oleh warga untuk keperluan sehari-sehari. Limbah
padat yang dihasilkan pun menyebabkan kerugian untuk masyarakat sekitar
terutama jika terjadi hujan lebat. Jika
hujan lebat terjadi dalam waktu yang lama maka sampah yang menumpuk di Waduk
Saguling akan menyebabkan banjir.
Rakyat, dalam hal ini lebih banyak
sebagai korban terutama yang bersentuhan langsung dengan kawasan dimana terjadi
pencemaran yang dilakukan oleh pihak pengusaha. Hal inilah yang dialami warga
seputaran kali Citarum. Kondisi seperti
ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga
sekitar tanpa adanya tindak lanjut dari pemerintah.
3.
Kaitannya dengan Hukum Perdata
Dalam kasus kali ini masyarakat
sekitar kali Citarum dapat melakukan gugatan diluar pengadilan atau gugatan Class Action yaitu mengajukan sejumlah
orang sebagai perwakilan kelas (Class
Repesentatif) untuk meminta ganti rugi kepada industri-industri yang
melakukan pencemaran. Bentuk ganti rugi
yang bisa diminta adalah :
A. Memberikan sejumlah biaya atau
pengobatan untuk korban-korban yang menderita penyakit tertentu yang
diakibatkan oleh air limbah yang mengalir diseputaran kali Citarum.
B. Memberikan fasilitas air bersih
untuk keperluan domestik.
C. Memperbaiki dan menggunakan
Instalasai Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan tepat dan semestinya.
D. Membuang limbah padat langsung ke
Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
IV.
PENUTUP
4.1.
Simpulan
1. Hukum
yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.
2. Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk
persoalan-persoalan lingkungan.
3. Hukum lingkungan perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara
orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu
dengan subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan
perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk
mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk
memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
4. Pengelolaan lingkungan hidup akan
terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
5. Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang
mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar
lebih efisien.
4.2.
Saran
1. Industri
tekstil yang ada disekitar kali Citarum haruslah menjalankan industrinya dengan
tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.
2. Perlu
diadakannya sebuah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada setiap industri
agar dapat meminimalisasi buangan yang diduga berpotensi mencemari lingkungan.
3. Penanganan
limbah dengan end of pipe treatment pada industri
tekstil dirasa kurang tepat, hal ini disebabkan karena penanganan dengan cara
tersebut hanya mengubah bentuk limbah dari suatu bentuk kebentuk lainnya.
4. Industri
tekstil haruslah benar-benar sadar akan limbah yang dihasilkan dari
pengolahannya sehingga instalasi pengolahan limbahnya dapat dijalankan dengan
semestinya. I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pembangunan nasional yang telah
dilaksanakan selama ini telah menunjukan kemajuan di berbagai bidang kehidupan
masyarakat, meliputi bidang sosial, budaya dan kehidupan beragama, ekonomi,
ilmu politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan,
hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan
prasarana, serta pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.
Banyak kemajuan yang telah dicapai,
tetapi disamping itu masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum
sepenuhnya terselesaikan. Tantangan atau
masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, diantaranya adalah masalah
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagai efek samping dari berjalannya
proses perundangan. Pencemaran dan
kerusakan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan ini diprediksi akan terus berlanjut. Seperti yang dikatakan oleh Otto Soemrawoto
“Masyarakat Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa lingkungan hidup berlawanan
dengan pembangunan. Mengingat kita masih melarat, pembangunan harus didahulukan
dari lingkungan hidup, dalam pemerintahan pun lingkungan hanya menempati tempat
yang marjinal”.
Berbagai kasus pencemaran dan
kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai efek samping dari proses pembangunan
adalah kerusakan sumber daya hutan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar
dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya
tuntutan lahan dan sumber daya hutan yang yang tidak pada tempatnya, serta
meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin. Pencemaran air, udara dan tanah juga
merupakan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai
akibat pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang mempertahankan aspek
kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Persoalan pencemaran lingkungan
dapat dilihat dari berbagai aspek lingkungan yang merupakan sarana untuk
penyelesaiannya. Pencemaran kerusakan lingkungan dapat diselesaikan melalui
aspek medik, planalogis, teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum.
Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.
Persoalan
lingkungan hidup pada dasarnya adalah persoalan semua orang, dan sudah
seyogyanya gerakan-gerakan kesadaran yang coba dibangun untuk memulihkan
kondisi lingkungan ke arah yang lebih baik adalah satu keharusan, dengan
mengambil peran apapun yang bisa dilakukan oleh semua pihak untuk melakukan
perbaikan terhadap kerusakan lingkungan hidup disekitarnya.
UUD
1945 yang pada pasal 1 secara jelas menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan
rakyat. Jadi merupakan wewenang rakyat untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan
lingkungan hidup di Indonesia. Pasal 28H ayat (1) yang menentukan “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkugnan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”.
Hukum lingkungan adalah
instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Prespektif hukum lingkungan, penuntasan
kasus-kasus pencemaran lingkungan mencakup 3 (tiga) bidang sekaligus, yaitu
hukum lingkungan administratif, hukum lingkunga keperdataan, hukum lingkungan
kepidanaan sebagai konsekuensi logis kedudukan hukum lingkungan sebagai hukum
fungsional.
1.2.
Rumusan Masalah
Keberadaan limbah yang dihasilkan
oleh pembangunan dinilai dapat menimbulkan dampak buruk kelingkungan
sekitar. Oleh karena itu, limbah yang
dihasilkan didesak untuk menerapkan standardisasi pengolahan limbah yang ramah
lingkungan.
1.3.
Tujuan
1. Memberikan
informasi mengenai hukum lingkungan perdata.
2. Memberikan
informasi sanksi mengenai pencemaran yang ditimbulkan dari suatu usaha dan/atau
kegiatan yang ditinjau melalui aspek hukum lingkungan perdata.
1.4.
Metode Penulisan
Pada pembuatan laporan Tugas
Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum
Perdata ini metode yang digunakan penulis adalah dengan studi literatur.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Hukum Lingkungan
Hukum
lingkungan menurut Lal Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson adalah
“Seperangkat aturan hukum yang memuat
tentang pengendalian dampak manusia
terhadap bumi dan kesehatan publik”. Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya
luas yang mencakup hukum yang secara khusus
menunjuk persoalan-persoalan lingkungan
dan secara umum hukum yang secara langsung
menunjuk pada dampak atas
persoalan-persoalan lingkungan.
UNEP mendefinisikan
hukum lingkungan adalah “Seperangkat aturan hukum yang berisi unsur-unsur untuk mengendalikan dampak manusia terhadap
lingkungan. A.B. Blomberg, A.A..J. de Gier dan J. Robbe memberikan definisi hukum lingkungan sebagai berikut hukum lingkungan
secara umum dipahami
sebagai hukum yang
melindungi kualitas lingkungan
dan hukum konservasi alam.
Siti
Sundari Rangkuti menyatakan bahwa dari substansi hukum yang merupakan materi hukum lingkungan, maka mata kuliah hukum lingkungan digolongkan kedalam mata kuliah hukum fungsional (Functionele Rechtsvakken), yaitu mengandung terobosan antara
berbagai disiplin hukum klasik.
Substansi
hukum lingkungan menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan
administratif, hukum lingkungan keperdataan, hukum
lingkungan kepidanaan. Hukum lingkungan
internasional yang sudah berkembang menjadi
disiplin ilmu hukum tersendiri
dan hukum tata ruang. Dengan
demikian, hukum lingkungan tidak merupakan bagian hukum publik ataupun bagian dari hukum
privat, namun mencakup hukum publik
dan hukum prifat sekaligus.
Hukum lingkungan adalah hukum fungsional yang mengandung
aspek hukum publik dan aspek hukum privat. Dalam kepustakaan hukum lingkungan dan ilmu lingkungan dapat ditemukan berbagai pandangan para pakar hukum lingkungan dan ilmu lingkungan mengenai pengertian pencemaran
lingkungan, namun dalam penelitian
ini pengertian pencemaran lingkungan mengacu kepada Pasal 1 ayat 14
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal 1 ayat 14 UU PPLH mendefinisikan pencemaran lingkungan sebagai berikut “Pencemaran lingkungan hidup
adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang
telah ditetapkan”.
Pencemaran
lingkungan menurut UU PPLH
hanya meliputi pencemaran lingkungan yang disebabkan karena kegiatan manusia, tidak
termasuk didalamnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh alam, misalnya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darus Salam, meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta dan
hujan debu dari Gunung Semeru di Jawa Timur. Pengertian kasus pencemaran lingkungan dalam tulisan ini adalah
terbatas pada kasus
pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dan tidak mencakup di dalamnya mengenai pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam.
2.2. Sejarah Perkembangan Lingkungan
Masalah
lingkungan dapat ditinjau dari aspek medik, planologis teknologis, teknik
lingkungan, ekonomi dan hukum.
Sebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari Rangkut “Perkembangan hukum
lingkungan tidak dipisahkan dengan gerakan sedunia yang memberikan perhatian
besarnya tentang lingkungan hidup”.
Konfrensi
PBB tentang lingkungan hidup, telah diadakan di Stockholm pada Tahun 1972,
Konferensi Stockholm membahas masalah lingkungan dan jalan keluarnya, agar
pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (Eco-Development), dan kapasitas
lingkungan yang ada. Pada tahun 1983 PBB
membentuk komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commission on Environment and
Development (WCED).
PBB
pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi mengenai masalah lingkungan dan
pembangunan The United Nations Conference
on Environment and Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil
pada tanggal 3-14 Juni Tahun 1992. Indonesia
pertama kali lingkungan hidup masuk dalam GBHN tahun 1993 BAB III huruf B ayat
(10) dengan Tap MPR RI No.IV/MPR/1993 dan dijabarkan dalam REPELITA II
(1994-1997) dalam Buku III bab 27, tentang Pembinaan Hukum Nasional.
Semakin
maju perkembangan ilmu dan teknologi serta peningkatan ekonomi dan modal,
terutama penanaman modal dalam negeri dan modal asing, melalui sektor kehutanan
dan pertambangan lahirnya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal dan UU
No.6 Tahun 1967 tentang Penanamn Modal Dalam Negeri. Ini sudah memuat pemikiran tentang pengaturan
lingkungan. Kemudian terjadi peristiwa
pencemaran lingkungan berupa minyak akibat kandasnya kapal ”Showa Maru” di
Selat Malaka.
Dari
hal tersebut diselenggarakan lokakarya tentang segi-segi hukum dari pengelolaan
lingkungan hidup oleh depertemen dan perguruan tinggi. Indonesia meratifikasi Konvensi IMCO tentang
Pencemaran Laut oleh Minyak Bumi dari kapal, yang diimplemantasikan dengan
Keppres No.18 Tahun 1978 tentang Civil
Liability Convention dan Keppres No. 19 Tahun 1978 tentang Internasional Fund Convention 1971. Pada tahun 1978 dibentuk kantor menteri
negara PPLH, salah tugas membuat RUU lingkungan Hidup. Kemudian lahirnya UU No.4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pengeloan Lingkungan Hidup, diganti UU No.23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diganti lagi UU No.32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2.3. Hukum Lingkungan Keperdataan
Pengertian
Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli adalah "Rangkaian peraturan hukum yang
mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara
subyek hukum yang satu dengan subyek yang lain, dengan menitikberatkan pada
kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam
kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau dalam usaha
untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya."
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum
bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan
sengketa lingkungan
di peradilan umum untuk memperoleh ganti kerugian. Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai
gugatan ganti kerugian atas dasar
perbuatan melawan hukum di bidang hukum
lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran lingkungan.
Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian
sengketa lingkungan menurut UU PPLH diatur dalam Pasal 84 yang menetapkan:
1. Penyelesaian
sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau
di luar pengadilan.
2. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
3. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa
Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) UU PPLH, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih secara sukarela oleh
para pihak yang bersengketa. Dengan ketentuan
demikian para pihak diberi kebebasan untuk
memilih mekanisme penyelesaian
sengketa lingkungan baik melalui pengadilan
atau melalui luar pengadilan.
Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum tertuang dalam Pasal 87 yang selangkapnya menyatakan sebagai berikut:
1.
Setiap
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang
melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu
2.
Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk
usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak
melepaskan tanggungjawab hukum
dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3.
Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap
hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4.
Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 87
ayat (1) UU
PPLH, agar dapat
diajukan gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur :
1.
Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan
2.
Melakukan perbuatan melanggar hukum
3.
Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
4.
Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;
5.
Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar
ganti rugi dan/atau
melakukan tindakan tertentu;
Dasar
pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan
kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih
yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan
sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan
fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.
Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih
yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok
orang yang lebih banyak jumlahnya.
Class Action pada intinya adalah gugatan perdata
(biasanya terkait dengan permintaan injuntction
atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan kelas
(Class Repesentatif) mewakili
kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang
lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili
tersebut diistilahkan sebagai class
members.
Class action bisa merupakan suatu metode bagi
orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama
mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta
dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan. Hal ini berarti bahwa kegunaan class action secara mendasar antara lain
adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan
yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam
perkara yang sama.
Setiap
warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan berhak untuk membela
hak-nya apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar
pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan perdata
ada dua macam yaitu :
1. Gugatan yang dilakukan di luar
pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi
2. Gugatan yang dilakukan melalui
peradilan disebut litigasi.
Gugatan
perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara :
1. Oleh orang yang bersangkutan atau
ahli warisnya.
2. Sekelompok orang yang mempunyai
kepentingan yang sama (Class Action).
2.4.
Kendala Pelaksanaan Hukum Lingkungan
Persoalan
lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan
buah simalakama. Satu sisi terdapat
tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi
lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam
melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.
Upaya
memupuk disiplin lingkungan dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai
solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak. Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban
memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran
serta perusakan lingkungan hidup.
Karena
itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti
pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas
baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum,
sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun
pidana. Hingga kini problem lingkungan
terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era
reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi.
Dalam
rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap
lingkungan, khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat, maka
penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan.
Selain
itu upaya menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah
kendala seperti:
1. Masih terdapat perbedaan persepsi
antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan
perundang-undangan yang ada.
2. Biaya untuk menangani penyelesaian
kasus lingkungan hidup terbatas.
3. Membuktikan telah terjadi pencemaran
atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.
Era
reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai
keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan. Kedepan, perlu exit strategy sebagai solusi penting
yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan
hidup.
1. Mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi
antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2. Asanya sanksi yang memadai
(enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai
dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak
hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan usaha/industri
yang nakal.
3. Adanya partisipasi publik,
transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup patut ditingkatkan.
Pengelolaan
lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan
masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang
mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan
sehat. Untuk itu, sudah saatnya
penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan
diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan
baik.
Hakekat
hukum lingkungan secara sederhana adalah seperangkat aturan yang mengatur
tatanan lingkungan dalam hal ini lingkungan hidup dimana lingkungan dapat
diartikan sebagai semua benda dan kondisi yang dapat mempengaruhi kelangsungan
hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam
perkembangannya hukum lingkungan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu hukum
lingkungan modern dan juga hukum lingkungan klasik.
Bentuk
penegakan hukum lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama
penegakan melalui istrumen administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan
permasalahan dan juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan
lingkungan hidup adalah penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang mana
kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan
sendiri sendiri.
Hukum
lingkungan diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka menjaga supaya lingkungan dan
sumber daya alam dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi kemampuan
lingkungan itu sendiri.
Kendala
di dalam penegakan dan juga pengimplementasian hukum lingkungan antara lain antara
adalah perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan
memaknai peraturan perundang-undangan yang ada, biaya untuk menangani
penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas, membuktikan telah terjadi
pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah, dan yang
terakhir adalah kurangnya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
III.
PEMBAHASAN
3.1.
Contoh Kasus
Pada kesempatan kali ini penulis
mengangkat kasus tentang limbah cair industri tekstil kali citarum yang penulis
ambil dari harian Kompas Jumat, 26 April 2013 13:14 WIB dengan judul berita “DAS
Citarum di Ambang Malapetaka Lingkungan” berikut berita tersebut :
“Malapetaka lingkungan tengah berlangsung
di Daerah Aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Ratusan ribu warga yang tinggal di
kawasan ini menderita karena menjadi langganan banjir di musim hujan dan
kekurangan air di musim kemarau.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.
Bertahun-tahun hampir semua pabrik tekstil di Majalaya
membuang langsung limbah beracunnya ke Citarum. Padahal, sungai ini masih
dipakai untuk keperluan air minum bagi warga di hilir, termasuk 80 persen warga
DKI Jakarta.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.
Sampai
kini Sungai Citarum masih tercemar. ”Kondisi ini berlangsung lama dan dibiarkan
merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitarnya,” ujar Direktur Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Dadan Ramdan.
Susut 62.000 hektar
Komunitas Elingan, yang
bergerak di bidang pelestarian lingkungan, mencatat dalam sembilan tahun ini
lahan hutan di DAS Citarum menyusut 86 persen, dari 72.000 hektar tahun 2000 menjadi
9.900 hektar tahun 2009. Pada periode yang sama, luas kawasan permukiman di
sekitar DAS Citarum meningkat 115 persen dari 81.7000 hektar jadi 176.000
hektar.
Tahun 2012, lahan kritis
mencapai 20 persen dari luas DAS Citarum sekitar 718.000 hektar. Seluas 144.000
hektar di antaranya adalah lahan rusak. Hingga saat ini setiap tahun ada 95 ton
tanah per hektar terbawa erosi ke DAS Citarum. Padahal, dalam kaidah
lingkungan, tingkat erosi yang ditoleransi hanya sekitar 15 ton per hektar per
tahun.
Ketua Umum Badan Musyawarah
Masyarakat Sunda Syarif Bastaman menambahkan, beberapa ikan endemik telah punah
dari Sungai Citarum. (dmu)
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
yunan
3.2.
Analisa
Kasus
Aspek
Hukum Perlindungan kawasan industri di Jawa Barat dari “Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan
untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum” (Pasal 1 ayat 2 UU 32 Tahun
2009).
Secara
umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (Sustainability) dalam pemanfaatan. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk
berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu,
permasalahan, peluang dan tantangan.
Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU 32 Tahun 2009
seperti terlihat dalam Pasal 20 ayat 3 UUPLH disebutkan :
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan
hidup dengan persyaratan:
1. Memenuhi
baku mutu lingkungan hidup;
2. Mendapat
izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Kasus pencemaran oleh kawasan industri di Jawa Barat ini memang belum
ada upaya hukum yang dilakukan. Hal ini
dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal pengawasan serta belum adanya
keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini, walupun mereka merasakan
dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.
Masyarakat ataupun LSM sebenarnya dapat mengajukan upaya hukum dalam
menyelesaikan kasus ini yaitu penegakkan hukum lingkungan dalam kaitannya
dengan hukum perdata.
3.3.
Sanksi Perdata
Ketentuan
hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam
pasal 87 ayat 1 “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti
rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
1.
Kesalahan
Industri Tekstil di Sekitar Kali citarum
Kesalahan
yang dilakukan oleh industri tekstil yang ada disekitaran kali Citarum adalah
tidak memberlakukannya dan/atau menjalankan IPAL dengan baik dan benar. Air
limbah yang dihasilkan dibuang langsung kebadan sungai tanpa melalui proses
terlebih dahulu. Sampah padat yang
dihasilkan juga tidak dibuang ketempat pembuangan akhir, melainkan langsung
kedalam Waduk Saguling.
2.
Kerugian
Warga di Sekitar Kali Citarum
Limbah-limbah yang keluar dari
industri-industri yang ada tidak diolah terlebih dahulu, sehingga air limbah yang
terkategorikan sebagai zat-zat berbahaya dan beracun (B3) mengalir bebas dialiran
sungai yang biasa dipakai oleh warga untuk keperluan sehari-sehari. Limbah
padat yang dihasilkan pun menyebabkan kerugian untuk masyarakat sekitar
terutama jika terjadi hujan lebat. Jika
hujan lebat terjadi dalam waktu yang lama maka sampah yang menumpuk di Waduk
Saguling akan menyebabkan banjir.
Rakyat, dalam hal ini lebih banyak
sebagai korban terutama yang bersentuhan langsung dengan kawasan dimana terjadi
pencemaran yang dilakukan oleh pihak pengusaha. Hal inilah yang dialami warga
seputaran kali Citarum. Kondisi seperti
ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga
sekitar tanpa adanya tindak lanjut dari pemerintah.
3.
Kaitannya dengan Hukum Perdata
Dalam kasus kali ini masyarakat
sekitar kali Citarum dapat melakukan gugatan diluar pengadilan atau gugatan Class Action yaitu mengajukan sejumlah
orang sebagai perwakilan kelas (Class
Repesentatif) untuk meminta ganti rugi kepada industri-industri yang
melakukan pencemaran. Bentuk ganti rugi
yang bisa diminta adalah :
A. Memberikan sejumlah biaya atau
pengobatan untuk korban-korban yang menderita penyakit tertentu yang
diakibatkan oleh air limbah yang mengalir diseputaran kali Citarum.
B. Memberikan fasilitas air bersih
untuk keperluan domestik.
C. Memperbaiki dan menggunakan
Instalasai Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan tepat dan semestinya.
D. Membuang limbah padat langsung ke
Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
IV.
PENUTUP
4.1.
Simpulan
1. Hukum
yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.
2. Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk
persoalan-persoalan lingkungan.
3. Hukum lingkungan perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara
orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu
dengan subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan
perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk
mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk
memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
4. Pengelolaan lingkungan hidup akan
terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
5. Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang
mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar
lebih efisien.
4.2.
Saran
1. Industri
tekstil yang ada disekitar kali Citarum haruslah menjalankan industrinya dengan
tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.
2. Perlu
diadakannya sebuah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada setiap industri
agar dapat meminimalisasi buangan yang diduga berpotensi mencemari lingkungan.
3. Penanganan
limbah dengan end of pipe treatment pada industri
tekstil dirasa kurang tepat, hal ini disebabkan karena penanganan dengan cara
tersebut hanya mengubah bentuk limbah dari suatu bentuk kebentuk lainnya.
4. Industri
tekstil haruslah benar-benar sadar akan limbah yang dihasilkan dari
pengolahannya sehingga instalasi pengolahan limbahnya dapat dijalankan dengan
semestinya. I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pembangunan nasional yang telah
dilaksanakan selama ini telah menunjukan kemajuan di berbagai bidang kehidupan
masyarakat, meliputi bidang sosial, budaya dan kehidupan beragama, ekonomi,
ilmu politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan,
hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan
prasarana, serta pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.
Banyak kemajuan yang telah dicapai,
tetapi disamping itu masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum
sepenuhnya terselesaikan. Tantangan atau
masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, diantaranya adalah masalah
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagai efek samping dari berjalannya
proses perundangan. Pencemaran dan
kerusakan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan ini diprediksi akan terus berlanjut. Seperti yang dikatakan oleh Otto Soemrawoto
“Masyarakat Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa lingkungan hidup berlawanan
dengan pembangunan. Mengingat kita masih melarat, pembangunan harus didahulukan
dari lingkungan hidup, dalam pemerintahan pun lingkungan hanya menempati tempat
yang marjinal”.
Berbagai kasus pencemaran dan
kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai efek samping dari proses pembangunan
adalah kerusakan sumber daya hutan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar
dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya
tuntutan lahan dan sumber daya hutan yang yang tidak pada tempatnya, serta
meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin. Pencemaran air, udara dan tanah juga
merupakan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai
akibat pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang mempertahankan aspek
kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Persoalan pencemaran lingkungan
dapat dilihat dari berbagai aspek lingkungan yang merupakan sarana untuk
penyelesaiannya. Pencemaran kerusakan lingkungan dapat diselesaikan melalui
aspek medik, planalogis, teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum.
Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.
Persoalan
lingkungan hidup pada dasarnya adalah persoalan semua orang, dan sudah
seyogyanya gerakan-gerakan kesadaran yang coba dibangun untuk memulihkan
kondisi lingkungan ke arah yang lebih baik adalah satu keharusan, dengan
mengambil peran apapun yang bisa dilakukan oleh semua pihak untuk melakukan
perbaikan terhadap kerusakan lingkungan hidup disekitarnya.
UUD
1945 yang pada pasal 1 secara jelas menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan
rakyat. Jadi merupakan wewenang rakyat untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan
lingkungan hidup di Indonesia. Pasal 28H ayat (1) yang menentukan “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkugnan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”.
Hukum lingkungan adalah
instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Prespektif hukum lingkungan, penuntasan
kasus-kasus pencemaran lingkungan mencakup 3 (tiga) bidang sekaligus, yaitu
hukum lingkungan administratif, hukum lingkunga keperdataan, hukum lingkungan
kepidanaan sebagai konsekuensi logis kedudukan hukum lingkungan sebagai hukum
fungsional.
1.2.
Rumusan Masalah
Keberadaan limbah yang dihasilkan
oleh pembangunan dinilai dapat menimbulkan dampak buruk kelingkungan
sekitar. Oleh karena itu, limbah yang
dihasilkan didesak untuk menerapkan standardisasi pengolahan limbah yang ramah
lingkungan.
1.3.
Tujuan
1. Memberikan
informasi mengenai hukum lingkungan perdata.
2. Memberikan
informasi sanksi mengenai pencemaran yang ditimbulkan dari suatu usaha dan/atau
kegiatan yang ditinjau melalui aspek hukum lingkungan perdata.
1.4.
Metode Penulisan
Pada pembuatan laporan Tugas
Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum
Perdata ini metode yang digunakan penulis adalah dengan studi literatur.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Hukum Lingkungan
Hukum
lingkungan menurut Lal Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson adalah
“Seperangkat aturan hukum yang memuat
tentang pengendalian dampak manusia
terhadap bumi dan kesehatan publik”. Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya
luas yang mencakup hukum yang secara khusus
menunjuk persoalan-persoalan lingkungan
dan secara umum hukum yang secara langsung
menunjuk pada dampak atas
persoalan-persoalan lingkungan.
UNEP mendefinisikan
hukum lingkungan adalah “Seperangkat aturan hukum yang berisi unsur-unsur untuk mengendalikan dampak manusia terhadap
lingkungan. A.B. Blomberg, A.A..J. de Gier dan J. Robbe memberikan definisi hukum lingkungan sebagai berikut hukum lingkungan
secara umum dipahami
sebagai hukum yang
melindungi kualitas lingkungan
dan hukum konservasi alam.
Siti
Sundari Rangkuti menyatakan bahwa dari substansi hukum yang merupakan materi hukum lingkungan, maka mata kuliah hukum lingkungan digolongkan kedalam mata kuliah hukum fungsional (Functionele Rechtsvakken), yaitu mengandung terobosan antara
berbagai disiplin hukum klasik.
Substansi
hukum lingkungan menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan
administratif, hukum lingkungan keperdataan, hukum
lingkungan kepidanaan. Hukum lingkungan
internasional yang sudah berkembang menjadi
disiplin ilmu hukum tersendiri
dan hukum tata ruang. Dengan
demikian, hukum lingkungan tidak merupakan bagian hukum publik ataupun bagian dari hukum
privat, namun mencakup hukum publik
dan hukum prifat sekaligus.
Hukum lingkungan adalah hukum fungsional yang mengandung
aspek hukum publik dan aspek hukum privat. Dalam kepustakaan hukum lingkungan dan ilmu lingkungan dapat ditemukan berbagai pandangan para pakar hukum lingkungan dan ilmu lingkungan mengenai pengertian pencemaran
lingkungan, namun dalam penelitian
ini pengertian pencemaran lingkungan mengacu kepada Pasal 1 ayat 14
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal 1 ayat 14 UU PPLH mendefinisikan pencemaran lingkungan sebagai berikut “Pencemaran lingkungan hidup
adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang
telah ditetapkan”.
Pencemaran
lingkungan menurut UU PPLH
hanya meliputi pencemaran lingkungan yang disebabkan karena kegiatan manusia, tidak
termasuk didalamnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh alam, misalnya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darus Salam, meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta dan
hujan debu dari Gunung Semeru di Jawa Timur. Pengertian kasus pencemaran lingkungan dalam tulisan ini adalah
terbatas pada kasus
pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dan tidak mencakup di dalamnya mengenai pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam.
2.2. Sejarah Perkembangan Lingkungan
Masalah
lingkungan dapat ditinjau dari aspek medik, planologis teknologis, teknik
lingkungan, ekonomi dan hukum.
Sebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari Rangkut “Perkembangan hukum
lingkungan tidak dipisahkan dengan gerakan sedunia yang memberikan perhatian
besarnya tentang lingkungan hidup”.
Konfrensi
PBB tentang lingkungan hidup, telah diadakan di Stockholm pada Tahun 1972,
Konferensi Stockholm membahas masalah lingkungan dan jalan keluarnya, agar
pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (Eco-Development), dan kapasitas
lingkungan yang ada. Pada tahun 1983 PBB
membentuk komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commission on Environment and
Development (WCED).
PBB
pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi mengenai masalah lingkungan dan
pembangunan The United Nations Conference
on Environment and Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil
pada tanggal 3-14 Juni Tahun 1992. Indonesia
pertama kali lingkungan hidup masuk dalam GBHN tahun 1993 BAB III huruf B ayat
(10) dengan Tap MPR RI No.IV/MPR/1993 dan dijabarkan dalam REPELITA II
(1994-1997) dalam Buku III bab 27, tentang Pembinaan Hukum Nasional.
Semakin
maju perkembangan ilmu dan teknologi serta peningkatan ekonomi dan modal,
terutama penanaman modal dalam negeri dan modal asing, melalui sektor kehutanan
dan pertambangan lahirnya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal dan UU
No.6 Tahun 1967 tentang Penanamn Modal Dalam Negeri. Ini sudah memuat pemikiran tentang pengaturan
lingkungan. Kemudian terjadi peristiwa
pencemaran lingkungan berupa minyak akibat kandasnya kapal ”Showa Maru” di
Selat Malaka.
Dari
hal tersebut diselenggarakan lokakarya tentang segi-segi hukum dari pengelolaan
lingkungan hidup oleh depertemen dan perguruan tinggi. Indonesia meratifikasi Konvensi IMCO tentang
Pencemaran Laut oleh Minyak Bumi dari kapal, yang diimplemantasikan dengan
Keppres No.18 Tahun 1978 tentang Civil
Liability Convention dan Keppres No. 19 Tahun 1978 tentang Internasional Fund Convention 1971. Pada tahun 1978 dibentuk kantor menteri
negara PPLH, salah tugas membuat RUU lingkungan Hidup. Kemudian lahirnya UU No.4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pengeloan Lingkungan Hidup, diganti UU No.23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diganti lagi UU No.32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2.3. Hukum Lingkungan Keperdataan
Pengertian
Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli adalah "Rangkaian peraturan hukum yang
mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara
subyek hukum yang satu dengan subyek yang lain, dengan menitikberatkan pada
kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam
kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau dalam usaha
untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya."
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum
bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan
sengketa lingkungan
di peradilan umum untuk memperoleh ganti kerugian. Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai
gugatan ganti kerugian atas dasar
perbuatan melawan hukum di bidang hukum
lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran lingkungan.
Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian
sengketa lingkungan menurut UU PPLH diatur dalam Pasal 84 yang menetapkan:
1. Penyelesaian
sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau
di luar pengadilan.
2. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
3. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa
Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) UU PPLH, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih secara sukarela oleh
para pihak yang bersengketa. Dengan ketentuan
demikian para pihak diberi kebebasan untuk
memilih mekanisme penyelesaian
sengketa lingkungan baik melalui pengadilan
atau melalui luar pengadilan.
Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum tertuang dalam Pasal 87 yang selangkapnya menyatakan sebagai berikut:
1.
Setiap
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang
melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu
2.
Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk
usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak
melepaskan tanggungjawab hukum
dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3.
Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap
hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4.
Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 87
ayat (1) UU
PPLH, agar dapat
diajukan gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur :
1.
Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan
2.
Melakukan perbuatan melanggar hukum
3.
Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
4.
Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;
5.
Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar
ganti rugi dan/atau
melakukan tindakan tertentu;
Dasar
pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan
kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih
yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan
sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan
fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.
Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih
yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok
orang yang lebih banyak jumlahnya.
Class Action pada intinya adalah gugatan perdata
(biasanya terkait dengan permintaan injuntction
atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan kelas
(Class Repesentatif) mewakili
kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang
lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili
tersebut diistilahkan sebagai class
members.
Class action bisa merupakan suatu metode bagi
orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama
mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta
dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan. Hal ini berarti bahwa kegunaan class action secara mendasar antara lain
adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan
yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam
perkara yang sama.
Setiap
warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan berhak untuk membela
hak-nya apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar
pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan perdata
ada dua macam yaitu :
1. Gugatan yang dilakukan di luar
pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi
2. Gugatan yang dilakukan melalui
peradilan disebut litigasi.
Gugatan
perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara :
1. Oleh orang yang bersangkutan atau
ahli warisnya.
2. Sekelompok orang yang mempunyai
kepentingan yang sama (Class Action).
2.4.
Kendala Pelaksanaan Hukum Lingkungan
Persoalan
lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan
buah simalakama. Satu sisi terdapat
tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi
lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam
melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.
Upaya
memupuk disiplin lingkungan dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai
solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak. Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban
memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran
serta perusakan lingkungan hidup.
Karena
itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti
pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas
baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum,
sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun
pidana. Hingga kini problem lingkungan
terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era
reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi.
Dalam
rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap
lingkungan, khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat, maka
penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan.
Selain
itu upaya menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah
kendala seperti:
1. Masih terdapat perbedaan persepsi
antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan
perundang-undangan yang ada.
2. Biaya untuk menangani penyelesaian
kasus lingkungan hidup terbatas.
3. Membuktikan telah terjadi pencemaran
atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.
Era
reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai
keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan. Kedepan, perlu exit strategy sebagai solusi penting
yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan
hidup.
1. Mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi
antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2. Asanya sanksi yang memadai
(enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai
dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak
hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan usaha/industri
yang nakal.
3. Adanya partisipasi publik,
transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup patut ditingkatkan.
Pengelolaan
lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan
masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang
mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan
sehat. Untuk itu, sudah saatnya
penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan
diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan
baik.
Hakekat
hukum lingkungan secara sederhana adalah seperangkat aturan yang mengatur
tatanan lingkungan dalam hal ini lingkungan hidup dimana lingkungan dapat
diartikan sebagai semua benda dan kondisi yang dapat mempengaruhi kelangsungan
hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam
perkembangannya hukum lingkungan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu hukum
lingkungan modern dan juga hukum lingkungan klasik.
Bentuk
penegakan hukum lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama
penegakan melalui istrumen administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan
permasalahan dan juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan
lingkungan hidup adalah penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang mana
kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan
sendiri sendiri.
Hukum
lingkungan diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka menjaga supaya lingkungan dan
sumber daya alam dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi kemampuan
lingkungan itu sendiri.
Kendala
di dalam penegakan dan juga pengimplementasian hukum lingkungan antara lain antara
adalah perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan
memaknai peraturan perundang-undangan yang ada, biaya untuk menangani
penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas, membuktikan telah terjadi
pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah, dan yang
terakhir adalah kurangnya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
III.
PEMBAHASAN
3.1.
Contoh Kasus
Pada kesempatan kali ini penulis
mengangkat kasus tentang limbah cair industri tekstil kali citarum yang penulis
ambil dari harian Kompas Jumat, 26 April 2013 13:14 WIB dengan judul berita “DAS
Citarum di Ambang Malapetaka Lingkungan” berikut berita tersebut :
“Malapetaka lingkungan tengah berlangsung
di Daerah Aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Ratusan ribu warga yang tinggal di
kawasan ini menderita karena menjadi langganan banjir di musim hujan dan
kekurangan air di musim kemarau.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.
Bertahun-tahun hampir semua pabrik tekstil di Majalaya
membuang langsung limbah beracunnya ke Citarum. Padahal, sungai ini masih
dipakai untuk keperluan air minum bagi warga di hilir, termasuk 80 persen warga
DKI Jakarta.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.
Sampai
kini Sungai Citarum masih tercemar. ”Kondisi ini berlangsung lama dan dibiarkan
merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitarnya,” ujar Direktur Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Dadan Ramdan.
Susut 62.000 hektar
Komunitas Elingan, yang
bergerak di bidang pelestarian lingkungan, mencatat dalam sembilan tahun ini
lahan hutan di DAS Citarum menyusut 86 persen, dari 72.000 hektar tahun 2000 menjadi
9.900 hektar tahun 2009. Pada periode yang sama, luas kawasan permukiman di
sekitar DAS Citarum meningkat 115 persen dari 81.7000 hektar jadi 176.000
hektar.
Tahun 2012, lahan kritis
mencapai 20 persen dari luas DAS Citarum sekitar 718.000 hektar. Seluas 144.000
hektar di antaranya adalah lahan rusak. Hingga saat ini setiap tahun ada 95 ton
tanah per hektar terbawa erosi ke DAS Citarum. Padahal, dalam kaidah
lingkungan, tingkat erosi yang ditoleransi hanya sekitar 15 ton per hektar per
tahun.
Ketua Umum Badan Musyawarah
Masyarakat Sunda Syarif Bastaman menambahkan, beberapa ikan endemik telah punah
dari Sungai Citarum. (dmu)
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
yunan
3.2.
Analisa
Kasus
Aspek
Hukum Perlindungan kawasan industri di Jawa Barat dari “Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan
untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum” (Pasal 1 ayat 2 UU 32 Tahun
2009).
Secara
umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (Sustainability) dalam pemanfaatan. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk
berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu,
permasalahan, peluang dan tantangan.
Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU 32 Tahun 2009
seperti terlihat dalam Pasal 20 ayat 3 UUPLH disebutkan :
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan
hidup dengan persyaratan:
1. Memenuhi
baku mutu lingkungan hidup;
2. Mendapat
izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Kasus pencemaran oleh kawasan industri di Jawa Barat ini memang belum
ada upaya hukum yang dilakukan. Hal ini
dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal pengawasan serta belum adanya
keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini, walupun mereka merasakan
dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.
Masyarakat ataupun LSM sebenarnya dapat mengajukan upaya hukum dalam
menyelesaikan kasus ini yaitu penegakkan hukum lingkungan dalam kaitannya
dengan hukum perdata.
3.3.
Sanksi Perdata
Ketentuan
hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam
pasal 87 ayat 1 “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti
rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
1.
Kesalahan
Industri Tekstil di Sekitar Kali citarum
Kesalahan
yang dilakukan oleh industri tekstil yang ada disekitaran kali Citarum adalah
tidak memberlakukannya dan/atau menjalankan IPAL dengan baik dan benar. Air
limbah yang dihasilkan dibuang langsung kebadan sungai tanpa melalui proses
terlebih dahulu. Sampah padat yang
dihasilkan juga tidak dibuang ketempat pembuangan akhir, melainkan langsung
kedalam Waduk Saguling.
2.
Kerugian
Warga di Sekitar Kali Citarum
Limbah-limbah yang keluar dari
industri-industri yang ada tidak diolah terlebih dahulu, sehingga air limbah yang
terkategorikan sebagai zat-zat berbahaya dan beracun (B3) mengalir bebas dialiran
sungai yang biasa dipakai oleh warga untuk keperluan sehari-sehari. Limbah
padat yang dihasilkan pun menyebabkan kerugian untuk masyarakat sekitar
terutama jika terjadi hujan lebat. Jika
hujan lebat terjadi dalam waktu yang lama maka sampah yang menumpuk di Waduk
Saguling akan menyebabkan banjir.
Rakyat, dalam hal ini lebih banyak
sebagai korban terutama yang bersentuhan langsung dengan kawasan dimana terjadi
pencemaran yang dilakukan oleh pihak pengusaha. Hal inilah yang dialami warga
seputaran kali Citarum. Kondisi seperti
ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga
sekitar tanpa adanya tindak lanjut dari pemerintah.
3.
Kaitannya dengan Hukum Perdata
Dalam kasus kali ini masyarakat
sekitar kali Citarum dapat melakukan gugatan diluar pengadilan atau gugatan Class Action yaitu mengajukan sejumlah
orang sebagai perwakilan kelas (Class
Repesentatif) untuk meminta ganti rugi kepada industri-industri yang
melakukan pencemaran. Bentuk ganti rugi
yang bisa diminta adalah :
A. Memberikan sejumlah biaya atau
pengobatan untuk korban-korban yang menderita penyakit tertentu yang
diakibatkan oleh air limbah yang mengalir diseputaran kali Citarum.
B. Memberikan fasilitas air bersih
untuk keperluan domestik.
C. Memperbaiki dan menggunakan
Instalasai Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan tepat dan semestinya.
D. Membuang limbah padat langsung ke
Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
IV.
PENUTUP
4.1.
Simpulan
1. Hukum
yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.
2. Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk
persoalan-persoalan lingkungan.
3. Hukum lingkungan perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara
orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu
dengan subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan
perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk
mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk
memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
4. Pengelolaan lingkungan hidup akan
terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
5. Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang
mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar
lebih efisien.
4.2.
Saran
1. Industri
tekstil yang ada disekitar kali Citarum haruslah menjalankan industrinya dengan
tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.
2. Perlu
diadakannya sebuah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada setiap industri
agar dapat meminimalisasi buangan yang diduga berpotensi mencemari lingkungan.
3. Penanganan
limbah dengan end of pipe treatment pada industri
tekstil dirasa kurang tepat, hal ini disebabkan karena penanganan dengan cara
tersebut hanya mengubah bentuk limbah dari suatu bentuk kebentuk lainnya.
4. Industri
tekstil haruslah benar-benar sadar akan limbah yang dihasilkan dari
pengolahannya sehingga instalasi pengolahan limbahnya dapat dijalankan dengan
semestinya. I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pembangunan nasional yang telah
dilaksanakan selama ini telah menunjukan kemajuan di berbagai bidang kehidupan
masyarakat, meliputi bidang sosial, budaya dan kehidupan beragama, ekonomi,
ilmu politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan,
hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan
prasarana, serta pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.
Banyak kemajuan yang telah dicapai,
tetapi disamping itu masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum
sepenuhnya terselesaikan. Tantangan atau
masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, diantaranya adalah masalah
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagai efek samping dari berjalannya
proses perundangan. Pencemaran dan
kerusakan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan ini diprediksi akan terus berlanjut. Seperti yang dikatakan oleh Otto Soemrawoto
“Masyarakat Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa lingkungan hidup berlawanan
dengan pembangunan. Mengingat kita masih melarat, pembangunan harus didahulukan
dari lingkungan hidup, dalam pemerintahan pun lingkungan hanya menempati tempat
yang marjinal”.
Berbagai kasus pencemaran dan
kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai efek samping dari proses pembangunan
adalah kerusakan sumber daya hutan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar
dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya
tuntutan lahan dan sumber daya hutan yang yang tidak pada tempatnya, serta
meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin. Pencemaran air, udara dan tanah juga
merupakan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menonjol sebagai
akibat pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang mempertahankan aspek
kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Persoalan pencemaran lingkungan
dapat dilihat dari berbagai aspek lingkungan yang merupakan sarana untuk
penyelesaiannya. Pencemaran kerusakan lingkungan dapat diselesaikan melalui
aspek medik, planalogis, teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum.
Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.
Persoalan
lingkungan hidup pada dasarnya adalah persoalan semua orang, dan sudah
seyogyanya gerakan-gerakan kesadaran yang coba dibangun untuk memulihkan
kondisi lingkungan ke arah yang lebih baik adalah satu keharusan, dengan
mengambil peran apapun yang bisa dilakukan oleh semua pihak untuk melakukan
perbaikan terhadap kerusakan lingkungan hidup disekitarnya.
UUD
1945 yang pada pasal 1 secara jelas menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan
rakyat. Jadi merupakan wewenang rakyat untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan
lingkungan hidup di Indonesia. Pasal 28H ayat (1) yang menentukan “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkugnan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”.
Hukum lingkungan adalah
instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Prespektif hukum lingkungan, penuntasan
kasus-kasus pencemaran lingkungan mencakup 3 (tiga) bidang sekaligus, yaitu
hukum lingkungan administratif, hukum lingkunga keperdataan, hukum lingkungan
kepidanaan sebagai konsekuensi logis kedudukan hukum lingkungan sebagai hukum
fungsional.
1.2.
Rumusan Masalah
Keberadaan limbah yang dihasilkan
oleh pembangunan dinilai dapat menimbulkan dampak buruk kelingkungan
sekitar. Oleh karena itu, limbah yang
dihasilkan didesak untuk menerapkan standardisasi pengolahan limbah yang ramah
lingkungan.
1.3.
Tujuan
1. Memberikan
informasi mengenai hukum lingkungan perdata.
2. Memberikan
informasi sanksi mengenai pencemaran yang ditimbulkan dari suatu usaha dan/atau
kegiatan yang ditinjau melalui aspek hukum lingkungan perdata.
1.4.
Metode Penulisan
Pada pembuatan laporan Tugas
Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum
Perdata ini metode yang digunakan penulis adalah dengan studi literatur.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Hukum Lingkungan
Hukum
lingkungan menurut Lal Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson adalah
“Seperangkat aturan hukum yang memuat
tentang pengendalian dampak manusia
terhadap bumi dan kesehatan publik”. Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya
luas yang mencakup hukum yang secara khusus
menunjuk persoalan-persoalan lingkungan
dan secara umum hukum yang secara langsung
menunjuk pada dampak atas
persoalan-persoalan lingkungan.
UNEP mendefinisikan
hukum lingkungan adalah “Seperangkat aturan hukum yang berisi unsur-unsur untuk mengendalikan dampak manusia terhadap
lingkungan. A.B. Blomberg, A.A..J. de Gier dan J. Robbe memberikan definisi hukum lingkungan sebagai berikut hukum lingkungan
secara umum dipahami
sebagai hukum yang
melindungi kualitas lingkungan
dan hukum konservasi alam.
Siti
Sundari Rangkuti menyatakan bahwa dari substansi hukum yang merupakan materi hukum lingkungan, maka mata kuliah hukum lingkungan digolongkan kedalam mata kuliah hukum fungsional (Functionele Rechtsvakken), yaitu mengandung terobosan antara
berbagai disiplin hukum klasik.
Substansi
hukum lingkungan menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan
administratif, hukum lingkungan keperdataan, hukum
lingkungan kepidanaan. Hukum lingkungan
internasional yang sudah berkembang menjadi
disiplin ilmu hukum tersendiri
dan hukum tata ruang. Dengan
demikian, hukum lingkungan tidak merupakan bagian hukum publik ataupun bagian dari hukum
privat, namun mencakup hukum publik
dan hukum prifat sekaligus.
Hukum lingkungan adalah hukum fungsional yang mengandung
aspek hukum publik dan aspek hukum privat. Dalam kepustakaan hukum lingkungan dan ilmu lingkungan dapat ditemukan berbagai pandangan para pakar hukum lingkungan dan ilmu lingkungan mengenai pengertian pencemaran
lingkungan, namun dalam penelitian
ini pengertian pencemaran lingkungan mengacu kepada Pasal 1 ayat 14
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal 1 ayat 14 UU PPLH mendefinisikan pencemaran lingkungan sebagai berikut “Pencemaran lingkungan hidup
adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang
telah ditetapkan”.
Pencemaran
lingkungan menurut UU PPLH
hanya meliputi pencemaran lingkungan yang disebabkan karena kegiatan manusia, tidak
termasuk didalamnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh alam, misalnya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darus Salam, meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta dan
hujan debu dari Gunung Semeru di Jawa Timur. Pengertian kasus pencemaran lingkungan dalam tulisan ini adalah
terbatas pada kasus
pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dan tidak mencakup di dalamnya mengenai pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam.
2.2. Sejarah Perkembangan Lingkungan
Masalah
lingkungan dapat ditinjau dari aspek medik, planologis teknologis, teknik
lingkungan, ekonomi dan hukum.
Sebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari Rangkut “Perkembangan hukum
lingkungan tidak dipisahkan dengan gerakan sedunia yang memberikan perhatian
besarnya tentang lingkungan hidup”.
Konfrensi
PBB tentang lingkungan hidup, telah diadakan di Stockholm pada Tahun 1972,
Konferensi Stockholm membahas masalah lingkungan dan jalan keluarnya, agar
pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (Eco-Development), dan kapasitas
lingkungan yang ada. Pada tahun 1983 PBB
membentuk komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commission on Environment and
Development (WCED).
PBB
pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi mengenai masalah lingkungan dan
pembangunan The United Nations Conference
on Environment and Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil
pada tanggal 3-14 Juni Tahun 1992. Indonesia
pertama kali lingkungan hidup masuk dalam GBHN tahun 1993 BAB III huruf B ayat
(10) dengan Tap MPR RI No.IV/MPR/1993 dan dijabarkan dalam REPELITA II
(1994-1997) dalam Buku III bab 27, tentang Pembinaan Hukum Nasional.
Semakin
maju perkembangan ilmu dan teknologi serta peningkatan ekonomi dan modal,
terutama penanaman modal dalam negeri dan modal asing, melalui sektor kehutanan
dan pertambangan lahirnya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal dan UU
No.6 Tahun 1967 tentang Penanamn Modal Dalam Negeri. Ini sudah memuat pemikiran tentang pengaturan
lingkungan. Kemudian terjadi peristiwa
pencemaran lingkungan berupa minyak akibat kandasnya kapal ”Showa Maru” di
Selat Malaka.
Dari
hal tersebut diselenggarakan lokakarya tentang segi-segi hukum dari pengelolaan
lingkungan hidup oleh depertemen dan perguruan tinggi. Indonesia meratifikasi Konvensi IMCO tentang
Pencemaran Laut oleh Minyak Bumi dari kapal, yang diimplemantasikan dengan
Keppres No.18 Tahun 1978 tentang Civil
Liability Convention dan Keppres No. 19 Tahun 1978 tentang Internasional Fund Convention 1971. Pada tahun 1978 dibentuk kantor menteri
negara PPLH, salah tugas membuat RUU lingkungan Hidup. Kemudian lahirnya UU No.4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pengeloan Lingkungan Hidup, diganti UU No.23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diganti lagi UU No.32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2.3. Hukum Lingkungan Keperdataan
Pengertian
Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli adalah "Rangkaian peraturan hukum yang
mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara
subyek hukum yang satu dengan subyek yang lain, dengan menitikberatkan pada
kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam
kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau dalam usaha
untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya."
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum
bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan
sengketa lingkungan
di peradilan umum untuk memperoleh ganti kerugian. Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai
gugatan ganti kerugian atas dasar
perbuatan melawan hukum di bidang hukum
lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran lingkungan.
Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian
sengketa lingkungan menurut UU PPLH diatur dalam Pasal 84 yang menetapkan:
1. Penyelesaian
sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau
di luar pengadilan.
2. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
3. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa
Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) UU PPLH, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih secara sukarela oleh
para pihak yang bersengketa. Dengan ketentuan
demikian para pihak diberi kebebasan untuk
memilih mekanisme penyelesaian
sengketa lingkungan baik melalui pengadilan
atau melalui luar pengadilan.
Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum tertuang dalam Pasal 87 yang selangkapnya menyatakan sebagai berikut:
1.
Setiap
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang
melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu
2.
Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk
usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak
melepaskan tanggungjawab hukum
dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3.
Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap
hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4.
Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 87
ayat (1) UU
PPLH, agar dapat
diajukan gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur :
1.
Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan
2.
Melakukan perbuatan melanggar hukum
3.
Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
4.
Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;
5.
Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar
ganti rugi dan/atau
melakukan tindakan tertentu;
Dasar
pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan
kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih
yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan
sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan
fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.
Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih
yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok
orang yang lebih banyak jumlahnya.
Class Action pada intinya adalah gugatan perdata
(biasanya terkait dengan permintaan injuntction
atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan kelas
(Class Repesentatif) mewakili
kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang
lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili
tersebut diistilahkan sebagai class
members.
Class action bisa merupakan suatu metode bagi
orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama
mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta
dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan. Hal ini berarti bahwa kegunaan class action secara mendasar antara lain
adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan
yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam
perkara yang sama.
Setiap
warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan berhak untuk membela
hak-nya apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar
pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan perdata
ada dua macam yaitu :
1. Gugatan yang dilakukan di luar
pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi
2. Gugatan yang dilakukan melalui
peradilan disebut litigasi.
Gugatan
perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara :
1. Oleh orang yang bersangkutan atau
ahli warisnya.
2. Sekelompok orang yang mempunyai
kepentingan yang sama (Class Action).
2.4.
Kendala Pelaksanaan Hukum Lingkungan
Persoalan
lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan
buah simalakama. Satu sisi terdapat
tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi
lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam
melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.
Upaya
memupuk disiplin lingkungan dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai
solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak. Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban
memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran
serta perusakan lingkungan hidup.
Karena
itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti
pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas
baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum,
sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun
pidana. Hingga kini problem lingkungan
terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era
reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi.
Dalam
rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap
lingkungan, khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat, maka
penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan.
Selain
itu upaya menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah
kendala seperti:
1. Masih terdapat perbedaan persepsi
antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan
perundang-undangan yang ada.
2. Biaya untuk menangani penyelesaian
kasus lingkungan hidup terbatas.
3. Membuktikan telah terjadi pencemaran
atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.
Era
reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai
keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan. Kedepan, perlu exit strategy sebagai solusi penting
yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan
hidup.
1. Mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi
antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2. Asanya sanksi yang memadai
(enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai
dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak
hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan usaha/industri
yang nakal.
3. Adanya partisipasi publik,
transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup patut ditingkatkan.
Pengelolaan
lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan
masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang
mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan
sehat. Untuk itu, sudah saatnya
penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan
diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan
baik.
Hakekat
hukum lingkungan secara sederhana adalah seperangkat aturan yang mengatur
tatanan lingkungan dalam hal ini lingkungan hidup dimana lingkungan dapat
diartikan sebagai semua benda dan kondisi yang dapat mempengaruhi kelangsungan
hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam
perkembangannya hukum lingkungan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu hukum
lingkungan modern dan juga hukum lingkungan klasik.
Bentuk
penegakan hukum lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama
penegakan melalui istrumen administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan
permasalahan dan juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan
lingkungan hidup adalah penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang mana
kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan
sendiri sendiri.
Hukum
lingkungan diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka menjaga supaya lingkungan dan
sumber daya alam dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi kemampuan
lingkungan itu sendiri.
Kendala
di dalam penegakan dan juga pengimplementasian hukum lingkungan antara lain antara
adalah perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan
memaknai peraturan perundang-undangan yang ada, biaya untuk menangani
penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas, membuktikan telah terjadi
pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah, dan yang
terakhir adalah kurangnya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
III.
PEMBAHASAN
3.1.
Contoh Kasus
Pada kesempatan kali ini penulis
mengangkat kasus tentang limbah cair industri tekstil kali citarum yang penulis
ambil dari harian Kompas Jumat, 26 April 2013 13:14 WIB dengan judul berita “DAS
Citarum di Ambang Malapetaka Lingkungan” berikut berita tersebut :
“Malapetaka lingkungan tengah berlangsung
di Daerah Aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Ratusan ribu warga yang tinggal di
kawasan ini menderita karena menjadi langganan banjir di musim hujan dan
kekurangan air di musim kemarau.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun. Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.
Bertahun-tahun hampir semua pabrik tekstil di Majalaya
membuang langsung limbah beracunnya ke Citarum. Padahal, sungai ini masih
dipakai untuk keperluan air minum bagi warga di hilir, termasuk 80 persen warga
DKI Jakarta.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah, setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.
Sampai
kini Sungai Citarum masih tercemar. ”Kondisi ini berlangsung lama dan dibiarkan
merusak lingkungan dan kehidupan warga sekitarnya,” ujar Direktur Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Dadan Ramdan.
Susut 62.000 hektar
Komunitas Elingan, yang
bergerak di bidang pelestarian lingkungan, mencatat dalam sembilan tahun ini
lahan hutan di DAS Citarum menyusut 86 persen, dari 72.000 hektar tahun 2000 menjadi
9.900 hektar tahun 2009. Pada periode yang sama, luas kawasan permukiman di
sekitar DAS Citarum meningkat 115 persen dari 81.7000 hektar jadi 176.000
hektar.
Tahun 2012, lahan kritis
mencapai 20 persen dari luas DAS Citarum sekitar 718.000 hektar. Seluas 144.000
hektar di antaranya adalah lahan rusak. Hingga saat ini setiap tahun ada 95 ton
tanah per hektar terbawa erosi ke DAS Citarum. Padahal, dalam kaidah
lingkungan, tingkat erosi yang ditoleransi hanya sekitar 15 ton per hektar per
tahun.
Ketua Umum Badan Musyawarah
Masyarakat Sunda Syarif Bastaman menambahkan, beberapa ikan endemik telah punah
dari Sungai Citarum. (dmu)
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
yunan
3.2.
Analisa
Kasus
Aspek
Hukum Perlindungan kawasan industri di Jawa Barat dari “Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan
untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum” (Pasal 1 ayat 2 UU 32 Tahun
2009).
Secara
umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (Sustainability) dalam pemanfaatan. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk
berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu,
permasalahan, peluang dan tantangan.
Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU 32 Tahun 2009
seperti terlihat dalam Pasal 20 ayat 3 UUPLH disebutkan :
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan
hidup dengan persyaratan:
1. Memenuhi
baku mutu lingkungan hidup;
2. Mendapat
izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Kasus pencemaran oleh kawasan industri di Jawa Barat ini memang belum
ada upaya hukum yang dilakukan. Hal ini
dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal pengawasan serta belum adanya
keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini, walupun mereka merasakan
dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.
Masyarakat ataupun LSM sebenarnya dapat mengajukan upaya hukum dalam
menyelesaikan kasus ini yaitu penegakkan hukum lingkungan dalam kaitannya
dengan hukum perdata.
3.3.
Sanksi Perdata
Ketentuan
hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam
pasal 87 ayat 1 “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti
rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
1.
Kesalahan
Industri Tekstil di Sekitar Kali citarum
Kesalahan
yang dilakukan oleh industri tekstil yang ada disekitaran kali Citarum adalah
tidak memberlakukannya dan/atau menjalankan IPAL dengan baik dan benar. Air
limbah yang dihasilkan dibuang langsung kebadan sungai tanpa melalui proses
terlebih dahulu. Sampah padat yang
dihasilkan juga tidak dibuang ketempat pembuangan akhir, melainkan langsung
kedalam Waduk Saguling.
2.
Kerugian
Warga di Sekitar Kali Citarum
Limbah-limbah yang keluar dari
industri-industri yang ada tidak diolah terlebih dahulu, sehingga air limbah yang
terkategorikan sebagai zat-zat berbahaya dan beracun (B3) mengalir bebas dialiran
sungai yang biasa dipakai oleh warga untuk keperluan sehari-sehari. Limbah
padat yang dihasilkan pun menyebabkan kerugian untuk masyarakat sekitar
terutama jika terjadi hujan lebat. Jika
hujan lebat terjadi dalam waktu yang lama maka sampah yang menumpuk di Waduk
Saguling akan menyebabkan banjir.
Rakyat, dalam hal ini lebih banyak
sebagai korban terutama yang bersentuhan langsung dengan kawasan dimana terjadi
pencemaran yang dilakukan oleh pihak pengusaha. Hal inilah yang dialami warga
seputaran kali Citarum. Kondisi seperti
ini berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga
sekitar tanpa adanya tindak lanjut dari pemerintah.
3.
Kaitannya dengan Hukum Perdata
Dalam kasus kali ini masyarakat
sekitar kali Citarum dapat melakukan gugatan diluar pengadilan atau gugatan Class Action yaitu mengajukan sejumlah
orang sebagai perwakilan kelas (Class
Repesentatif) untuk meminta ganti rugi kepada industri-industri yang
melakukan pencemaran. Bentuk ganti rugi
yang bisa diminta adalah :
A. Memberikan sejumlah biaya atau
pengobatan untuk korban-korban yang menderita penyakit tertentu yang
diakibatkan oleh air limbah yang mengalir diseputaran kali Citarum.
B. Memberikan fasilitas air bersih
untuk keperluan domestik.
C. Memperbaiki dan menggunakan
Instalasai Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan tepat dan semestinya.
D. Membuang limbah padat langsung ke
Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
IV.
PENUTUP
4.1.
Simpulan
1. Hukum
yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.
2. Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk
persoalan-persoalan lingkungan.
3. Hukum lingkungan perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara
orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu
dengan subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan
perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk
mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk
memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
4. Pengelolaan lingkungan hidup akan
terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
5. Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang
mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar
lebih efisien.
4.2.
Saran
1. Industri
tekstil yang ada disekitar kali Citarum haruslah menjalankan industrinya dengan
tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.
2. Perlu
diadakannya sebuah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada setiap industri
agar dapat meminimalisasi buangan yang diduga berpotensi mencemari lingkungan.
3. Penanganan
limbah dengan end of pipe treatment pada industri
tekstil dirasa kurang tepat, hal ini disebabkan karena penanganan dengan cara
tersebut hanya mengubah bentuk limbah dari suatu bentuk kebentuk lainnya.
4. Industri
tekstil haruslah benar-benar sadar akan limbah yang dihasilkan dari
pengolahannya sehingga instalasi pengolahan limbahnya dapat dijalankan dengan
semestinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar